JAKARTA (SUARABARU.ID)– Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (Timsus HAM) yang dibentuk Kejaksaan Agung harus memperhatikan semua hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia.
Hal itu diutarakan anggota DPD RI asal Papua Barat, Filep Wamafma dalam keterangan resminya, Senin (4/1).
“Apa yang seharusnya dilakukan Tim Khusus ini? Dalam ruang lingkup asas ‘constante iustitia/speedy trial’, seharusnya Tim Khusus ini memperhatikan semua hasil penyelidikan Komnas HAM,” kata dia.
Menurut Filep, pembentukan Tim Khusus tersebut namun patut juga diikuti dengan kritik terkait tugas Kejaksaan selama ini dalam hal penyelesaian pelanggaran HAM berat.
Dalam Pasal 18 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menegaskan bahwa (1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; (2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
“Perintah UU ini mengharuskan agar penyelidikan pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM untuk menjaga imparsialitas dan independensi penegakan hukum. Dalam konstruksi UU Pengadilan HAM selanjutnya, wewenang penyidikan justru ada pada Kejaksaan Agung, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 UU pengadilan HAM,” terangnya.
Filep mengatakan, kewenangan penyidikan itu yang kemudian dalam Pasal 20 ayat (3) memberikan kuasa penuh kepada Kejaksaan untuk dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.
Filep menjelaskan, alasan “kurang lengkapnya” hasil penyelidikan membuat kasus pelanggaran HAM berat seperti berjalan di tempat, atau terjadi tarik ulur berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
“Padahal kita ketahui bersama bahwa hingga kini hanya ada tiga kasus pelanggaran HAM berat yang pernah diselesaikan oleh Pengadilan HAM Indonesia, yaitu kasus Timor-Timur 1999, Tanjung Priok 1984, dan kasus pelanggaran HAM berat Abepura 2000. Ironisnya, semua terdakwa akhirnya bebas dari segala tuntutan hukum di tingkat kasasi dan peninjauan kembali,” katanya.
Filep menilai, Timsus HAM Kejaksaan tidak perlu mengulangi lagi alasan kurangnya syarat formal maupun materiil, karena bukti permulaan yang ditemukan Komnas HAM dapat dijadikan alasan bagi Kejaksaan untuk menangkap dan menahan orang-orang tertentu yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat.
Menurut dia apabila itu tidak dilakukan maka dikhawatirkan penuntasan kasus pelanggaran HAM tetap diam di tempat, hanya sekadar memenuhi inventaris kejahatan.
“Sebaik apapun Tim Khusus yang dibentuk, selama masih ada ‘ruang persaingan’ antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, maka para pencari keadilan hanya tetap berduka,” ujarnya, seperti dilansir suarabaru.id dari Siberindo.co.
Dia menilai untuk menjembatani itu, sudah selayaknya apabila kewenangan DPR sebagai lembaga pengawas dapat dioptimalkan untuk mengawasi pemerintah agar berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Menurut dia, secara konstitusional, DPR berwenang menagih janji politik pemerintah untuk penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia dan juga berwenang memanggil Jaksa Agung untuk membuka hasil pengungkapan kasus.
Claudia SB