Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Saya tidak tahu, apakah tindakan yang baru saja kami (keluarga) lakukan terkait dengan wabah Covid-19 salah. Jika salah kami mohon maaf (kepada siapa ya?), namun kami hanya mau sekedar berbagi pengalaman “menjustifikasi diri” sendiri bahwa kami bertiga kena Corona, dan secara mandiri kami atasi “sendiri.”
Singkat cerita, taggal 13 November lalu kami tiba dari luar pulau. Sejak masih “di sana” dua hari sebelumnya istri saya sudah panas, batuk, dan tidak dapat membau apa pun, dan ketika tiba di rumah pada tanggal 13 itu, saya dan anak yang mengalami gejala sama.
Hanya dalam hitungan “hari pertama” kami bertiga sudah mulai tidak bisa lagi merasakan minuman dan makanan apa pun, bahkan hilang semua selera untuk minum maupun makan. Kami merasa hanya dua gejala kena covid-19 yang tidak kami alami, – yakni ada masalah dengan tenggorokan dan pernafasan – , oleh karena itulah kami “memvonis diri” kena covid-19.
Hari kedua dan seterusnya, di rumah, kami bertiga “golek urip dhewe-dhewe” dalam arti mengurus dan “mengobati” diri sendiri sesuai dengan selera dan perasaan masing-masing dengan tujuan agar tidak stres.
Anak saya, tetap melakukan pekerjaannya (work from home) dan semakin sering pesan makan untuk disantap padahal tidak merasakan apa pun. Ia sadar betul (dan tetap enjoy), betapa diriku membutuhkan energi, maka asupan makanan penting.
Obat yang ia konsumsi terbatas jenis maupun jumlahnya (kalau tidak salah hanya dua macam), tetapi asupan makan dan istirahat cukup sangat ia perhatikan; dan syukur pada Allah. anakku “hanya” membutuhkan waktu recovery satu minggu saja.
Saya dan istri membutuhkan lebih dari 14 hari “menyembuhkan diri,” dan yang dominan saya lakukan ialah banyak tidur (di minggu pertama), – bantal saya sirami minyak kayu putih agar aromanya tercium – , padahal saya setiap kali juga menuang minyak kayu putih itu ke air panas (di mangkok kecil) lalu saya hirup-hirup terus.
Tetap penciuman belum juga merasakan aroma apa pun. Sambil tiduran (menghantar tidur diri sendiri) saya selalu bersenandung lagu apa pun yang saat itu teringat notasinya. Sesekali memaksa diri untuk minum jus jambu merah atau sirup jahe (tetap tidak terasa dan sebetulnya lidah menolak karena tidak berselera sama sekali), atau menyuap nasi putih barang dua sendok.
Beberapa kali merebus telur, – karena konon mengonsumsi telur bagus – , tetapi satu telur saja belum tentu habis pada satu hari itu. Berjemur di pagi hari saya lakukan beberapa kali (kadang pukul delapan, sembilan, lalu nanti pukul sepuluh pun berjemur lagi) bergantung cerahnya sinar matahari di musim penghujan ini.
Saat berjemur seperti itu, sering saya lakukan sambil pura-pura membersihkan rumput atau selokan, atau menata pot tanaman; dengan maksud “mengelabui” tetangga atau orang yang lewat mengingat jalan di depan rumah saya termasuk jalan umum.
“Golek uripe” istri berbeda lagi. Ia tetap mencoba memasak apa pun yang diinginkan (padahal selalu tidak terkonsumsi habis). Di minggu pertama ketika saya banyak tidur, istri justru mengalami sangat sulit tidur, sampai-sampai ia minta temannya yang dokter untuk berkenan mengirimkan obat tidur.
Selera makannya hanya nasi putih “berlauk” kecap untuk barang tiga empat suap. Terutama di minggu kedua, saya heran karena istri sudah bisa rajin (lagi) buka HP, eh…ternyata ia membaca kutipan kitab suci hari itu, dan doa-doa apa pun yang bisa dibacanya.
Kini, saat ini, tiba saatnya kami berdua (karena anak telah lebih dahulu) mengalami kemaruk, yakni rakus serakus-rakusnya untuk makan apa pun. Bobot badan saya turun hamper lima kilogram kemarin-kemarin, istri bobotnya turun sekitar 3 kilogram; dan saat ini seolah-olah kami sedang berlomba untuk mengembalikan bobot yang sebetulnya tidak ideal itu.
Mandhireng Pribadi
Menyimpulkan obrolan ini, saya minta maaf karena sombong mengatakan, pertama, itulah yang rupanya nenek moyang kita ajarkan tentang apa yang disebut mandhireng pribadi. Setiap pribadi dalam kondisi tertentu (mendesak) harus dapat benar-benar nguripi uripe dhewe, ngurusi uripe dhewe. Kendati sakit (minggu pertama benar-benar lunglai kami) tetap jangan manja, harus bisa mengurus diri sendiri, dan berusaha “menyembuhkan” diri sendiri.
Baca Juga: Adol Gembes
Karena itu harus memilih cara yang paling cocok untuk dirinya sendiri agar tidak stres. Referensi mengatasi bahaya covid-19 luar biasa banyaknya, tetapi kalau referensi seperti itu tidak cocok untuk diri pribadi kita, bisa-bisa justru membuat dan mendorong stres, dan itulah yang tidak boleh terjadi, entah stres, parno, takut, pesimistis, was-was. Gembira, enjoy, biasa-biasa saja seperti biasanya ternyata kami alami sebagai kunci mengobati diri sendiri.
Kedua, mungkin ada yang bertanya, mengapa tidak ke rumah sakit (saya ditegur begitu oleh sobat saya yang ketua yayasan RS swasta terkenal ketika saya beri tahu dia bahwa sudah lima hari “terkapar’?
Ini alasan sangat sombong dan egois. Kami keluar pulau dalam rangka mantu (anak saya tadi), maka dengan sangat egois kami putuskan untuk tidak ke RS agar ora kedawa-dawa, dalam arti kami tidak ingin menjadi sumber-repot banyak pihak termasuk keluarga besan di sana, dan orang-orang terakhir yang kontak dengan diri kami.
Ketiga, ora was-was, ora stres, ora parno dan tetap enjoy, kami simpulkan sebagai kunci utama mandhireng pribadi. Siapa mau sehat dan siapa mau “mengobati” dirinya sendiri, pilihlah cara ataupun “obat” yang tidak membuat dirimu stres. Dan keempat, mengandalkan campur tangan Allah,- entah bersenandung, entah baca-baca -, mujarab untuk melapisi hidup yang percaya kepada jalan dan kebenaran-Nya.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)