DENPASAR (SUARABARU.ID) – Aksi demo penolakan terhadap omnibus law terus berlangsung di berbagai tempat. Termasuk juga di Bali, Aliansi Bali Tidak Diam kembali menggelar aksi damai menyuarakan pembatalan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Aksi demo, Kamis (22/10) itu dijaga ketat aparat keamanan baik kepolisian, Satpol PP dan nampak kehadiran para pecalang.
Mereka melakukan orasi di depan halte bus Sudirman Kampus Universitas Udayana Jalan PB Sudirman Denpasar. Dengan adanya aksi itu, jalan ditutup dan dijaga ketat oleh petugas gabungan mulai sekitar 15.00 – 18.00 Wita.
Bahkan petugas masih berjaga-jaga meskipun massa aksi demo telah bubar seperti pantauan Atnews yang dikutip siberindo.co hingga pukul 18.30 Wita.
Pada kesempatan itu, hadir Ketua BEM Udayana Dewa Gede Satya Ranasika Kusuma, Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali, I Dewa Made Rai Budi Darsana dan Direktur LBH Bali Vany Vrimaliraning.
Peserta aksi juga sebarkan famlet Cilaka 12. Skandal pembentukan UU Omnibus Law Cipta Kerja yakni (1) naskah RUU disembunyikan saat pembahasan di pemerintah, (2) naskah Omnibus Law disusun oleh Satgas Omnibus Law yang berisi 127 orang pengusaha yang memiliki konflik kepentingan dengan pemerintah seperti mantan tim sukses. Pengusaha yang terkait kebijakan.
Prosesnya di satgas ini abnormal dan tertutup, (3) Sidang di hotel-hotel mewah. Bahkan ada yang menggunakan uang pribadi anggota dewan, (4) Pembahasan tingkat II dibuat saat naskah Final RUU belum jelas dan tidak dibagi ke anggota DPR, (5) pembahasan tingkat II tidak disebutkan dalam undangan sidang tanggal 6 Oktober,
Yang keenam, menyusupkan kluster pajak di akhir persidangan dan tidak ada di naskah akademik, (7) Pembahasan dikebut hingga tengah malam. Sangat jarang terjadi sebelumnya, (8) Meski ada yang positif Covid-19 sidang tetap dilanjutkan, (9) Pembahasan tingkat II hanya dihadiri 318 dari total 575 anggota dewan yang hadir baik secara fisik maupun virtual. Artinya sebanyak 257 legislator memilih untuk tidak menghadiri.
Kesepuluh, sidang penutupan direncanakan pada 8 Oktober setelah ada rencana aksi besar. Tiba-tiba dimajukan menjadi tanggal 5 Oktober, (11) Draf RUU dibuat tanpa kajian/naskah akademik terlebih dahulu.
Di pengadilan pemerintah mengakui buat draf persamaan dengan naskah akademik. Padahal UU 12/2011 mengharuskan adanya naskah akademik sebelum RUU serta (12) Anggota dewan yang hadir pada saat pengesahan tidak memperoleh salinan fisik. Bahkan pimpinan sidang mematikan mikrofon anggota dewan yang menolak.
Dalam orasinya tetap menyuarakan UU Omnibus Law jegal hingga batal dan membela kaum buruh, petani, nelayan dan perempuan.
Serta dalam famlet terdapat hastag #BatalkanOmnibisLaw, #JegalSampaiBatal, #MosiTidakPercaya dan #BaliTidakDiam.
Menurut selebaran pernyataan aksi yang disebar peserta dinyatakan bahwa akhir cerita panjang perjuangan rakyat dikhianati pada tanggal 5 Oktober 2020 dengan secara resmi DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
Hal itu dinilai sebagai catatan sejarah bagaimana pengusaha untuk kesekian kalinya telah kehilangan hati nurani demi kepentingan mereka pribadi.
Segala tipu daya telah diupayakan oleh para wakil rakyat, tapi sayangnya rakyat tidak buta.
Di tengah situasi darurat pandemi Covid-19 tidak mengurungkan niat pemerintah dalam mengesahkan UU Cipta Kerja.
Nyatanya ada jauh lebih berbahaya ketimbang pandemi Covid-19 yang penuh konspirasi yakni tindakan pemerintah itu sendiri.
Pengesahan UU Cipta Kerja itu telah menimbulkan eskalasi pergerakan massa yang masif dalam mengupayakan menggagalkan RUU tersebut.
AT-trs