blank
Inilah rumah yang pernah ditinggali Gus Dur bersama keluarga sebelum beliau pindah ke Jakarta. Foto: Makin Rahmat/wartawatransparansi.com

JOMBANG (SUARABARU.ID) – Siapa tak mengenal KH Abdurrahman Wahid? Seorang tokoh nahdliyin yang kemudian menjadi pemimpin negeri ini. Mungkin dalam pikiran kita, Gus Dur sapaan akrab KH Abdurrahman Wahid, adalah figur pemimpin dengan seribu kontroversi dan mampu menjadi bapak demokrasi.

Lahir dari keluarga pesantren, 7 September 1940 atau 4 Sya’ban 1359 Hijriah, merupakan anak pertama dari KH Wahid Hasyim dan Bu Nyai Solichah dan cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratusy Syech KH Hasyim Asy’ari.

Keberagaman dan keunikan Gus Dur – sapaan dari Dr. (HC) KH. Abdurrahman Wahid bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari, Presiden ke-4 RI terbawa hingga saat ini. Cerita anekdot dan guyonan segar penuh humor beliau seakan tak pernah luntur dan hilang ditelan zaman.

Dalam suatu kesempatan, penulis tanpa sengaja saat diajak untuk takziyah di rumah KH Muhammad Faruq pemangku Pondok Pesantren Al-Bhisri, Jalan KH Bishri Syamsuri, Denanyar, Jombang, Rabu (14/10/2020).

Bermula dari takziyah lalu berlanjut pada rumah ‘keramat’ yang pernah ditempati Gus beserta keluarga.  Bagaimana kondisi bangunan yang terlihat kurang terawat tersebut? Sebelum Gus Dur memutuskan hijrah ke Jakarta dan tinggal di Ciganjur, hingga menjadi Ketua Umum (Ketum) PBNU tiga periode, ternyata pernah tinggal di ‘istana’ yang diyakini oleh keluarga besar Mbah Bishri punya keistimewaan.

Bukan sekedar wibawa dari Gus Dur, namun keluarga yang ditakdirkan pernah mencicipi tinggal di rumah yang dulunya cukup megah dan mewah ini, menjadi jujugan (tempat singgah) kerabat luar kota bila ingin mondok atau ngaji di Denanyar.

Dr. KH. Sholahuddin, putra dari almarhum Romo KH. Moh. Faruq, membenarkan tentang keramat dan wingit dari rumah Gus Dur, setelah suwung (kosong). Belakang rumah bagian barat dulu ada kolam renang. Ya tentu di lingkungan Denanyar masih belum umum. Kebetulan Gus Dur, baru kembali dari berkelana.

Keluarga Terhormat

“Dulu Gus Dur dan Bu Nuriyah tinggal di sini dengan anak-anaknya. Bahkan, Gus Halim (Abdul Halim Iskandar), menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, kakak kandung dari Muhaimin Iskandar, Ketum PKB, pernah tinggal, Gus Irsyad (Irsyad Yusuf, Bupati Pasuruan), dan adik-adik dari Gus Dur tinggal di sekitar rumah beliau,” ungkap Gus Sholah, mengawali percakapan dengan WartaTransparansi.Com seperti dikutip siberindo.co.

Tidak disangsikan, Gus Dur lahir dalam keluarga sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri NU, sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bishri Syamsuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.

Ayah Gus Dur sendiri, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.

Menurut Gus Sholah, sejak Gus Dur sering berada di Jakarta, tahun 1980-an, kondisi rumah mulai sebagai tempat singgah saja. Kegiatan Gus sangat padat dan menyita waktu, fisik, dan pemikiran.

“Memang kondisinya begitu. Nah, saat mulai suwung itu rumahnya jadi wingit. Keluarga sendiri tidak berani membersihkan kalau belum ada izin atau dawuh dari keluarga beliau,” paparnya.

Malah, rumah di belakang kediaman Gus Dur, dari penerawangan menjadi sarang seperti kerajaan demit (jin). “Dulu, waktu kita diberikan izin bersih-bersih, ada saja yang kena, sakit atau kerusupan. Alhamdulillah, setelah ikhtiar dan santri pondok tahfidz (hafal Quran) yang putra diminta menempati rumah tingkat, mulai gak wingit,”  lanjut Gus Sholah.

Bahkan, dari kolam renang yang sudah tidak dipakai sering keluar ular dari berbagai jenis, yang diakui warga sekitar, campuran ular gaib.

Di kamar Gus Dur, bagian belakang. Walau kondisi ruang sudah berantakan masih tegak lemari kayu jati kokok dan kursi. Sepertinya, jendela belakangn kacanya pecah sehingga terkesan kumuh dengan debu yang menebal.

“Semoga, dari keluarga besar Gus Dur, ada keinginan untuk merenovasi. Setidaknya, dibikinkan rumah sejarah atau museum sehingga generasi mendatang tidak kehilangan tapak tilas sejarah, khususnya keluarga dari Mbah Hasyim,” kata Gus Sholah.

Diakui oleh Gus Sholah, bila abahnya, alm KH. Moh Faruq memang ikhtiar dan istikharah memakai nama Al-Bishri. Semua itu merupakan upaya untuk terus memasukan pesantren. “Alhamdulillah, dari tempat yang sempat kosong akhirnya dihuni santri dan didirikan Taman Pendidikan Alquran “Bilqolam” Al-Bishri. Sekarang santrinya menampung 4 kelas,” kata Gus Sholah.

Seputar rumah keramat Gus Dur, menurut Gus Sholah juga Sekretaris Pagar Nusa Jatim ini, percaya boleh tidak memang membawa berkah.

“Gus Halim sekarang jadi Menteri. Gus Ipul (Saifullah Yusuf) dan Gus Irsyad orang-orang yang pernah tinggal. Di belakang juga sempat ditempati adik Gus Dur, Gus Ishom yang juga dikenal nyeleneh. Jadi, kalau dari keluarga Gus Dur, nganeh-nganehi itu biasa,” ujarnya.

Dalam biografi Gus Dur memang tercatat, punya jalur keturunan Tiongkok alias China. Gus Dur, merupakan keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.

Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri penelusuran peneliti Prancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

Catatan lain, ternyata pada 1944, Gus Dur pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

Pada akhir perang tahun 1949, kembali ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Gus Dur juga diajarkan membaca buku nonmuslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Wallahu a’lam bish-shawab.

makin rahmat -trs