blank
Doktor Mutamimah

Oleh: Mutamimah

Beberapa hari yang lalu, pemerintah melakukan langkah strategis dalam bidang ekonomi dan keuangan syariah, yaitu Kementerian BUMN telah mengumumkan merger bagi ketiga bank Syariah, yaitu: Bank BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI Syariah menjadi satu nama, yaitu Bank Amanah.

Pro-kontra selalu terjadi terkait dengan strategi pemerintah tersebut. Ada pihak yang mendukung strategi merger bank syariah tersebut dengan alasan agar bank Syariah lebih kuat, lebih besar kapasitasnya, lebih efisien, sehingga dapat bersaing secara nasional maupun internasional.

Bahkan keberadaan mergernya bank Syariah dapat mengoptimalkan pertumbuhan sektor riil, serta mengakselerasi pertumbuhan industri halal yang sedang marak-maraknya saat ini.

Namun,di sisi lain ada sebagian  pihak yang mengkhawatirkan strategi merger bank syariah tersebut, dengan alasan: bagaimana dengan dana nasabah bank syariah, bagaimana melakukan kolaborasi antar budaya yang berbeda, adanya potensi konflik, serta masih ada pihak yang berada di “zona aman” menolak untuk berubah.

Tepatkah strategi tersebut dilakukan saat pandemi covid_19 saat ini? Bagaimana dengan nasabah yang merupakan kekuatan penting bagi kesuksesan bank syariah?

Adanya asymmetric information antara bank syariah dengan nasabah, menjadi potensi munculnya persepsi yang salah terhadap strategi merger bank syariah tersebut. Nasabah sangat mungkin bingung dan bertanya-tanya dengan strategi merger tersebut. Bagaimana memberikan solusi terhadap masalah tersebut? Padahal nasabah serta stakeholders  menjadi “kekuatan” dalam prestasi merger bank syariah.

Merger Bank Syariah dan Sektor Riil

Merger merupakan penggabungan dua perusahaan atau lebih untuk membentuk satu nama baru. Seperti yang dilakukan oleh ketiga bank syariah saat ini, yaitu: Bank BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI Syariah menjadi satu nama, yaitu Bank Amanah.

Dalam merger, beberapa perusahaan bersedia untuk mengintegrasikan dan menggabungkan aktivitas operasional mereka ke dalam satu entitas tunggal. Di dalam entitas baru tersebut dalam operasional, kepemilikan, kontrol harus dilakukan secara sinergi, sehingga memberikan benefit kepada semua pihak, termasuk stakeholders terkait.

Hal menarik dengan strategi merger saat ini karena menurut data Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa market share atau pangsa pasar perbankan Syariah pada bulan April 2020 mencapai 9,03% (masih di bawah 10%).

Angka ini sangat memprihatinkan, karena  Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim, yang seharusnya menjadi potensi besar untuk mendukung perkembangan perbankan syariah. Adanya merger bank syariah ini, diharapkan pangsa pasar bank syariah menjadi 20%  sesuai dengan proyeksi pemerintah  Indonesia untuk tahun 2023-2024.

Tiga bank syariah mempunyai  positioning yang berbeda, yaitu: Bank Syariah Mandiri fokus pada segmen kredit korporasi, Bank BRI Syariah fokus pada penyaluran pembiayaan Usaha Mikro Kredit Menengah (UMKM), dan Bank BNI Syariahfokus ke consumer banking, menyasar kelompok milenial, dan international funding.

Dengan demikian, jika ketiga bank syariah tersebut melakukan merger,  maka akan saling memperkuat satu dengan yang lain, skala ekonominya samakin besar, efisien, dan jangkauan wilayahnya lebih luas dari sebelumnya. Ketiga bank syariah tersebut menguasai aset  sekitar 40 persen dari total aset seluruh bank syariah secara nasional.

Artinya adanya merger bank Syariah ini menjadi momentum strategis untuk pemberdayaan sektor riil, sehingga dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Bahkan Global Islamic Report, menunjukkan bahwa Indonesia adalah pasar produk halal terbesar di dunia, yaitu sekitar 10 persen dari total pasar produk halal dunia. Selain itu, pasar produk halal Indonesia diproyeksikan akan tumbuh signifikan menjadi USD 320 juta atau setara Rp 4.800 triliun.

Oleh karena itu, bank syariah harus meningkatkan deferensiasi/keunikan produk dan layanan, peningkatan kualitas sumber daya insani, serta infrastuktur  teknologi yang memadai, serta pengaturan pengawasan yang terintegrasi dengan ekosistem ekonomi syariah.

Selain itu, bank syariah yang melakukan merger juga harus melakukan sinergi tidak hanya terbatas dengan lembaga keuangan syariah saja,  tetapi juga dengan industri halal, lembaga sosial Islam (Islamic social finance), serta stakeholder lain. Dengan demikian peran bank Syariah dalam memberdayakan sektor riil akan terwujud dengan baik.

Nasib Nasabah Bank Syariah

Bank Syariah sebagai lembaga intermediari yang menghubungkan antara nasabah sebagai principal dengan bank Syariah sebagai agen mempunyai tingkat asymmetric information yang tinggi. Artinya bahwa nasabah bank Syariah sebagai pihak eksternal mempunyai informasi yang lebih sedikit dibanding informasi yang dimiliki oleh internal bank Syariah.

Hal ini menjadi penyebab para nasabah bingung dan bertanya-tanya akan adanya informasi tentang merger bank Syariah tersebut. Sangat mungkin nasabah salah persepsi dengan strategi merger perbankan syariah ini.

Kondisi itu sangat berbahaya kalau dibiarkan dan kemudian nasabah berbondong-bondong berpindah ke bank lain. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah tahun 2019 sangat rendah, masih di bawah tingkat literasi dan inklusi keuangan bank konvensional.

Adapun tingkat inklusi keuangan syariah berdasarkan data Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLK) 2019 yang disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 9,10 persen dan indeks literasi keuangan syariah 2019 sebesar 8,93 persen. Artinya  naik tipis dari tahun 2016 yang nilainya 8,1%. Sedangkan tingkat  inklusi keuangan Syariah justru turun dari 11,1 persen tahun 2016 menjadi 9,1 persen pada tahun 2019.

Angka ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah hanya sebesar 8,93%. Artinya dari 100 orang, hanya sekitar 9 orang yang dapat memahami keuangan syariah dengan baik, baik tentang jenis produk bank syariah, misal: murabahah, mudharabah, musyarakah, istisna’, wadiah, dan lain-lain.

Demikian juga untuk inklusi keuangan syariah justru turun menjadi 9,1 persen. Artinya bahwa dari 100 orang, hanya9 orang yang mempunyai kemudahan akses, menggunaan produk dan layanan keuangan syariah, kesesuaian produk keuangan syariah, bahkan yang merasakan  kualitas layanan keuangan syariah.

Oleh karena itu merger bank syariah ini harus meningkatkan sosalisasi dan edukasi secara terus-menerus dengan melakukan kolaborasi berbagai pihak seperti: Lembaga Pendidikan Tinggi, pesantren, tokoh masyarakat secara tepat, sehingga tingkat literasi keuangan dan inklusi keuangan syariah meningkat secara signifikan sesuai yang diharapkan.

Simpulan

Merger ketiga bank syariah menjadi angin segar bagi perkembangan industri keuangan syariah dalam memberdayakan sektor riil, mensupport pertumbuhan industri halal, serta memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Nasabah bank syariah serta stakeholders yang terkait dengan bank syariah menjadi kekuatan/energi yang sangat penting dalam mewujudkan tujuan merger bank syariah tersebut.

Oleh karena itu, untuk menghilangkan persepsi keliru dari pihak eksternal, serta untuk meningkatkan keyakinan  nasabah dalam melakukan transaksi dengan bank syariah, maka bank syariah yang melakukan merger harus  meningkatkan tingkat literasi keuangan syariah (pemahaman, dan ketrampilan tentang mekanisme operasional bank syariah)  maupun inklusi keuangan syariah(kemudahan akses baik dari supply side maupun demand side), dengan cara  kolaborasi  dengan berbagai tingkatlembaga pendidikan, pesantren, nasabah potensial, serta masyarakat secara luas.

(Doktor Mutamimah, Dosen Fakultas Ekonomi Unissula dan Pengurus ISEI, Semarang)