Oleh: Budi Susanto
“Lupakanlah kenangan masa lalu”. Kalimat itu sepertinya banyak kita dengar dalam lagu-lagu melankolis (sering disebut cengeng) tempo dulu. Pada kenyataannya, masa lalu sebenarnya tidak bisa dan tidak untuk dilupakan.
Masa lalu semestinya untuk diatasi, bukan dilupakan. Tanpa mengatasi masa lalu, sebenarnya saat ini kita tak bisa mengatakan “pasca”, melainkan hanya “setelah/sesudah”. Tanpa “diatasi”, masa lalu berpotensi terulang kembali. Begitu salah satu substansi sejarah.
Seperti dialami banyak bangsa, sejarah masa lalu kita juga pernah dijajah bangsa lain. Begitu lamanya bangsa ini dijajah, sehingga jejak-jejaknya masih sangat terasa dalam kehidupan sekarang.
Hukum yang diterapkan pada jaman kolonial Belanda, sampai saat ini masih banyak diberlakukan. Jika ditarik lebih ke belakang lagi, akan terkait dengan sejarah Perancis jaman Napoleon (yang pernah menjajah Belanda), hingga ke jaman Romawi Kuno. Itulah hukum Eropa Kontinental yang menganut civil law system. Sistem hukum ini yang kita anut sampai sekarang (sekalipun sejak amandemen UUD sudah ada warna campuran common law system).
Civil law sytem yang kita anut bertumpu pada legalisme hukum. Hukum dikodifikasikan dalam bentuk undang-undang (UU) dan turunannya. Kebutuhan untuk mengatur semua hal ke dalam teks UU, membuat hukum bisa terjebak dalam persoalan kebahasaan dan permainan kata.
Implementasinya sering tergantung yang menafsirkan. Karena itu seringkali muncul satire, hukum dalam peraturan (law in book) berbeda dari hukum dalam tindakan (law in action). Hukum yang seharusnya (das sollen), berbeda dari yang senyatanya (das sein).
Permasalahan
Di negara Indonesia yang terdiri atas banyak tradisi budaya, civil law banyak mengalami permasalahan. Sistem hukum dibangun melalui kodifikasi (undang-undang) yang positivistik, dan bercorak legal-dogmatik. Sekalipun lebih menjamin kepastian hukum, tapi di sisi lain sistem ini akan kaku dan cenderung sulit mengikuti perubahan perkembangan jaman yang makin cepat, di tengah tradisi budaya yang sangat beragam. Keadilan pun seolah hanya bisa dicari di pengadilan. Sementara hakim dinilai tak lebih hanya sebagai mulut/corong UU.
Kondisi seperti ini, disadari atau tidak, sudah berlangsung, bukan puluhan, tapi ratusan tahun. Meski sudah memiliki demikian banyak perguruan tinggi, ribuan doktor dan profesor, tapi kita belum mampu membuat hukum untuk menggantikan hukum warisan kolonial.
Bahkan diĀ negara asalnya, hukum sudah berubah, tapi di kita masih mandek. Harmonisasi hukum yang sudah begitu lama didengungkan, belum bisa berbuat banyak. Program legislasi nasional (prolegnas) selalu kedodoran menangani masalah ini. Partai politik lebih sibuk mengurus pemilu/kada.
Keluhan tentang Hukum
Karena itu seringkali muncul keluhan tentang hukum kita yang tumpang tindih, bahkan saling bertentangan/bertabrakan. Para hakim bisa membuat putusan yang saling bertolak belakang terhadap suatu perkara yang relatif sama.
Satu perkara divonis bersalah/dihukum, yang lain dibebaskan. Koruptor “dilepaskan”, tapi mengambil (bukan mencuri) buah kakao jatuh untuk ditanam, malah dihukum, atas nama undang-undang. Suap bisa dianggap sebagai ucapan terima kasih, uang transport, dsb.
Pengadilan seakan bukan menjadi tempat mencari keadilan, melainkan mencari kemenangan. Bukan kebenaran yang diperjuangkan, tapi kepentingan. Bukan norma yang dikedepankan, tapi gengsi.
Bukan salah benar yang jadi dasar pertimbangan, tapi untung rugi. Maka kepercayaan terhadap hukum dan pengadilan bisa jatuh ke titik nadir. Kasus Joko Candra dan Jaksa Pinangki, misalnya, diyakini hanya salah satu puncak gunung es yang ketahuan.
Hukum di Indonesia sering dinilai sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Belum lagi ditambah sikap mental “balas dendam masa lalu” dan perilaku korup yang meruap bagai wabah. Bisa dimengerti jika mucul keengganan melakukan investasi/usaha di negeri yang kaya sumberdaya ini.
Lingkaran Setan
Inilah lingkaran setan yang penuh paradoks, saling mengait, dan tak mudah ditemukan ujung pangkalnya. Setiap usaha untuk mengurai dan memperbaiki, akan membentur tembok dan menimbulkan konflik kepentingan.
Bukan hanya melibatkan akar rumput yang mudah disulut, tapi justru dari para elit dan oligarkhi. Partai politik yang berkampanye menjadi pembela rakyat, kenyataanya malah sering memperdayai rakyat. Rakyat lebih banyak diatasnamakan dan dimobilisasi, bukan partisipasi. Pemilu/pilkada menjadi bukti yg sulit dibantah.
Kita masih ingat peristiwa dua orang profesor hukum yang nyaris baku hantam di depan kamera televisi (salah satunya kini dipenjara karena kasus suap). Lalu seorang tokoh aktivis menyiram wajah seorang profesor dengan air minum, juga di depan kamera TV.
Sementara sejumlah intelektual lain, seperti tanpa rasa risih, lebih suka tampil bagai artis dan komedian mencari sensasi dan pujian, ketimbang sebagai cendekiawan yang memberi pencerahan. Apa yang tidak penting lebih ditampilkan, dan apa yang penting (jika perlu) dikesampingkan/ditutupi, karena tidak sesuai dengan kepentingan/keinginan diri.
Banyak pemimpin suka memelintir kepentingan diri menjadi seolah kepentingan umum. Korupsi menjadi barang lumrah sehari-hari. Kondisi ini menunjukkan betapa “ruwet” permasalahan hukum kita. Maka jika dua orang profesor hukum bisa nyaris baku hantam, bagaimana dengan kaum buruh?
Produk politik
Hukum memang bukan berarti segala-galanya. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan hukum. Tapi tak bisa dibayangkan bagaimana masyarakat ada tanpa hukum. Apa boleh buat, hukum harus senantiasa diperbaiki di tengah perkembangan masyarakat yang majemuk ini.
Bagaimanapun hukum dalam bentuk UU adalah produk politik. Suatu UU akan memuat visi pembuatnya. Hanya mereka yang berwenang secara politik yang bisa membuat UU. Kualitas UU yang dihasilkan, ditentukan oleh kemampuan/kualitas dan kemauan pembentuk.
Namun seindah apa pun UU dibuat, pada gilirannya juga akan tergantung struktur hukum dan aparat penegaknya. Aparat penegaknya pun akan sangat terpengaruh budaya masyarakatnya. Peran para intelektual dan pemimpin juga sangat mempengaruhi perilaku masyarakat.
Sudah banyak pengamat mengungkapkan, negeri ini sebagai negeri oligarkhi, yang sangat terlihat dalam pelaksanaan pemilu/pilkada, misalnya. Hukum seakan tak berdaya menghadapi politik uang yang merajalela.
Rakyat pun menjadi tak peduli, dan bersedia memilih kembali “penjahat luar biasa/koruptor”, yang baru saja keluar dari penjara, menjadi pemimpinnya kembali, asal diberi sekadar uang imbalan Rp 50.000 atau Rp 100.000. Putusan pengadilan boleh jadi telah diambil, tapi rasa keadilan dan kedamaian di masyarakat senantiasa terusik.
Perilaku korup ibarat hantu yang tak kunjung bisa disingkirkan. Pengalaman terperosok dalam lobang yang sama, sepertinya terus berulang. Sejarah seolah mengajarkan, tak ada yang bisa dipelajari darinya.
Kegaduhan, kekisruhan, atau kerusuhan (mungkin bisa lebih) terus berulang dan berulang, karena memang ada yang menginginkannya. Mereka pandai memanfaatkan kekeruhan menjadi kesempatan. Pintar mengubah musibah menjadi berkah.
Partisipasi publik
Hukum kita memang harus diperbaiki, tapi kekisruhan masih terus muncul. Apa boleh buat, kutukan sejarah rupanya masih akan terus berlaku.
Di era demokrasi, pengaturan dan pengendalian sosial memang dilakukan dengan hukum perundang-undangan. Namun pembuatan suatu UU tak jarang diwarnai kontroversi, konflik, demonstrasi, bahkan kerusuhan.
Setelah jadi pun isinya mudah dipatahkan MK. Malah ada UU yg secara utuh dibatalkan, seperti UU No. 9/2009 tentang BHP. Sulit dibayangkan, bagaimana sebuah UU yang mengatur soal pendidikan dan begitu strategis serta melibatkan para intelektual, hanya berusia seumur jagung lalu dikubur, karena melanggar/bertentangan dengan UUD.
Bagaimana bisa? Siapa bermain di belakang? Siapa sponsornya? Siapa diuntungkan dan dirugikan? Dimana DPR dan partai politik? Bagaiman UU seperti ini bisa lolos? Bagaimana dengan UU yang lain? Mengapa perguruan tinggi lebih banyak diam, dan judicial review justru diajukan oleh para aktivis dan advokat? Seribu tanya mencari jawab. Ini bukan ironi. Ini tragedi.
Kadang terjadi, pihak-pihak pembentuk UU pun seperti kurang paham, pura-pura tak paham, atau sengaja menabrak rambu UU. Penyusunan naskah akademik dan partisipasi masyarakat acap kali diabaikan, dan tidak transparan.
Kejanggalan Proses
Dalam wawancara di salah satu TV, Menkominfo Johnny G Plate ditanya: Mengapa hingga Rancangan UU Cipta Kerja disetujui oleh DPR, masyarakat, termasuk pers, belum bisa mengaksesnya? Serta merta Menkominfo menjawab: Memang begitu prosesnya. Rancangan UU yang telah disetujui DPR itu harus diketik dulu, dalam waktu satu minggu diserahkan ke pemerintah untuk disahkan, baru disebarluaskan ke masyarakat.
Tanya jawab menjadi melenceng. Bukan soal pengetikan, tapi soal akses. Jangankan publik, sejumlah anggota Dewan pun mengaku tidak mendapatkan draft RUU dalam sidang paripurna, hanya karena alasan butuh waktu lama untuk penggandaan draft.
Kok seperti rapat RT. Pers dan publik pun kaget karena sidang persetujuan dipercepat dan keputusan diambil menjelang tengah malam. Apa boleh buat, berbagai pertanyaan berkecamuk di publik.
Dalam Pasal 96 UU 12/2011, jelas tegas diatur tentang partisipasi masyarakat. Sejak dari tahap penyusunan rancangan hingga disahkan, pembentukan undang-undang HARUS dapat diakses dengan MUDAH oleh masyarakat.
Meski telah dibantah, publik menjadi curiga karena merasakan ada kejanggalan pada prosesnya. Akibatnya muncul berbagai penolakan, bukan hanya dari para pekerja, mahasiswa, kalangan akademisi, bahkan juga sejumlah kepala daerah, dalam keadaan belum ada draft yang asli/final. Sangat ironis. Penafsiran jadi semakin liar, hingga ke masalah pilpres yang masih empat tahun lagi.
Sebagai perbandingan, kita bisa melihat pembuatan RUU KUHP yang sudah berumur lebih dari setengah abad (sejak tahun 1963/1964), dan telah berkali-kali direvisi dan disusun draft baru, sampai sekarang tak kunjung bisa diselesaikan. Ini berarti sudah meliputi masa seluruh Presiden RI.
Pembuatan Omnibus law baru pertama kali dilakukan. UU ini akan mempengaruhi/mengubah, bukan ratusan, tapi ribuan peraturan perundangan-undangan. Pasti bukan pekerjaan gampang. Jika ternyata bisa diselesaikan hanya dalam hitungan bulan, tentu merupakan “prestasi luar biasa” yang menyedot begitu banyak “perhatian”.
Cacat Sejak Lahir
Bagaimanapun hukum adalah produk politik, karena lahir dari lembaga legislatif yang merupakan lembaga politik. Di dalam politik, berbagai kepentingan saling berkelindan, termasuk saat merumuskan kata dalam hukum yang dibuat. Di sana ada kepentingan kekuasaan, ada kekuatan, ada kewenangan. Ada tarik ulur kepentingan diri/kelompok, ada perhitungan menang kalah, ada kalkulasi untung rugi, dsb.
Reaksi yang muncul pun juga bisa sangat politis. Bukan hanya mempersoalkan substansi dan proses pembentukannya, tapi persoalan-persoalan lain (bahkan yg tidak berkaitan) bisa dikaitkan demi tujuan kepentingan lain.
Banyaknya UU yang direvisi dan dibatalkan MK selama ini, menunjukkan buruknya kualitas UU yang dihasilkan. UU 12/2011 dibuat memang dimaksudkan agar pembentukan UU dilakukan dengan cermat, melalui tahapan dan kajian mendalam, supaya menghasilkan produk UU yang berkualitas, tidak tumpang tindih, bisa diterima, bisa ditegakkan, dan tidak mudah dipatahkan. Secara sederhana, sulit bisa dihasilkan UU yang baik, tanpa melalui proses yang baik.
Sekarang berbagai reaksi sudah muncul dari beragam kalangan. Dari orang pinggir jalan (yang terbukti tak pernah baca UU), para pekerja/buruh, praktisi, ahli, doktor, hingga profesor. Ada juga yang cuek. Saling tuding, saling bantah, sebar hoax, dsb. Pakar hukum yang satu bertentangan dengan pakar hukum yg lain. Masyarakat bingung, dan lebih mengutamakan kepentingan masing-masing.
Ada pendapat mengatakan bahwa hukum/UU sebagai produk politik, sudah cacat sejak lahir. Satu sisi menjamin kepastian, tapi serentak di sisi lain tak mampu menjamin rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Equality before the law terbukti hanya indah di atas kertas, tapi tidak dalam tindakan.
Berbagai kemungkinan
Sebuah UU yang baru disahkan, tidak serta merta bisa diterapkan. Masih memerlukan aturan pelaksanaan. Masih banyak kemungkinan terjadi. Pasal demi pasal mungkin akan dievaluasi lagi, dan diajukan judicial review (JR).
Masih harus ditunggu hasilnya. Jika dikabulkan, ditunggu lanjutannya. Jika ditolak (bukan tidak diterima), masih tergantung peraturan turunannya. Pelaksanaannya tergantung struktur dan aparat penegaknya. Tergantung perilaku budaya masyarakatnya.
Kita masih ingat proses pembentukan UU Otonomi Daerah dan UU Pemilu misalnya, yang bolak-balik diubah karena implementasinya tidak seindah yang tertulis dalam teks. Bahkan sekarang sudah ada keinginan untuk mengembalikan pemilihan pemimpin ke DPR/D lagi, karena suap di kalangan rakyat ternyata jauh lebih mahal dari suap di kalangan legislatif, dan nyaris tak bisa diatasi.
Franz von Liszt pernah mengatakan, hukum adalah piagam agung bagi penjahat (der magna charta des verbrecher). Para penjahat justru bisa berbuat apa saja, asalkan tidak secara tegas diatur dalam UU (memanfaatkan kelemahan UU).
Sistem hukum kita memang harus diperbaiki. Omnibus law, yang dimaksudkan untuk itu, tinggal diundangkan. Tapi agar hukum bisa berkerja dengan baik di tengah kondisi yang penuh paradoks, apa boleh buat, agaknya masih melalui jalan panjang. Butuh komitmen dan kerja ekstra. Karena nila setitik, bisa rusak susu sebelanga. Sejarah akan mencatat, akankah kita bergerak maju, atau sekadar berputar-putar mengulang pengalaman masa lalu yang sama.
Tak perlu menjadi cengeng. Kita hadapi masa depan secara kesatria. Boleh saja kita menghitung berbagai kemungkinan yang bisa terjadi nanti. Tapi Einstein pernah mengatakan: Tidak semua yang bisa dihitung itu penting. Dan tidak semua yang penting itu bisa dihitung.
(Budi Susanto, alumni pascasarjana Fak Hukum & FISIP Undip).