Oleh: Amir Machmud NS
//… dengan cinta dia datang// menautkan hidup seutuhnya// sepak bola pun menjadi hati// pengungkap rasa// bocah manis dengan polos cahaya// haruskah dia pergi tanpa cinta// atau bertahan tanpa cinta// lalu menoreh tragika?// (Sajak “Gelisah La Pulga”, 2020)
TAK pernah ada yang benar-benar mampu memperkirakan sebuah akhir: bahagia, atau tragika. Dan, sepak bola hanya replika dari perjalanan anak manusia. Bahkan, mereka yang berkemampuan dalam level extra ordinary. Tak juga Pele, Cruyff, Maradona, Zidane, bahkan siapa pun yang tak bisa menolak “bentuk akhir” dari skenario karier mereka, lika-liku hidup mereka.
Siapakah yang mengira, Iker Casillas berpamitan pergi dari Real Madrid pada 2015 dalam senyap? Betapa pilu, tak seorang pun petinggi klub yang menemani. Padahal dunia pun mengakui sumbangsihnya membentengi gawang Los Blancos, dari sejak memperkuat tim akademi 1998 hingga 2015. Dan, inilah ujung perjalanannya: sang legenda terpaksa memilih melabuhkan diri ke FC Porto. “Santo Iker” merasa tak dianggap lagi di komunitas yang membesarkan dan dicintainya.
Hari-hari “sumuk” Lionel Messi di Camp Nou juga ibarat adegan demi adegan menuju klimaks yang kita tidak tahu bakal seperti apa. Apakah ikon Barcelona selama lebih dari satu setengah dasawarsa ini akhirnya memilih bertahan dalam keterpaksaan? Atau dia akan berganti jersey entah ke Manchester City, Internazionale Milan, atau ke Paris St Germain?
Pada dua tanda tanya “apakah” itu, ada luka yang menganga. Bertahan pun dalam luka. Pergi, apalagi. Pepat hati yang telanjur dirasa, ketidaknyamanan yang merambati rasa, dan skenario dengan liukan pahit yang pasti tak dikehendaki semuanya.
Bolah dibilang, sepak bola hari-hari ini penuh ceritera tentang kegundahan Messi. Sejarah pergulatan hati para bintang pun bertambah dengan ketertorehan jejak seorang pemain berkategori good boy tersengat oleh alunan musik yang tak dia sukai.
Sah-sah saja orang mengatakan Messi terlalu perasa, baper, sensi, dan semacamnya; namun bukankah sah pula kapten tim nasional Argentina itu mengekspresikan rasa kemanusiaaannya? Leo Messi punya hati, cinta, dan perasaan itulah yang sejatinya membawa dia hingga ke level yang dia capai sekarang.
* * *
ANDA tahu sosok-sosok loyal dengan dedikasi luar biasa seperti Bobby Charlton (Manchester United), Franz Beckenbauer (Bayern Muenchen), Franco Baresi, Paolo Maldini (AC Milan), Giuseppe Bergomi, Javier Zanetti (Inter Milan), Francesco Totti (AS Roma), Carles Puyol (Barcelona), atau Steven Gerard (Liverpool). Sejarah menempatkan mereka ke dalam prasasti legenda yang mengakhiri karier dengan husnul khatimah.
Tetapi bagaimana dengan George Best dan Paul Gascoigne, bintang dahsyat yang tertaklukkan oleh kedahsyatan kecanduan alkohol? Bagaimana pula dengan Michael Platini yang pada puncak mematangan sebagai tokoh manajemen sepak bola terpuruk oleh skandal suap di UEFA dan FIFA? Juga Diego Maradona yang berurusan dengan kokain dan tersandung skandal doping?
Atau, yang hingga sekarang masih disesali oleh banyak penggemarnya: karier kinclong Zinedine Zidane ternodai oleh insiden menanduk dada Marco Materazzi di ujung pengabdiannya untuk tim nasional Prancis? Dan, tentu masih banyak kisah akhir karier yang tidak membuat nyaman.
Terhadap Messi saya pernah mengimpikan sebuah farewell game di Stadion Camp Nou dengan segala kemegahannya. Dunia dan seluruh pemangku kepentingan sepak bola melepas pensiun megabintang yang tiada tara. Manusia rekor yang dalam setiap pemunculannya mengundang atmosfer eksepsionalitas, decak kagum yang melewati batas-batas kemampuan teknis lumrah sepak bola.
Akankah bayangan tentang kanvas besar perpisahan Messi dengan komunitas Barca, masyarakat Catalunya, dan sepak bola dunia itu tinggal menjadi harapan, ketika dari hari ke hari, perkembangan hubungan La Pulga dengan manajemen Barca makin bersengkarut rupa?
Messi sudah memformalkan keinginan untuk meninggalkan klub, sementara dengan ikhtiar-ikhtiar pendekatan manajerial dan klausul hukum, akhir relasi Messi dengan Barca menjadi kaku, jauh dari gambaran sebagai dua entitas yang ber-chemistry, menjadi ikon untuk satu dan lainnya, disatukan oleh takdir sejarah sejak Akademi La Masia menemukan dan berperan membantu pengobatan Messi yang mengalami keterhambatan pertumbuhan fisik.
Kisah masa lalu pun tampaknya harus tertindih oleh bara amarah yang membuncah, emosi yang meluap, dan jalan keluar yang cenderung membuntu. Ketika akhirnya su’ul khatimah yang berlaku, tidakkah kita juga ikut merasa terusik oleh sesal yang menggumpal?
Jadi harus bagaimanakah ide dan langkahmu, Leo Messi?
Kesepian, kesenyapan, ketersendirian, kegelisahan, dengan bara kemarahan, dapat kita rasakan mengimpit peraih enam trofi Ballon d’Or itu. Orang akan cenderung membandingkan dengan Cristiano Ronaldo yang hijrah dari Manchester United ke Real Madrid dengan wajar, lalu pindah ke Juventus dengan anggun. Tetapi harus pula dipahami, sejarah Ronaldo berbeda dari Messi, yang mengikat hidup dan karier di Barcelona bukan sekadar dari ukuran-ukuran profesionalitas. Pada pojok-pojok suara nurani, ada hati, rasa, dan jasa yang berbicara.
Saya menangkap sejuta rasa yang menggumpal dalam hati dan hidup Messi. Dia manusia dengan kemampuan yang tak biasa, dan yakinilah dia berada dalam simpang yang tidak mudah karena cinta.
Dalam gelombang keterombang-ambingan rasa, bukankah ini tragika? Dengan cinta dia ada, dengan cintakah dia pergi? Bahkan bisa pula terjadi, dia akan bertahan, mengakhiri kontrak hingga 2021 tanpa cinta…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng