Oleh: Amir Machmud NS
//…kau pastilah paham// menantang lebih merangsang// ketimbang suntuk mempertahankan// yang baru tiba selalu menyemburatkan asa// mengajak kau tak tenggelam// dalam cencang keputusasaan// lantaran luap kemarahan// saat kau tak mampu menepis kenyataan// diakah ratu adil yang dijanjikan?// (Sajak “Merestorasi Blaugrana”, Agustus 2020)
RONALD Koeman-kah malaikat penyelamat itu? Sosok tepat yang bakal membersihkan virus-virus perusak kemapanan Barcelona? Yang akan menyusun kembali puzzle tradisi dan kejayaan?
Benarkah dia “ratu adil” yang diturunkan untuk menjadi penengah dari semua kesilangsengkarutan klub dalam semusim ini? Diakah “imam” yang akan menata kembali peradaban eksotik di bumi Catalunya?
Pertanyaan-pertanyaan penuh harap menyambut ikhtiar restorasi itu agaknya terjawab dengan awalan yang tersimpulkan, betapa Barcelona membutuhkan sosok legenda sebagai ksatria piningit penyelamat semestanya.
Ya, mungkin manajemen Barca ingin meng-copy paste jejak Zinedine Zidane yang sukses merestorasi Real Madrid, Mikael Arteta yang memimpin ikhtiar kebangkitan Arsenal, Ole Gunnar Solskjaer dalam proyek pembaruan Manchester United, Frank Lampard yang sedang membangun kembali kerajaan Chelsea, dan Andrea Pirlo yang didapuk mengarsiteki Juventus.
Di antara kisah-kisah kehebatan sebagai pemain bertahan yang punya naluri produktivitas gol, Ronald Koeman adalah pahlawan utama Blaugrana yang memberi trofi Liga Champions 1992 (waktu itu masih bernama Piala Champions).
Tendangan geledeknya yang terkenal, gagal dibendung kiper top Sampdoria Gianluca Pagliuca. Dan, itu menjadi satu-satunya gol dalam perpanjangan waktu di laga puncak tersebut.
Koeman tak hanya menjadi legenda abadi Camp Nou, tetapi juga salah satu simbol tim total football Belanda racikan Rinus Michels yang menjuarai Euro 1988. Dia disebut-sebut sebagai reinkarnasi Johan Neeskens dari tim “burung merak” Piala Dunia 1974. Koeman adalah angkatan generasi legendaris Ruud Gullit, Marco van Basten, Frank Rijkaard, Adrie van Tiggelen, Gerald Vanenburg, Arnold Muhren, Barry van Aerle, Erwin Koeman, dan Jan Wouters.
Sedangkan di Barcelona, dia tergabung dalam skuat dahsyat Johan Cruyff, yang antara lain dihuni Andoni Zubizarreta, Hristo Stoichkov, Romario Faria, Michael Laudrup, Pep Guardiola, Nando, dan Albert Ferrer.
Seperti apa visi sang legenda ketika ditunjuk menggantikan Quique Setien untuk memulai proyek restorasinya?
* * *
TIM hebat anggitan Pep Guardiola yang membendaharakan 14 trofi kini bagai tak berjejak lagi. Barca tak punya lagi trisula Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan Lionel Messi plus pemimpin pertahanan Carles Puyol yang juga menjadi andalan pelatih Luis Enrique. Dalam dinamikanya, karya Ernesto Valverde yang dilanjutkan Quique Setien malah mengubah wajah Barca menjadi “asing”. Tiki-taka menguap, konfidensi pun seakan pergi.
Akankah Koeman mampu mengembalikan Blaugrana sebagai tim dengan ball possession tinggi, tiki-taka mumpuni, dan menemukan para pemain yang cocok memainkan kebutuhan taktis-filosofis itu?
Kita membaca langkah-langkah awal yang dia siapkan. Menjual sejumlah pemain, dan mempertahankan sebagian. Ada yang mutlak tak lagi dibutuhkan, ada yang absolut menjadi pilar missinya. Lalu rencana mendatangkan sejumlah pemain.
Empat pemain senior yang selama hampir satu dasawarsa menjadi pilar, kini masuk daftar jual, yakni Luis Suarez, Jordi Alba, Sergio Busquet, dan Ivan Rakitic. Faktor usia menjadi salah satu pertimbangan dalam proyeksi peremajaan tim.
Yang juga banyak disebut akan dilego adalah Arturo Vidal dan Gerard Pique. Sedangkan Philippe Coutinho yang dipinjamkan ke Bayern Muenchen masih menjadi teka-teki, apakah justru masuk dalam rencana skematika Koeman.
Tujuh yang dipertahankan adalah Marc-Andre Ter Stegen, Clement Lenglet, Nelson Semedo, Ousmane Dembele, Frankie de Jong, Antoine Griezmann, dan kapten Lionel Messi. Namun, pembicaraan dengan Messi justru menjadi awal dari kemelut baru.
La Pulga dikabarkan tersinggung dengan pernyataan Koeman, yang terkesan mengabaikan keberadaannya sebagai pemain kunci. “Penghargaan” yang selama ini melekat mulai dipereteli, termasuk dengan menyingkirkan Suarez sebagai rekan terdekat Messi. Momen itu berlanjut dengan permintaan sang mahabintang untuk meninggalkan klub.
Luapan rasa Leo Messi untuk mengakhiri kebersamaan menimbulkan aneka spekulasi: klub manakah yang mampu menggajinya, komplikasi hukum kontrak seperti apakah yang bakal timbul, sukseskah dia nanti di klub barunya, juga bagaimana wakah Barca pasca-Messi?
Koeman dikabarkan meminati Donny van de Beek, Giorginio Wijnaldum, dan Memphis Depay. Jika ini terjadi, bakal berlangsung “Belandaisasi” di Camp Nou seperti pada era kepemimpinan Louis van Gaal.
Proyek restorasi ini menghadapkan Koeman pada sejumlah tantangan. Pertama, memulihkan rasa saling percaya antara para pemain dengan jajaran manajemen klub yang selama dua musim terakhir tergerus krisis serius.
Kedua, menata taktik alternatif setelah tidak lagi bergantung kepada Messi. Artinya, membangun kolektivitas tim sebagai satu unit “nyawa” yang tidak tersentral hanya pada satu “nyawa”, walaupun realitasnya Messi memang punya kemampuan pembeda.
Ketiga, mendiskusikan intens skema yang mampu memaksimalkan potensi-potensi tim. Memaksimalkan standar Griezmann, membuat nyaman dan menaikkan level Dembele, juga kalau perlu “menemukan kembali” permainan terbaik Coutinho. Lalu bagaimana dengan Ansu Fati, dan Riqui Puig, dua pion masa depan Barca yang disebut-sebut sebagai The Next Messi dan Next Xavi?
Kehadiran Miralem Pjanic dari Juventus hasil barter dengan Arthur Melo juga memperkaya opsi lini tengah. Dan, kalau benar Memphis Depay bisa direkrut, bersama De Jong bisa memberi warna baru bagi alur serangan Barca.
* * *
DARI sononya, Koeman adalah pemain bertahan yang tangguh, namun dia besar bersama tim-tim bernaluri menyerang, mulai dari Ajax, PSV, hingga Barca. Sebagai defender, catatan golnya selalu produktif di setiap klub, termasuk di timnas Oranye.
Tak mengherankan, karier kepelatihannya juga “berwarna” sepak bola ofensif. Titik inilah yang kita harapkan mempertemukan naluri taktik Koeman dengan karakter Barcelona yang berbasis sepak bola menyerang ala Akademi La Masia.
Dari perjalanan satu dekade kepelatihan bersama Vitesse, Ajax, Benfica, PSV, Valensia, AZ Alkmaar, Feyenoord, Southampton, Everton, hingga timnas Belanda, Koeman sejatinya bukan ideolog “fundamentalis” terhadap kemurnian tiki-taka. Diperkirakan dia bakal mengusung taktik mirip dengan Luis Enrique, yang lebih pragmatis mengombinasikan penguasaan umpan-umpan pendek dengan direct passing ke jantung pertahanan lawan.
Dari pengalaman pergantian pelatih di setiap klub, faktor keberuntungan dan chemistry memegang peran. Sejatinya juga ada nuansa spekulasi, seperti ketika Juventus mengusung Pirlo, meskipun manajemen sepak bola pasti telah menghitung dari berbagai kemungkinan standar Analisis SWOT.
Dan, terkadang kalkulasi kesemestaan “Ratu Adil” boleh menumpang sebagai harapan yang bersifat spiritual dan metafisis.
Di luar rasa suwung membayangkan orkestrasi Barca tanpa Messi, saya termasuk yang berharap Barcelona kembali mampu menyuguhkan sepak bola indah, menghibur, penuh dengan aksi-aksi eksepsional yang di luar nalar permainan ini…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng