Dr KH Muchotob Hamzah MM
Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

BAIK filosofis maupun faktual, sistem kenegaraan dalam Islam bersifat dinamis dan fleksibel. Pertama, era Nabi Muhammad SAW dengan UUD-nya (Piagam Madinah) tercukupi dengan 10 Bab dan 47 pasal yang berpayung Al-Qur’an dan pernah sekali diamandemen.

Kedua, era khulafa’ rasyidin secara variatif mengikuti jejak Rasul dengan menghindari sistem kerajaan monarchis. Karena bentuk kerajaan monarchi telah dimansukh oleh sunnah fi’liyah dari Nabi saw.yang tidak menunjuk langsung pengganti dirinya.

Pantaslah kalau ulama Austria Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam The Principles of State and Goverment in Islam mengkritik sistem kerajaan terutama kerajaan non parlemen.

Ketiga, meskipun demikian, era dinasti Umawiyah (Damasqus), Abbasiyah (Bagdad) Fathimiyah (Mesir), Utsmaniyah (Turki) menggunakan sistem kerajaan monarchi, meskipun oleh Al-Hafidz As-Suyuthi disebut dalam kitab Tariekh Khulafa’.

Keempat, era modern bangsa-bangsa muslim sebagian besar menggunakan sistem demokrasi dengan bentuk republik berketuhanan (Indonesia dll), seperti republik Islam (Pakistan, Iran, dll), monarchi berparlemen (Malaisia, Yordan dll.) dan Monarchi absolut (Saudi Arabia, Brunai dll).

Ketegangan sering terjadi di dunia muslim tentang sistem negara yang mereka perjuangkan. Negara yang telah menjadi makmur seperti Libia era Kadafi bisa hancur lebur karena umat Islam bisa dipropokasi sistem kenegaraannya oleh Barat yang sebenarnya mengincar kekayaan alam Libia dengan menunggangi umat Islam garis keras.

Negara Indonesia

Karenanya negara mayoritas muslim belum bisa maju dalam segi ekonomi dan sainsteknya karena mereka masih berkutat tentang ideologi negara. Energi mereka terkuras dalam pertentangan antar sekte agama dan ideologi politik untuk mengelola negara.

Berbeda dengan Barat atau Jepang, mereka telah selesai tentang negaranya. Walaupun reformasi di mereka tiada henti, tetapi sudah cukup dibicarakan di meja parlemen dan pemilu, sementara di Indonesia terkadang masih berdarah-darah.

Padahal para pendiri bangsa telah sangat bijaksana merumuskan UUD-45 dengan pembukaannya, yang menurut saya sangat mirip dengan Piagam Madinah.

Selain negara dinyatakan sebagai berdasar Ketuhanan YME, setiap pasal dan ayatnya tidak ada yang bertentangan dengan Al-Qur-an dan hadits.

Pola inilah yang oleh Dr. Neveen Abdulkhalik dari Mesir disebut UUD yang terpayungi oleh Alquran.

Untuk memenuhi kebutuhan perpolitikan dan ukhuwah islamiyah mondial, negara-negara Islam telah membentuk OKI (Organisasi Kerjasama negara-Negara Islam).

Jumhur ulama memandang OKI sebagai representasi kekhilafahan global. Jika ada yang masih kurang, mereka tinggal menyempurnakan bangunan dan isinya. Wallahu a’lam bis-shawab.

(Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo)