blank
Barcelona kalah, para pemain pun menampakkan wajah sedih dan kecewa. Foto: Ist/AP

Oleh: Amir Machmud NS

blankDALAM olahraga, kekalahan hanyalah angka-angka. Namun besar-kecil skor akan membedakan rasa dalam kesan penerimaan: kekalahankah itu, atau kehancuran.

Simaklah sepotong puisi ini:

//…kau tak boleh hancur karena kekalahan// kau hanya boleh kalah oleh kehancuran// kekalahan itu keniscayaan// seperti pula kemenangan// maka menangislah sepuasmu// untuk sebuah momen kalah atau menang// tetapi merenunglah semampumu// untuk sebuah kehancuran…// (Sajak “Kekalahan, Kehancuran”, Agustus 2020)

Anda boleh saja kalah, asal telah memperlihatkan etos perlawanan, karena perjuangan akan memberi nilai spiritualitas tersendiri. Artinya, Anda tidak membentangkan jalan mudah bagi lawan untuk mendapatkannya.

Termasuk dalam kategori ini adalah kondisi “nyaris menang”, walaupun ujungnya tetap saja kekalahan. Sebaliknya, sang pemenang menikmati atmosfer “nyaris kalah”, karena merasakan kenyamanan bisa mengatasi keadaan.

Jika skornya merujuk angka senjang, seperti kekalahan 2-8 Barcelona dari Bayern Muenchen di perempatfinal Liga Champions, akhir pekan lalu, apalagi yang bisa disimpulkan bahwa itu bukan sekadar kekalahan?

Itulah kehancuran, yang secara hiperbolik sering digambarkan media dengan ungkapan “dibantai”, “dilumat”, “dicukur”, “dihumbalangkan”, atau “outclassed” dalam nada “dipermalukan”.

Ada skor yang sulit dinalar, ada nama besar yang diringkus keadaan, ada trauma yang kemudian membebani, ada rasa malu yang menguar, ada kelas yang direndahkan, ada keputusasaan yang (bisa) menyulut kemarahan.

Maka menangislah sepuasnya untuk sebuah kekalahan, tetapi merenunglah semampunya untuk kehancuran…

Drama-drama di balik sebuah kehancuran bisa lebih kejam lagi. Seperti rasa “sakit” Barcelona yang pasti makin berlipat, ketika dua dari delapan gol Bayern yang menggelontor ke gawang Barca dicetak oleh pemain yang tak lagi mereka kehendaki, Philippe Coutinho. Bahkan, Cou menambahkan satu catatan assist.

Pemain asal Brazil itu masih dalam masa-masa peminjaman di Die Roten. Coutinho seperti mendapat momen pelampiasan amarah dengan mempermalukan klub yang dia rasakan telah menyia-nyiakannya.

Nalar kehancuran memang bisa ditilik dari tragedi skor besar, apa pun alasannya. Bukankah kekalahan masih punya variabel-variabel pembenaran? Namun logika kehancuran lebih banyak ditandai oleh skor verbal.

Anda ingat ketika juara bertahan Spanyol dipermalukan Belanda di Piala Dunia 2014 dengan skor 1-5? Itu luka, tapi lebih sakit lagi ketika tuan rumah Brazil yang turun ke lapangan dengan keyakinan tinggi malah dihumbalangkan Jerman 1-7 di semifinal. Untuk status Spanyol dan Brazil pada waktu itu, yang memedihkan bukanlah sesal lantaran kekalahan, namun sayat luka kehancuran.

Label tragedi Minierazo untuk skor memalukan itu menjadi refleksi betapa sepak bola Brazil tidak siap untuk menerima luka. Sama seperti ketika pada 1950 mereka menorehkan Maracanazo, akibat kekalahan di final Piala Dunia dari Uruguay. Walaupun skornya tipis,1-2, tetapi Selecao mengalaminya di partai puncak. Bagi mereka, itulah tragedi.

Spekulasi tentang Messi

Dan, pastilah lama, bakal lama, untuk memulihkan luka seperti itu. Bayern akan menjadi trauma bagi Barcelona, seperti Bayern yang juga pernah tercabik-cabik lantaran kekalahan yang sangat memedihkan dari Manchester United.

Persoalannya bukan karena Lothar Matthaeus dkk dilibas dengan gelontoran gol, namun pada detik-detik terakhir dalam keunggulan 1-0 mereka ditundukkan oleh gol Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer. Trofi Liga Champions 1999 yang sudah dalam genggaman melayang pada detik-detik menentukan. Betapa menghancurkan.

Luka Barcelona tidak bisa disamakan dengan kekalahan telak 0-5 tim nasional Indonesia dari Thailand di SEA Games 1983, atau lebih parah lagi 0-7 di SEA Games 1985. Kita terluka, tetapi secara sadar paham ada yang salah dalam pembinaan, ada yang kurang pas dalam pembentukan tim, dan aneka sengkarut dalam pengorganisasian sepak bola nasional.

Namun Barca, kurang apa? Semenurun apa pun tren performa dalam siklus kejayaan, kebobolan delapan gol jelas mengindikasikan sedang ada yang tidak beres. Inilah mata rantai yang bersambung dari penampilan “goyah” di La Liga, dengan aneka masalah dalam relasi internal klub.

Bayern dengan uptrend di Bundesliga maupun Eropa memang diunggulkan bakal menyulitkan Barca, akan tetapi tentu tidak dengan “kesewenang-wenangan”” hasil seperti itu. Bahkan Thomas Mueller cs pun boleh jadi tidak mengira bakal semudah itu menyingkirkan Azulgrana.

Betapa hancur hati Lionel Messi, betapa malu Marc-Andre Ter Stegen, betapa melorot martabat mental klub yang dalam dua dasawarsa terakhir menjadi penguasa keindahan permainan sepak bola.

Tak berlebihan jika masa depan Leo Messi makin dispekulasikan. Apabila tidak ada pergerakan perbaikan manajemen yamg signifikan, bukan tidak mungkin rumor La Pulga hengkang dari Camp Nou akan menjadi kenyataan. Spekulasi tentang sikap “maharaja Barcelona” itu memang bisa pula sebaliknya, dalam tesis justru dia tertantang untuk memulihkan luka almamaternya.

Pasang naik sebuah tim sepak bola sejatinya adalah siklus biasa, tetapi akan memberi tanda yang memilin-milin rasa apabila membanting mental lantaran hasil yang tidak biasa…

Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng