PADA zaman Belanda dulu, Simbah saya adalah petani dan pengusaha penggilingan tebu (gula). Ketika Simbah perlu tambahan pekerja, sebelum diterima dilakukan tahapan seleksi terlebih dahulu. Cara menyeleksi calon pekerja zaman dulu itu unik dan sekaligus praktis. Tidak perlu wawancara, apalagi menyertakan ijazah. Seleksi dilakukan dengan cara unik dan sederhana. Yaitu, mereka disuguhi makan bersama dan diamati cara makannya dari lobang untuk mengintip gerak-geriknya.
Untuk calon pekerja yang punya kebiasaan makan cepat, berpeluang besar untuk diterima, karena orang yang makannya cepat itu menurut ilmu titen orang tua zaman dulu, dia diyakini lebih cekatan dalam bekerja dan berpikirnya.
Tes kedua, mereka ditanya kebiasaan tidur dan bangunnya. Jika calon pekerja itu diketahui suka begadang dan biasa bangun kesiangan, dinyatakan tidak lolos, karena itu menunjukkan orangnya kurang bisa menghargai waktu. Buruh yang lolos seleksi adalah mereka yang punya kebiasaan “makan cepat”, tidur dan bangunnya lebih awal.
Jadi, yang boleh bangun siang itu pengusahanya, karena dia sudah masuk di zona aman. Ibarat tahapan spiritual, dia sudah masuk maqam tajrid yang boleh “semau-mau”-nya. Jadi tidak perlu lagi mengejar dunia, karena kelas mereka itu sudah dikejar dunia. Dan posisi tajrid itu hasil jerih payah pada masa lalunya.
Deteksi Makannya
Walau tidak ada rumus benar 100 persen, dalam ilmu titen orang tua, orang yang cara makannya lama atau lambat itu, biasanya kerjanya juga lamban. Sedangkan orang yang suka begadang tanpa ada keperluan, diyakini sebagai orang itu kurang pandai mengatur waktu.
Ini pengamatan simpel dan mendasar dari kajian khasanah pemeriksaan psikologis secara tradisi, dan ini mempercepat rekruitment karyawan pelaksana atau bagian produksi di perusahaan. Berbeda jika itu rekruitment untuk kalangan supervisor senior atau bagian managerial, khususnya manager area marketing, yang dicari justru yang makanannya lama dan yang suka begadang.
Orang yang makannya cepat, itu diyakini cocoknya untuk jenis pekerjaan yang memerlukan gerak cepat, sedangkan untuk jenis pekerjaan seperti menyulam, membatik, membuat aksesoris dari pernak-pernik kecil, diperlukan tipe orang yang sabar.
Saya, sepertinya termasuk tipe orang yang makannya cepat. Saat kerja : melukis, menulis, relatif lebih cepat. Pernah adu cepat dengan teman seprofesi. Saya sudah menyelesaikan tiga lukisan, senior saya baru jadi satu. Kelemahan tipe cepat itu pada finishing. Namun rumus ini tidak mencakup semua jenis pekerjaan.
Karena itu saya sepakat dengan cara otentik dari khasanah rekruitmen karyawan seperti tersebut diatas, karena lebih cepat, mudah dan efektif. Untuk cara makan itu pernah saya amati, tetapi untuk bangun siang tidak berlaku pada semua orang.
Tukang Bantu
Pengakuan teman yang mantan mandor proyek selama 11 tahun dan membawahi 300 pekerja bahwa mereka para pekerja yang lambat cara makanya, ternyata juga payah hasil kerjanya. Disebutkan, tukang lain sudah menyelesaikan plesteran 15 meter dalam sehari, yang biasa makan lambat itu baru dapat enam meter.
Walau hasil kerjanya mulus, karena lambat maka mandornya yang tekor. Intinya, setiap pekerja punya karakteristik tersendiri. Mereka yang lambat cenderung teliti dan sebaiknya mereka bagian finishing saja. Sedangkan untuk kerjaan awal, serahkan yang tipe gerak cepat.
Pengalaman dari teman yang pernah menjadi tim rekrutmen karyawan perusahaan produksi meubel, ketika perusahaan akan menambah karyawan bagian produksi sejumlah 300 orang, dan 150 bagian finishing.
Dia menemukan ide “seleksi” membeli roti dan kerupuk untuk 500 pelamar dan satu botol air mineral gelas dibagi dua orang. Mereka yang mampu menghabiskan dua roti sisir dan dua kerupuk dalam waktu dua menit, serta satu gelas untuk berdua, langsung diterima pada posisi produksi, dan yang tidak habis dalam waktu empat menit, dilakukan tambahan test untuk bagian finishing.
Calon pekerja yang masuk kriteria lolos seleksi pada tahap awal pun menjalani seleksi lanjutan. Jika pada tahap awal berkaitan dengan cara makannya, tes kedua bertujuan untuk mengetahui tingkat kejujurannya.
Karena jumlahnya lebih sedikit, seleksi tahap akhir ini dilakukan pada hari yang berbeda. Mereka disuruh datang pada hari yang sama namun waktunya berbeda : pagi, siang, sore. Mereka diminta membersihkan ruang (gudang) dan yang sebelumnya sudah diletakkan sejumlah uang atau jenis benda berharga lainnya.
Saat mereka bersih-bersih ruangan itu dipantau (diintip) oleh tim yang memantau gerak-geriknya. Jika calon karyawan itu mengambil umpan, mereka tidak lolos uji. Simbah merelakan benda yang diambil dan tidak memperkarakannya, karena itu dianggap lebih baik dibanding jika calon pekerja itu diterima dan nantinya melakukan perbuatan yang merugikan usahanya.
Kaya, Miskin Sudah Suratan?
Ada kepercayaan, sebelum manusia dilahirkan, rezekinya sudah tertulis di buku langit. Jadi, kaya miskin itu sudah ada “stempel”-nya. Tentang misteriusnya rezeki ini digambarkan dalam kisah Nabi Sulaiman AS, dan beliau punya kebiasaan melakukan sedekah sirri (rahasia).
Pernah suatu saat Nabi yang kaya raya itu secara diam-diam memasukkan bongkahan emas ke dalam rumput pada keranjang penggembala kambing, dengan harapan emas itu nanti dapat dimanfaatkan untuk mengangkat kehidupan keluarganya.
Beberapa hari kemudian kehidupan penggembala kambing itu dipantau, namun ternyata tidak ada perubahan pada keluarganya. Nabi Sulaiman lalu mendatang orang itu dan bertanya, pernahkah pencari rumput itu merasa ada keganjilan saat memikul rumput? Dijawab, pernah! Yaitu, suatu saat rumput yang panggulnya terasa lebih berat dari biasanya, hingga rumput itu kemudian dibuangnya.
Gagal dengan menyusupkan bongkahan emas, Nabi Sulaiman pakai cara lain dengan memasukkan biji-biji permata ke dalam buah besar lalu diberikan kepada penggembala kambing, dengan harapan sesampai di rumah, buah itu dibelah dan di dalamnya ditemukan mutiara.
Sayangnya, dalam perjalanan pulang, penggembala itu berubah pikiran. Buah berisi berbagai mutiara yang bisa mengangkat hidupnya itu malah dibawa ke pasar dan ditukar dengan buah kurma.
Dikejar Harta
Berbeda dengan penggembala kambing, sahabat Nabi bernama Abdurrahman bin Auf adalah orang yang ditakdirkan dikejar harta. Ketika dia diberitahu kelak akan masuk surga sambil merangkak karena terlalu sibuk mengurus hartanya, maka separo dari hartanya itu lalu disedekahkan kepada warga.
Nah, apakah Abdurrahman kemudian menjadi miskin? Ternyata tidak! Dia justru bertambah kaya. Kambingnya yang biasanya bernak hanya satu, setelah dia bersedekah justru beranak dua hingga tiga ekor.
Ketika langkah memiskinkan diri dengan mengurangi separo ternaknya itu gagal, dia melakukan cara lain, yaitu membeli kurma bekas yang orang diperkirakan tidak bakalan mau beli. Namun apa yang terjadi?
Paceklik melanda Madinah. Ketika buah kurma yang bagus sudah habis di pasaran, orang pun lalu memburu stok kurma kualitas rendah milik Abdurrahman bin Auf. Jadi, tiada hal yang mustahil. Orang yang “ingin” miskin pun malah ada yang dikejar harta, jika itu memang kodratnya.
Namun demikian, karena manusia itu tidak tahu bagaimana garis kehidupnya, dan berapa jatah rezekinya, apakah rezekinya termasuk yang mabram (yang tidak dapat dirubah manusia) atau yang muallaq (yang dapat dirubah), maka dia wajib berusaha untuk mendapatkannya, karena bekerja itu juga bagian dari ibadah.
Dua kisah diatas boleh jadi hanya ilustrasi bahwa segala sesuatu jika belum saatnya, ada saja hal yang menyebabkan tertunda, atau ini berkaitan dengan takaran rezeki seseorang yang sudah ditetapkan sejak ruh ditiupkan pada janin, wallahu a’lam!
Namun perlu diketahui, takaran rezeki manusia itu bisa berubah atau dirubah melalui ikhtiar, misalnya dengan meningkatkan doa dan ikhtiar. Karena bekerja itu ibadah maka berupayalah berjuang untuk keluarga, karena hal itu nilainya seperti orang yang berjihad dijalan-Nya.
Artinya, walau rezeki itu sudah tercatat, namun upaya untuk memperbesar krannya bisa diupayakan, misalnya melaui: Silaturahmi, salawat, istighfar, bangun pagi, menjaga kondisi batin selalu damai, menjauhi sifat tamak, rajin bersedekah, dsb.
Rahasia Sedekah
Banyak buku yang membahas tentang sedekah yang ditulis para penulis, termasuk para ustad terkenal. Namun setelah dibaca terasa ketulusan saat bersedekah itu seolah dibarter dengan imbalan karunia. Padahal, mestinya sedekah itu diibaratkan kalau kita sedang membuang “sampah” ke kali, sehingga tak perlu disesali sampai dimana posisi yang terbuang itu, hingga tak perlu diingat-ingat, dibicarakan, atau ingin “ditarik” kembali.
Bagi kalangan awam, yang namanya sedekah, itu ikhlas, kurang ikhlas atau bahkan tidak ikhlas, tetap baik dan dapat imbalan, bahkan mereka yang belum atau kurang ikhlas, dan yang masih berharap sesuatu dari sedekahnya, itu juga baik. Karena ikhlas bagi kalangan awam itu bisa menyusul seiring dengan perkembangan waktu.
Dengan kata lain, ikhlas menurut itu akan terjadi ketika yang sedekah itu sudah lupa dengan apa yang dia lepaskan. Sebab, jika konsep ikhlas itu terlalu kaku, dikhawatirkan kalangan awam itu tidak jadi sedekah. Karena untuk memiliki sifat ikhlas itu perlu waktu untuk berlatih dan berlatih.
Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati.