DI Jawa, ada tradisi orang tua melakukan laku prihatin puasa Senin-Kamis yang diperuntukkan bagi keberkahan anak-anaknya yang masih dalam proses pendidikan. Biasanya, anak yang ditirakati itu, jika terkabul, otaknya encer, perilakunya tidak neko-neko dan masa depannya pun lebih cemerlang.
Bagaimana proses itu bisa terjadi? Saya pernah membaca (hadis) bahwa termasuk dari tiga doa yang diprioritaskan terkabul itu termasuk doanya musyafir (perantau), doa orang yang teraniaya, dan doa orang tua kepada anak-anaknya. Dan laku puasa Senin – Kamis itu termasuk doa hati yang tiada terucap, maka sudah pasti lebih mujarab.
Selain memudahkan tercapainya keinginan, puasa juga melatih kepekaan. Anak yang dipuasai merasa lebih mudah nyambung hatinya dengan orangtuanya. Berdasarkan pengalaman, ketika laku puasa itu dilakukan secara disiplin, baik yang puasa atau yang dipuasai itu merasakan hati lebih nyaman, damai, pikiran lebih lurus hingga lebih mudah mengetuk pintu langit.
Kenapa? Pada saat puasa, proses “hypnosis” sedang terjadi, sehingga sugesti positif untuk anak-anak dan doa dari kedua orangtuanya terasa lebih nyambung. Karena salah satu cara yang paling efektif untuk mendorong proses neurogenesis (pertumbuhan sel otak baru) adalah pembatasan kalori dan puasa.
Puasa memberi signal agar tubuh memicu pertumbuhan Brain-derived neurotrophic factor (BDNF) yang berkaitan langsung dengan pembentukan neuron dan synapse, jadi bukan cuma otak yang berkembang, tapi juga sistem syaraf.
Hingga terjadilah proses komunikasi bawah sadar yang konsepnya seperti telepati. Orang tua mengirimkan gelombang ke anak melalui doa-doa, terlebih lagi ditambah dengan melakukan puasa yang membuat ‘pesan telepati’ dapat terkirim lebih baik karena dengan puasa, doa yang khusyuk, hingga terjadilah keajaiban.
Ada juga konsep mengenai Law of Attraction. Orang tua mengirim sinyal ke alam semesta, tentunya dengan penuh spirit, khusyuk, karena kondisi puasa hingga alam semesta pun mengembalikan sinyal tersebut kepada anak.
Puasa adalah salah satu cara mendekatkan diri kepada Tuhan, karena pada saat puasa itu menyebabkan apapun keinginan kita lebih mudah dikabulkan-Nya. Jangankan puasa untuk anak, puasa untuk kesaktian pun dikabulkan. Maka, orang tua pun sudah selayaknya berani berjuang atau tirakat demi masa depan anak–anaknya.
Tirakat Ayah Rektor
Sahabat saya mengisahkan, dia memiliki dua tetangga yang memiliki kecerdasan luar biasa. Kedua anaknya bergelar profesor doktor. Orang tuanya petani miskin. Karena ingin memiliki anak cerdas dan sekaligus unggul derajatnya, keduanya melakukan laku batin.
Cara yang dilakukan kedua suami-istri yang tinggal di pinggiran hutan jati itu melalui laku batin yang bisa dibilang unik. Yaitu sebelum melakukan hubungan badan suami istri, mereka puasa terlebih dulu. Dan mereka melakukan hubungan badan lepas tengah malam.
Bukan hanya itu, keduanya juga melakukan sesirik (pantangan) atau menaati larangan berdasarkan hari-hari tertentu yang diyakininya. Selanjutnya ketika sang anak sudah lahir, sang ayah tidurnya di bawah (lantai), sedangkan anak dan istri tidur di ranjang. Hal ini dilakukan dengan niat untuk menjunjung derajat sang anak.
Selanjutnya kedua orang tua itu melakukan laku tambahan yang lebih ringan, seperti puasa Senin – Kamis, puasa weton, dan sebagainya. Dan apa yang kemudian terjadi pada anak petani miskin itu? Doanya terkabul, 20 tahun lalu anaknya menjadi rektor sebuah perguruan tinggu di Malang.
Puasa itu bisa disebut “doa tanpa kata”. Di Jawa, sebagian Ibu melakukan puasa Senin Kamis disaat anaknya akan ujian sekolah atau ketika ada hal-hal yang penting bagi masa depan sang anak. Laku ini bisa dibilang “menabung”. Proses keberhasilan itu bisa terjadi saat orang tua benar-benar khusyuk dan fokus berdoa untuk keberhasilan anak adalah bentuk afirmasi, dan hal itu juga tidak terlepas bagaimana tugas Ibu mendidik anak-anaknya dengan baik.
Proses laku ini menunjukkan keseriusan, dan energi dari keseriusan itu berdampak pada orang yang dimaksud, karena semua hal ada di alam semesta ini terhubung melalui pikiran, karena itu saya percaya.
Karena banyak anak-anak yang beruntung, misalnya saat sedang ujian, banyak yang selamat dan sukses, ketika ada dorongan doa dari kedua orang tuanya. Dan saya percaya, kemanjuran doa Ibu, apalagi ditambah laku puasa yang berarti menunjukkan kesungguhan dalam memohon kepada Tuhan.
Laku puasa juga membuat orang menjadi lebih tenang dan energi yang dipancarkan pun lebih positif. Pikiran dan perasaan kita seperti magnet dan di jagad raya ini berlaku hukum tarik menarik (law of attraction). Kalau yang kita pancarkan itu positif, yang kita tarik pun positif juga.
Karena pikiran dan perasaan kita adalah bahan baku dari doa-doa kita, dan dalam kondisi sabar dan ikhlas, pintu koneksi menuju kepada sang Pencipta sangat lebar. Dan saat itulah semua keinginan lebih berpeluang terkabul.
Dan “membenahi” anak, istri jika hanya mengandalkan nasihat itu kadang kurang efektif. Cobalah melalui getaran batin, termasuk mendoakan anak, karena cahaya dari doa itu bisa membuka hati sehingga mereka menjadi anak-anak yang membahagiakan kedua orangtuanya. Menasihati anak hanya bermodal lisan, sering kali berakhir dengan berdebat.
Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati.