JEPARA(SUARABARU.ID) – Vonis terkonfirmasi positif sebagai penderita covid-19 sungguh menjadi pukulan bagi Arisma Ristianah yang nyaris membuat ia putus asa.
Sebab setelah menjalani rawat inap di sebuah rumah sakit di Kudus tanggal 11-18 April, ia merasa kondisinya semakin membaik dan bahkan kemudian diijinkan pulang sambil menunggu hasil pemeriksaan swab dari laboratorium.
Gadis berusia 17 tahun yang duduk dibangku kelas XII SMK Manbaul Ulum di Mayong ini bukan hanya membayangkan beban biaya yang harus dikeluarkan oleh kedua orang tuanya. Namun juga bayangan virus ini telah menjadi momok paling menakutkan bagi dunia, sebab ribuan korban telah berjatuhan.
Hal lain yang mencemaskan anak kelima pasangan Kusnin dan Arsitah saat menerima hasil swab tanggal 22 April 2020 adalah stigma negatif yang diberikan oleh warga terhadap para penderita covid-19 yang ia lihat di televisi tiap hari. Banyak yang diusir dari rumah dan bahkan tidak boleh dimakamkan di kampung halamannya sendiri ketika ia meninggal.
Arisma yang aktif di kegiatan Pramuka di Saka Bhayangkara Polsek Mayong ini sadar benar, stigma yang mengucilkan para penderita covis-19 dan keluarganya bisa menghilangkan mata pencaharian orang tuanya.
Sebab ayahnya bekerja sebagai buruh serabutan dan bahkan kadang kala menjadi penarik becak untuk menghidupi keluarganya jika tidak ada tetangga yang meminta bantuan tenaganya.
Karena itu ketika vonis itu jatuh, ia hanya bisa menangis sepanjang malam. Ia takut, cemas, dan gelisah menghadapi keganasan virus corona dan bahkan hampir putus asa. Ia juga tidak mengerti perjalanan takdir yang akan ia jalani hingga saatnya ia dijemput oleh petugas medis dengan pakaian APD dan mobil ambulan.
“Para perawat yang baik itu nampak sangat menakutkan sebab hati saya diselimuti perasaan gelisah dan cemas yang sangat mendalam,” ujar Arisma Ristianah dalam perbincangan khusus dengan penulis.
Perasaan itu juga terbawa saat ia mulai memasuki kamar Dahlia, ruangan isolasi RS Rehatta Kelet yang disiapkan untuknya. “Malam pertama berada di ruang isolasi sungguh menjadi waktu yang sangat panjang dan mencekam. Bayang-bayang yang menakutkan muncul silih berganti dikeheningan malam yang sepi,” tutur Arisma.
Bahkan televisi yang ada dikamar isolasi itu tak mampu menghilangkan kegelisahan, kecemasan dan ketakutannya. Ia memang mencoba kuat dan tabah menjalani takdirnya seperti nasehat para dokter, perawat, guru, orang tua, saudara dan sahabat-sahabatnya. Namun ia mengaku gagal, dan kalah.
Dalam kekalutan Arisma tidak mampu lagi membendung air matanya. Saat seperti itulah ia ingat ada belas kasihan Allah yang dapat ia pinta dalam sholat tahajud kala ia terjaga dari tidur oleh kecemasannya.
Dalam sholat tahajud itu, Arisma sering lupa menghitung berapa rekaat yang telah ia lakukan. Sebab tanpa ia sadari ia kemudian tertidur kembali dalam kepasrahan dan pengharapan atas kuasa Allah. Arisma mengaku mendapatkan kekuatan dan ketenangan setelah itu.
Kekuatan juga datang dari psikolog, dokter dan perawat yang membantu menyembuhkan dan memulihkan kondisi Arisma.”Mereka orang-orang baik yang merawat saya dengan sepenuh hati,” tambah Arisma. Hingga ia mulai bisa menjalani rutinitas kehidupan di ruang isolasi, makan, tidur, nonton TV, tensi darah, pemeriksaan medis, olah raga dan sholat.
Arisma juga mengaku beruntung memiliki keponakan yang sering diasuhnya sejak usia lima bulan. Namanya Nesa Dian Permatasari yang saat ini berusia 4 tahun. “Dia merupakan salah satu sumber motivasi saya untuk tidak jatuh, disamping orang tua, saudara, teman, guru dan tetangga. Saya sering bawa Nesa dalam mimpi,” tutur Arisma.
Bahkan kata perawat, saya sering memanggil namanya saat tidur, tambah Arisma yang ingin dapat bekerja setelah sehat nanti.
Keinginan Arisma untuk bisa membantu orang tua yang telah membesarkan dengan cucuran keringat dan bahkan air mata juga menjadi sumber motivasi untuk bertahan, kuat dan tidak berulang jatuh.
Untuk mewujudkan keinginan itulah siswi yang juga aktif di Palang Merah Remaja sekolahnya ini mengambil jurusan Administrasi Perkantoran di SMK Manbaul Ulum Buaran selepas lulus dari Tts Kedongombo.
Harapannya setelah lulus ia dapat langsung bekerja sebagai sekretaris diperusahaan agar bisa membalas kebaikan dan pengorbanan orang tuanya. Arisma sadar, walaupun ingin melanjutkan kuliah, ia harus memendam dalam cita-citanya sebab kondisi keluarganya.
Karena itu, setelah menjalani perawatan selama `18 hari di RS Rehatta Kelet dan RS Rehatta di Donorojo dan dinyatakan sembuh, ia berharap dapat memulihkan kondisinya dengan cepat.
Walaupun ia masih harus menjalani swakarantina di rumah untuk pemulihan hingga 14 hari lagi, Arisma berharap tidak ada lagi yang mengucilkan. Hari Senin, 11 Mei 2020, Arisma memang telah diijinkan pulang dari perawatan yang harus ia jalani.
Ia hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada seluruh keluarga besar RS Rehatta Kelet, Gugus Tugas Kabupaten, Kecamatan, Bu Camat, Pak Danramil, Pak Kapolsek, Gugus Tugas Desa, Petinggi, Perangkat dan masyarakat desa Buaran.
Juga Ibu Kepala SMK, para guru dan teman-teman Arisma yang telah memberikan dukungan dan doa yang menguatkan dia untuk bertahan. Juga doa dan air mata ayah, ibu dan saudaranya.
Takdir telah saya jalani dengan ikhlas dengan menjalani perawatan di RS Rehatta Kelet dan RS Rehata Donorojo. “Semoga warga mau menerima saya kembali, juga menerima keluarga dan teman-teman saya. Jangan lagi saya dikucilkan” pinta Arisma pelan. (*)