Oleh: Apriliyantino, S.Pd.
DUNIA sedang dihadapkan pada kenyataan yang menggerus emosi. Pandemi covid-19 menjalar ke penjuru bumi, menyebar begitu cepat menerobos batas geografis seluruh negeri. Mendadak semesta diliputi gulana, memaksa siapa pun untuk meninggalkan hiruk-pikuk keseharian menuju tempat tersembunyi, menutup diri. Seluruh aspek kehidupan terdampak pandemi. Denyut kehidupan seolah melambat, seiring lonjakan kasus yang belum berhenti.
Negeri ini yang awalnya bersikap santai menyikapi pemberitaan dari luar negeri tentang pandemi akhirnya turut pula mencicipi. Hal ini usai diumumkan oleh Presiden Joko Widodo bersama Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahwa ada kasus pertama positif corona di Indonesia, di Istana Kepresidenan, Jakarta pada tanggal 3 Maret 2020 (Kompas.com)(1). Kasus positif di negeri tercinta terus merangkak naik.
Bersyukur, pemerintah segera mengeluarkan kebijakan kerja dari rumah, proses belajar mengajar dari rumah, bahkan beribadah di rumah sebagai langkah antisipasi dan pencegahan merebaknya covid-19 ini. Berbagai kebijakan lanjutan akibat pandemi ini silih berganti. Tidak terkecuali dengan kebijakan terkait dunia pendidikan.
Dialihkannya proses belajar dari sekolah ke rumah, ternyata memberikan pengalaman yang baru bagi sebagian besar orangtua. Mereka yang selama ini cenderung hanya ‘terima beres’ terhadap pendidikan anak, mendadak terlibat dan ikut sibuk. Banyak yang awalnya berharap ‘libur panjang’ ternyata meleset. Kebijakan belajar dari rumah, mau tak mau menyeret para orang tua untuk berperan aktif mengawal putra-putri mereka.
Di lain pihak, dengan berbagai strategi, para pelaksana kebijakan pemerintah—sekolah dasar hingga jenjang menengah, bahkan perguruan tinggi—mencoba menyelenggarakan beragam bentuk kurikulum baru—Kurikulum Pandemi Covid-19. Beragam media telah dicoba untuk memfasilitasi proses belajar di rumah, baik melalui sistem daring—dalam jaringan—online, hingga sistem luring—luar jaringan—offline.
Pada awal pengalihan sistem belajar di rumah, belum banyak terdengar keluhan dan kendala yang berarti. Para orang tua masih belajar beradaptasi dengan keadaan, anak-anak juga terlihat menikmati—layaknya sedang liburan. Pada empat belas hari pertama kebijakan belajar dari rumah, berjalan begitu saja. Di sela-sela kegiatan menemani anak belajar di rumah, para orangtua sesekali memantau perkembangan pemberitaan tentang covid-19 yang rutin disampaikan oleh media.
Setiap hari kasus terus bertambah, diikuti berbagai kebijakan social distancing atau physical distancing yang mulai menjadi istilah familiar di tengah masyarakat. Perlahan kehidupan mulai benar-benar terganggu, tabungan semakin menipis, para pekerja harian mulai banyak yang kehilangan pemasukan, perusahaan merumahkan sebagian besar karyawan, kehidupan sosial termasuk ibadah makin dibatasi. Gelojak mulai merebak, masyarakat semakin sadar dengan kenyataan yang mereka hadapi. Semua serba tidak mudah, banyak kehidupan rumah tangga mulai goyah dan berimbas kepada anak-anak.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang meningkat tajam dalam beberapa waktu terakhir. Konselor Trauma, Nur Hidayati Handayani, menyebutkan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) meningkat selama pandemi COVID-19 merebak di tanah air. Pemberlakuan PSBB menurut dia justru membuat masyarakat stres hingga akhirnya fenomena ini terjadi.
“KDRT di banyak tempat mungkin sudah terjadi sebelum ada COVID-19. Tapi semakin meningkat setelah ada COVID,” kata Handa(2). Fakta ini disinyalir merupakan efek samping dari ketidaksiapan para orangtua terlibat di dalam kegiatan belajar yang dialihkan ke rumah. Kenyataan semakin pahit ketika banyak kepala keluarga yang harus kehilangan penghasilan. Mereka terpaksa menganggur dan tinggal di rumah akibat kebijakan pemerintah untuk tetap di rumah.
Inilah yang rentan memicu frustrasi, sehingga tak jarang anak-anak menjadi sasaran. Selain mereka harus memikirkan kondisi keuangan, datang pula tugas tambahan mengawal proses belajar anak-anak di rumah. Banyaknya tugas yang dibebankan kepada anak mulai menimbulkan masalah baru. Anak-anak juga semakin merasakan tekanan (stress) dengan proses belajar di rumah yang diterapkan beberapa waktu ini. Rasa rindu bertemu teman-teman dan guru di sekolah mulai bergelayut di benak mereka. Dari sini mulai terbaca bahwa banyak pihak yang ternyata belum siap dengan kondisi seperti ini.
Kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian di dua dekade terakhir ini seharusnya membuat kita giat mempersiapkan diri. Tidak hanya terkait isu lingkungan, kesehatan, ekonomi dan politik global, tetapi juga pendidikan. Kondisi kehidupan kita terbukti penuh dengan kejutan. Siapa yang menduga jika pandemi covid-19 ini datang sekonyong-konyong dan menohok kehidupan kita? Sementara kita benar-benar tak memiliki bekal dan persiapan apa pun.
Pendidikan yang kita tempuh selama ini, tidak banyak memberikan kita cara dan strategi untuk bertahan. Padahal untuk bisa survive dan revive dari kondisi ini, kita perlu ilmu, ketahanan fisik dan mental yang terlatih. Kita perlu tahu banyak cara untuk bisa bertahan dan bangkit kembali dalam kondisi terburuk sekalipun. Meskipun kita yakin bahwa badai pasti berlalu, tetapi apakah kita termasuk yang memastikan diri bisa bertahan?
Seperti sebuah siklus, kejadian serupa pandemi Covid-19 ini bisa jadi akan terulang di masa yang akan datang. Tidak hanya dalam bentuk wabah penyakit, bisa berupa situasi perang. Oleh karena itu, sangat diperlukan sebentuk struktur kurikulum yang dinamis dan strategis ketika menghadapi situasi demikian. Kurikulum kita selama ini adalah kurikulum di masa tenang, yang seringkali terjebak pada rutinitas dan teoritis. Anak-anak, yang ketika dewasa menjadi orangtua tidak dibekali dengan pengetahuan praktis tentang bagaimana harus berjibaku dengan ketidakpastian seperti ini. Sosialisasi tentang tanggap darurat bencana hanya dilakukan sekedarnya saja.
Kurikulum Darurat sebagai Strategi Alternatif
Sepanjang tiga puluh tahun terakhir bahkan lebih, jika merujuk pada usia penulis opini ini, baru di tahun 2020 inilah kegiatan belajar di sekolah dialihkan ke rumah secara nasional. Kejadian luar biasa dan tak terduga ini kita jadikan sebagai sebuah pembelajaran berharga.
Kurikulum pendidikan kita selama ini tidak sepenuhnya memberi bekal kepada anak-anak, yang kelak mereka dewasa dan menjadi orangtua tentang bagaimana mengatasi keadaan di tengah situasi sulit seperti sekarang. Akibatnya, ketika proses pendidikan anak kembali ‘diserahkan’ kepada orangtua di rumah, semua kelabakan, serba kikuk dan menimbulkan frustasi. Imbasnya justru kepada anak-anak itu sendiri.
Berdasarkan kenyataan ini, ke depan disarankan adanya struktur kurikulum darurat yang applicable di masa sulit yang unpredictable. Perlu dirancang kurikulum pendidikan dengan materi dan bahan ajar tentang survival strategy. Selain itu, memaksimalkan program parenting di tingkat sekolah sebagai kebutuhan yang semakin nyata dan membutuhkan perhatian khusus. Hal ini penting untuk memberikan penguatan mental dan pemahaman tentang bagaimana peran orangtua dalam proses pendidikan anak-anak. Sinergi yang terjalin harmonis antar lini menjadi satu paket penting dalam menghadapi situasi sulit yang bisa jadi terulang di masa yang akan datang.
*Penulis adalah seorang penulis, editor dan pendidik di SMPIT MADANI Kayuagung, Sumatera Selatan.