Oleh Amir Machmud NS
DALAM kondisi normal, Anda boleh memosisikan olahraga sebagai “forum” dengan nilai humanismenya sendiri. Anda boleh memandang para pelakunya sebagai pahlawan-pahlawan yang mengilhami eksplorasi rasa kemanusiaan. Anda juga boleh beropini bahwa sport-lah yang secara jujur mampu menyatukan hati dan rasa, mendidik manusia untuk meniadakan aneka sekat dan primordi kehidupan.
Realitasnya, dalam bentang latar aktual, kini olahraga harus menyerahkan universalitas nilai-nilainya kepada hakikat kemanusiaan yang lebih tinggi.
Ketika dunia dilanda bencana pandemi virus Corona, olahraga dengan ikhlas menghentikan napas dan mengistirahatkan denyut kehidupannya. Ada yang jauh lebih penting dari dunia kompetisi itu.
Dengan penuh kesadaran kita berpuasa dari histeria sepak bola liga-liga negara Eropa, Liga Champions, Liga Eropa, Copa America, juga turnamen-turnamen superseries bulu tangkis, grand prix dan grand slam tenis, MotoGP, Formula-1, NBA, dan lainnya. Nyawa manusia jauh lebih penting dari semua show kompetitif itu.
Untuk sementara, lupakan semboyan garang sang peletak fondasi karakter Liverpool, Bill Shankly bahwa “sepak bola lebih penting dari sekadar hidup dan mati, bahkan lebih penting dari kehidupan itu sendiri”. Hidup justru harus lebih dihargai ketimbang sepak bola atau permainan apa pun.
Legenda Manchester United, Wayne Rooney menegaskan, sepak bola adalah milik semua orang, terutama di Inggris. Namun, “Bangkit dan pikirkan sesuatu, krisis ini jauh lebih besar dari pertandingan kami,” tuturnya.
Ya, bahkan tak sedikit pelaku di dunia profesional sepak bola yang positif terpapar Covid-19. Dari Michael Arteta, Paolo Dybala, Paolo Maldini, Eliaquim Mangala, Blaise Matuidi, Patrick Cutrone, hingga Daniele Rugani. Tak peduli bintang atau bukan, mereka harus mengisolasi diri, work from home, menjauhi gebyar panggung liga-liga.
Kompetisi ditunda, bahkan sebagian liga berkemungkinan dihentikan. Pengunduran jadwal sejumlah event internasional hingga tahun depan menggambarkan kepanikan global, sekaligus penegasan sikap bersama bahwa olahraga bukan hal penting di hadapan ancaman terhadap masa depan kehidupan manusia.
* * *
JANGAN pernah menghitung berapa pun dampak sosial-ekonomi yang timbul — termasuk dari dunia olahraga –, ketika urusannya adalah nyawa dan kemanusiaan. Ketika satu demi satu manusia tak mampu bertahan hidup dalam deret akselerasi korban pandemi yang mengerikan, untuk apa mencurahkan semua pikiran tentang olahraga, seni, dan lainnya? Kesadaran bersamalah yang harus dibangkitkan untuk bersatu melawan persebaran virus berbahaya itu.
Klub sepak bola seperti Liverpool boleh jadi kecewa karena berkemungkinan kehilangan peluang meraih gelar juara Liga Primer 2019-2020. Trofi liga sudah 30 tahun dinanti, namun ketika kesempatan itu tiba di depan mata, tak ada yang menjamin kebijakan Football Associaton (FA) bahwa kompetisi bisa dilanjutkan pada 30 April mendatang.
Ketika sang pelatih, Juergen Klopp menegaskan bahwa kemanusiaan lebih penting dibandingkan dengan sekadar permainan sepak bola, kita sadar betapa dunia memang harus punya sikap yang sama untuk melawan Corona. Manajemen The Reds juga mendatangkan seorang psikolog untuk mendampingi penyiapan mental pemain, agar siap menerima apa pun keputusan tentang kelangsungan peluang mereka.
Ya, itulah ungkapan sikap dan perasaan yang sama. Tidak ada orang yang boleh dibiarkan mencari panggung, seolah-olah melawan ikhtiar-ikhtiar bersama menanggulangi bencana kemanusiaan ini. Tak sepatutnya ada yang memanfaatkan celah, dengan konfiden tanpa perhitungan mengajak menyikapi bencana ini sebagai hal biasa.
Seperti apa tanggung jawab mereka yang memunggungi kemanusiaan itu atas nyawa sesama? Jaminan apa yang mereka berikan untuk keselamatan hidup orang lain?
Dunia olahraga patut menjadi contoh. Swa-isolasi, kemauan mengarantina diri, kesadaran mengumumkan secara terbuka positif terpapar, dan kepatuhan kepada protokol pemerintah seperti yang dilakukan oleh para bintang olahraga di sejumlah negara, patut diapresiasi sebagai bagian dari ekspresi kemanusiaan untuk semua.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) akhirnya memutuskan untuk menunda Olimpiade Tokyo yang seharusnya digelar pada 24 Juli – 9 Agustus tahun ini. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bersama Presiden IOC Thomas Bach sepakat menunda sampai paling lambat pertengahan 2021.
Ya, bukankah tidak ada yang bisa menjamin, Juli hingga Agustus pandemi itu sudah mereda? Andaikata badai berlalu pun, sudah pasti persiapan sekitar 1.000 atlet yang akan tampil, maupun penyelenggaraan tidak mencapai kualitas memadai.
Presiden IOC menyatakan, kehidupan manusia harus lebih diutamakan. IOC ingin menjadi bagian dari solusi pencegahan penyebaran Covid-19.
Keterhentian olahraga sekarang ini mirip dengan yang terjadi pada 1918-1920. Ketika itu, di tengah Perang Dunia II wabah “Flu Spanyol” menyebar sebagai pandemi. Sebagian kegiatan olahraga, seperti Liga Inggris tetap berlangsung, kendati sekitar 500 juta orang terinfeksi, dan 20 juta manusia diinfokan tidak mampu bertahan hidup.
Kini semua elemen dunia olahraga bersatu dalam pikiran yang sama tentang kemanusiaan dan kehidupan. Hanya mereka yang hatinya diliputi kegelapan yang masih mengekspresikan tentangan terhadap protokol penanggulangan virus Corona.
Penghentian semua kegiatan massal, termasuk “puasa olahraga”, kita pahami sebagai semacam “komunike bersama” keprihatinan dan sikap masyarakat dunia…
Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng