JAKARTA (SUARABARU.ID)– Pemusnahan kelelawar yang dilakukan beberapa pemerintah daerah sebagai bentuk penanganan COVID-19 tidak efektif dan berdampak akan keseimbangan ekosistem, kata peneliti biosistematika vertebrata Sigit Wiantoro.
Berdasarkan penelitian, kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu, penularan COVID-19 terjadi antara manusia ke manusia dan mula-mula muncul di Wuhan, Cina. “Perdagangan satwa liar di Wuhan, Tiongkok yang tidak diregulasi dan sering kali ilegal adalah hal yang menyebabkan kemunculan dan persebaran virus COVID-19,” jelas peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI itu dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Pasar satwa liar adalah tempat di mana hewan liar hasil buruan manusia dibawa dalam keadaan stres tinggi dengan fisiologi melemah setelah dipindahkan secara paksa dari alam liar. Upaya pembasmian kelelawar dapat memberikan efek yang berlawanan, karena selain tidak berdampak pada penyebaran penyakit malah bisa menyebabkan perubahan dalam ekosistem.
Dia mengambil contoh bagaimana upaya pembasmian kelelawar di Amerika Selatan sebagai bagian dalam usaha mengontrol rabies tidak membuahkan hasil. “Justru perubahan ekosistem yang disebabkan oleh manusialah yang menjadi penyebab utama kemunculan penyakit-penyakit yang dapat ditularkan dari satwa liar ke manusia,” kata Sigit.
Salah satu solusi agar tidak terjadi lagi penyebaran zoonosis atau penyakit yang disebabkan oleh hewan adalah tidak mengganggu satwa liar dan merusak habitat alaminya. Karena kelelawar sebagai pemakan buah memiliki peran penting sebagai penyerbuk bunga dan penyebar biji yang akan tumbuh jadi pohon baru.
Selain itu, kelelawar juga sebagai pemakan serangga yang berperan dalam pengendalian hama pertanian dan pengendali hewan yang berpotensi sebagai vektor penyakit seperti nyamuk. Sebelumnya, beberapa pemerintah daerah melakukan pemusnahan ratusan ekor kelelawar jenis kalong dan codot karena dikhawatirkan menjadi binatang pembawa (vector) virus corona yang menyebabkan penyakit COVID-19.
Ant-trs