Mahasiswa KKN & Edukasi Sampah
Oleh:
Ira Alia Maerani
SAMPAH selalu dihasilkan oleh setiap individu. Baik di pedesaan maupun perkotaan. Pola hidup seseorang amat berpengaruh terhadap produksi sampah. Ironinya tidak setiap orang menyadari pola konsumsinya memberikan efek negatif bagi lingkungan sekitar. Memberikan beban berlebih bagi bumi yang sudah berat dengan kandungan sampah yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk terurai.
Berdasar kondisi itulah yang menginspirasi mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang membuat program edukasi mengenai sampah di desa Tratemulyo, Kecamatan Weleri, Kabupaten Kendal. Program ini dalam rangka membangun pola pikir (mindset) masyarakat agar mengetahui informasi seputar sampah-sampah tertentu yang membutuhkan waktu sangat panjang untuk dapat terurai oleh bumi. Oleh karena itu harus diminimalisir penggunaannya, seperti sampah plastik. Informasi apasajakah yang disampaikan?
Informasi Seputar Sampah
Sampah plastik membutuhkan 50 hingga 1000 tahun untuk terurai tergantung ketebalan produk dan jenis bahan plastik yang digunakan. Oleh karena itu, penggunaan sampah plastik semakin dielimir. Ketika belanja membawa tas belanja besar dari rumah sehingga tidak menggunakan plastik pembungkus dan tas kresek plastik. Menggunakan daun pisang, daun jati, daun talas sebagai pembungkus. Beli lauk membawa rantang (mangkuk) dari rumah. Mengurangi minuman dalam kemasan plastik dengan membawa tumbler (botol minum tidak sekali pakai) dan berbagai langkah bijak lainnya.
Sampah berupa kaca dan kemasan minuman yang berbahan beling (kaca) adalah bahan yang sulit untuk diurai. Oleh karena itu pemanfaatan kembali (re-use) dan daur ulang (recycle) menjadi mutlak dilakukan.
Puntung rokok membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk terurai. Puntung rokok tidak hanya menyumbat saluran air, ternyata merupakan sampah yang masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). Jika seseorang merokok selama 30 tahun dalam hidupnya dan menghabiskan 10 batang rokok setiap harinya, maka ia telah menghabiskan 108.000 batang rokok. Jika satu batang rokok seharga Rp 1.000, maka total uang yang telah ia keluarkan untuk membeli rokok sejumlah Rp 108.000.000. Jumlah yang tidak sedikit.
“Wah, saya seharusnya bisa naik haji ya Bu,”seloroh seorang mahasiswa dengan nada penyesalan. Mahasiswa ini boleh dikatakan mahasiswa yang sudah sangat senior karena ketika kuliah S1 usianya sudah menginjak 67 tahun. Beliau menuturkan merokok sejak di bangku SMP kelas 2. Alhasil sudah puluhan tahun beliau merokok. Tak kurang 2 bungkus rokok dihirupnya setiap hari. Ketika hitung-hitungan di depan kelas berapa uang yang telah “dibakar” untuk membeli rokok, tersebutlah jumlah yang sangat fantastis. Mendekati angka Rp 1 Miliar. Beliau tercengang dengan penuh penyesalan. Hingga di akhir studinya, berkali-kali beliau mengucapkan terima kasih telah disadarkan dengan kekeliruan yang telah diperbuatnya selama bertahun-tahun ini. “Terima kasih Bu, saya sekarang sudah tidak merokok. Dokter pun menganjurkan demikian,”ujarnya ketika menaiki tangga saat akan ujian dibantu tongkat. “Asam urat saya kambuh, Bu,”tambahnya.
Pengalaman pribadi di atas membuat kita tersadar mengapa rokok termasuk kategori bahan berbahaya dan beracun bagi lingkungan. Berbahaya pula bagi kesehatan tubuh seseorang. Hingga dokter pun menyarankan agar tidak merokok.
Termasuk yang membutuhkan waktu terurai sekitar 10 tahun adalah styrofoam. Padahal kini banyak usaha rumah makan, catering, hingga snack arisan menggunakanya. Styrofoam dianggap tidak baik untuk lingkungan dan kesehatan tubuh manusia. Nampaknya menggunakan kardus dinilai lebih ramah lingkungan meski waktu yang dibutuhkan untuk terurai sekitar 5 bulan.
Para ibu yang memberikan popok bagi buah balita mereka karena pertimbangan praktis dan sebagainya, nampaknya harus berpikir ulang mengingat dampaknya bagi lingkungan. Popok ini membutuhkan waktu 250 – 500 tahun untuk dapat terurai. Rentang waktu yang amat panjang. Pilihan bijak adalah dengan menggunakan popok kain. Selain ramah lingkungan tentu saja lebih hemat dan sehat. Bayi jarang terkena ruam popok. Bayi juga terlatih sejak dini untuk belajar peka terhadap kondisi sekitarnya. Dimana ketika ia merasakan popoknya basah, maka ia akan menangis dan menjadi perhatian orang tuanya. Sehingga segera mendapat penanganan. Menstimulasi otak bayi untuk tanggap terhadap lingkungan di sekitarnya. Melatih empati dan simpati.
Termasuk kategori sampah seperti popok yang terurai antara 250-500 tahun adalah pembalut. Mungkinkah langkah arif dilakukan yakni kembali seperti ibu-ibu kita dulu yang tidak menggunakan pembalut tetapi menggunakan lapisan kain tebal ketika haid? Kain yang bisa dicuci dan digunakan kembali.
Termasuk info yang disampaikan pada masyarakat adalah sampah karet dan kaleng yang membutuhkan waktu sekitar waktu 80 hingga 100 tahun untuk dapat terurai. Nah, untuk memudahkan masyarakat membaca dan mempelajari info tersebut, mahasiswa KKN UNISSULA di desa Tratemulyo membuat papan informasi yang dipasang di tepi jalan strategis sehingga memberikan edukasi bagi masyarakat. Diharapkan setelah mengetahui informasi tersebut, masyarakat lebih bijak dalam hidupnya sehingga berimplikasi positif bagi lingkungan. (Dr. Ira Alia Maerani, M.H., dosen Fakultas Hukum dan dosen pendamping lapangan (DPL) KKN UNISSULA)
Suarabaru.id