blank
Paul Labilé Pogba

blank

Oleh Amir Machmud NS

APA yang sesungguhnya Anda harapkan dari seorang Paul Pogba?

Ingin dia segera pulih dari cederanya, dan kembali memperkuat Manchester United yang sedang bergulat melawan keterpurukan? Atau ingin mendapat sesuatu yang lebih besar: atas nama kepentingan sepak bola secara lebih luas?

Pecinta sepak bola sejati pastilah mengingini Pogba kembali menjadi Pogba. Paul Pogba yang “benar-benar Paul Pogba”. Hampir dalam tiga musim ini, yang kita saksikan bersama Setan Merah bukanlah Pogba yang seharusnya sudah berjajar di deret elite pemain dunia, bukan representasi pemain berharga mahal (Rp 1,6 triliun) saat direkrut MU dari Juventus, tetapi lebih banyak diperbincangkan sebagai bintang yang ternyata melempem dan tidak banyak berkontribusi bagi kebangkitan Pasukan Theatre of Dream.

Kalau tidak segera menemukan “pencerahan” dalam sikap bermain dan manajemen orientasi karier, jangan-jangan dia akan memperpanjang deret bintang yang tidak berhasil mengekspresikan potensi terbaiknya, dengan aneka persoalan yang membelit mereka.

Kita mencatat kisah dalam bingkai waktu berbeda tentang Norman Whiteside, Gianluigi Lentini, Antonio Cassano, Pablo Aimar, Ariel Ortega, Mario Balotelli, Mario Goetze, atau Joey Barton sebagai bagian dari bakat terbaik di negeri masing-masing, yang gagal merawat dan mengembangkan potensinya. Dari calon bintang besar, mereka hanya menjadi pemain medioker. Ada talenta yang tersia-siakan, ada perkiraan masa depan yang dihadapkan pada kenyataan. Dan, dunia sepak bolalah yang akhirnya kehilangan sebagian dari potensi bintang panggungnya.

*   *   *

KEPRIHATINAN Patrice Evra, eks bek sayap tim nasional Prancis terhadap “nasib” Paul Pogba ini bisa dipahami. Evra menyarankan, sudah waktunya Pogba menentukan masa depannya agar tidak terbelenggu oleh realitas yang dihadapi di Old Trafford.

Evra bukan sedang memprovokasi, tetapi dia tentu termasuk yang merasa sayang apabila talenta yuniornya itu tersia-siakan. Pogba adalah angkatan penerus Evra di Les Bleus. Keduanya pernah membela MU, klub yang kini dipandang tidak mampu memaksimalkan peran Pogba. Pernah pula sama-sama berkibar di Juventus.

Musim ini, Pogba nyaris kurang berperan dalam penampilan MU di semua ajang. Dia lebih akrab dengan meja operasi ketimbang aksi-aksi yang mengorkestrasi permainan Setan Merah. Diinformasikan sudah siap tampil lagi tengah musim ini, nyatanya pelatih Ole Gunnar Solskjaer belum juga menurunkannya dalam skema melawan Liverpool di Anfield, akhir pekan lalu. Legenda MU Teddy Sheringham malah menuding Pogba “enggan memberi seluruh kemampuannya” untuk klub yang membutuhkan dia.

Inikah ironi eksistensi pemain termahal MU yang semula digadang-gadang menjadi faktor pembeda?

Pertanyaan pun mengemuka, Pogba memang masih harus dipulihkan total, atau Solskjaer sudah tidak lagi mengkasting dalam starting eleven idamannya? Atau, gelandang eks Akademi MU itu sengaja berperilaku ogah-ogahan agar bisa segera dilego oleh The Red Devils? Lalu hendak ke manakah dia: kembali ke Juventus, ketika Real Madrid tidak lagi memperlihatkan minat seperti pada musim sebelumnya? Namun apakah pelatih Maurizio Sarri membutuhkan jasa pemain berjejuluk The Octopus itu untuk memperkuat lini tengah Bianconeri?

Pogba sebenarnya memperlihatkan peran signifikan pada masa-masa transisi kepelatihan dari Jose Mourinho ke Solskjaer. Dia menjadi sosok penentu di lini tengah, bahkan sempat mengakui kecocokan bermain di bawah taktik Solskjaer, sebelum sang pelatih karteker itu dipermanenkan. Namun entah mengapa, selain karena rentan cedera, dia tampak “menikmati” dihubungkan dengan Madrid dan keterpincutan Zinedine Zidane. Fokusnya di MU pun seperti hilang, dan performanya menurun dalam satu setengah musim terakhir.

Pogba tak lagi hadir sepadan dengan potensi besarnya. Padahal pada era Alex Ferguson, dia sempat disebut-sebut bakal menjadi “Paul Scholes baru”. Hanya karena kekurangsabarannya dengan kesempatan memperoleh menit bermain, dia pun memilih hengkang ke Juventus selama 2012-2016 sebelum balik lagi ke Old Trafford sebagai pembelian termahal.

*   *   *

PEMUNCULAN talenta yang masuk kategori rising star memang punya aneka keniscayaan. Dia bisa benar-benar menjulang, bisa pula berkembang di deret elite bintang, atau berada di level semenjana, bisa juga mandek atau bahkan menghilang sama sekali dari orbit.

Masalahnya beraneka. Ada yang lantaran terbelit cedera tak berkeputusan seperti kasus Whiteside dan Lentini, ada yang karena tidak mampu mengelola temperamen ala Joey Barton, Cassano, atau Balotelli. Ada yang angin-anginan seperti problem Ortega, Aimar, Goetze, dan Xherdan Shaqiri, juga yang memuncak namun tak bertahan dalam era tertentu sebagaimana kisah kecanduan alkohol ala George Best dan Paul Gascoigne.

Nyatanya, ada pemain yang punya “permasalahan dari dalam diri sendiri”, tetapi tidak harus kehilangan level permainan. Bukankah misalnya, Eric Cantona, Stefan Effenberg, dan Zlatan Ibrahimovic adalah orang-orang yang sulit diatur, arogan, dan susah dimengerti, namun terbukti punya kesadaran jalan keluar untuk tetap menjaga profesionalitas?

Paul Pogba boleh jadi termasuk seorang profesional yang kurang pandai memilih prioritas. Kalau kungkungan klub yang cenderung disalahkan, padahal dia sudah diposisikan sedemikian mulia sebagai calon pemimpin, jangan-jangan ada yang salah dalam manajemen hidupnya?

Sangatlah disayangkan, apabila Pogba membiarkan diri terbelenggu dalam suasana seperti saat ini, dan tidak ada orang-orang terdekat yang membantu untuk memberi jalan keluar konstruktif bagi persoalan yang dia hadapi.

Tentu sepak bola bakal menyesal jika salah satu bakat besar itu menguap lantaran ketidaktepatan pembinaan dan sikap. Pada usia 26, Pogba kehilangan banyak momen untuk berkembang. Setidak-tidaknya, sepak bola bakal mendapati seorang Paul Pogba sebagai kandidat bintang besar, yang hingga pengujung karier hanya mencapai level tak seharusnya.

Kita menanti “pemulihan” potensi Pogba, seperti menunggu perkembangan bakat-bakat calon bintang lainnya, Jadon Sancho, Phil Foden, Reinier Jesus Carvalho, Erling Haaland, Joao Felix, atau Takefusa Kubo…

Amir Machmud, wartawan senior, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng