blank
Dr Rahmat Safaat/dok

JAKARTA – Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKP) No 20 Tahun 2018 dinilai bertentangan dengan Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan GUbernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU terhadap UUD 1945 dan undang-undang no 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Peraturan yang melarang eks napi perkara korupsi menjadi calon legislatif (caleg) dikatakan mengebiri hak politik seseorang, yakni dipilih.

Padahal, hak politik tersebut dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 (j). Hal itu mengemuka dalam focus group discussion (FGD) yang digelar Badan Kerja Sama (BKS) dekan Fakultas Hukum (FH) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Hotel Aryaduta Jakarta, baru-baru ini.

Forum menilai seorang warga negara dalam proses pemilu sebagai caleg merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi. ”Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Karena itu, PKPU sebagai salah satu peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat prosedur, yaitu harus diundangkan, dan itu mesti melalui Kemenkum HAM,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkum HAM RI Prof Widodo Ekatjahjana.

Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) RI Dr Fajar Laksono Soeroso mengatakan, penyusunan PKPU wajib merujuk, tidak boleh mengabaikan apalagi menabrak menabrak UU yang telah diuji secara konstitusionalitasnya.

”Perlu dipahami bersama bahwa niat bangsa untuk melawan korupsi dan pemilu tahun 2019 menghasilkan angota legislatif yang berintegrasitas. Tetapi, langkah yang ditempuh KPU harus didasarkan pada logika dan nalar UUD RI 1945 sebagai the supreme law of the land. Itu tercermin dalam putusan MK,” tandas Fajar.

Mantan hakim MK RI Dr Maruaran Siahaan mengatakan, PKPU sesungguhnya sangat ideal. Namun, PKPU No 20 Tahun 2018 ini tidak berdasarkan pada kewenangan dan delegasi yang diberikan UU sehingga menjadi tindakan yang ultravires dari KPU. Juga bertentangan dengan prosedur dan aturan hukum konstitusional. ”Jika dianggap ada diskriminasi syarat calon presiden dengan syarat calon legislatif, mekanismenya melakukan judicial review dulu sehingga KPU sebagai lembaga negara tidak menegakkan keadilan melalui prosedur yang bertentangan dengan konstitusi. Ini sebenarnya di luar kewenangan KPU,” ungkap Maruaran.

Sekjen BKS Dekan FH PTN Dr Rahmat Safaat menambahkan KPU adalah lembaga negara independen. Namun, independen yang dimaksud di sini KPU memiliki kewenangan menyelenggarakan dan mengawal pemilu yang tidak boleh diintervensi pihak mana pun. Meski independen, harus tetap taat pada undang-undang. ”Ini sebagai konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum atau rechtstaat,” tutur Rahmat yang juga dekan FH Universitas Brawijaya Malang itu. (rr)