Oleh : Hadi Priyanto
Selama ini R.A. Kartini hanya dipahami secara sempit sebagai tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia. Bahkan kita kemudian merasa telah cukup mewarisi semangatnya dengan hanya mengenakan kebaya setiap kali memperingati kelahirannya 21 April. Sedangkan kita abai terhadap gagasan-gasannya.
Padahal jika kita mau memahami sosok R.A. Kartini dalam dimensi historis-sosiologis, kita akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan bukan sekedar memperjuangkan persamaan hak bagi perempuan bangsawan Jawa. Tetapi jauh lebih besar dan mulia, yaitu membangkitkan rasa kebangsaan dan nasionalisme bangsa Bumiputera. Rasa kebangsaan dan nasionalisme inilah yang menurut R.A. Kartini telah berabad-abad mati karena kekuatan feodalisme dan kekuasaan kolonialisme.
Sebenarnya pengakuan atas perjuangan R.A. Kartini oleh Negara telah jelas. Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964, dengan jelas disebutkan, beliau mendapatkan anugerah dari Negara sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Anugerah ini diberikan kepada R.A. Kartini karena dengan rasa cinta kepada Tanah Air dan Bangsanya, semasa hidupnya beliau telah memimpin suatu kegiatan yang teratur guna menentang penjajahan di bumi Indonesia.
Sebagai seorang perempuan bangsawan Jawa, R.A. Kartini memang merasakan secara langsung ketidak-adilan yang dialami perempuan. Bukan saja ia tidak boleh menjadi pintar dan mandiri, tetapi lebih tragis lagi, perempuan bangsawan Jawa diciptakan oleh adat untuk menjadi hamba laki-laki.
Hal ini dinilai oleh R.A. Kartini sebagai ketidak-adilan dan penghalang tumbuhnya peradaban bangsa. Karena itu persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan adalah pintu gerbang untuk mencapai peradaban baru bangsa Jawa. Dengan peradaban baru ini R.A. Kartini berharap, tidak ada lagi penindasan dan penjajahan oleh siapa pun, sebab harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi.
Jalan terjal, berbatu dan penuh duri yang dipilih dengan sadar oleh R.A. Kartini memang unik. Sebab beliau berusaha merobohkan dinding tembok feodalisme dan kolonialisme dengan memberikan pendidikan kepada perempuan agar mampu menjadi ibu sejati dan siap menjalankan kewajiban besar yang ditetapkan oleh alam: menjadi pendidik pertama umat manusia. Karena itu perempuan yang cerdas, terampil dan berbudi pekerti menurut R.A. Kartini adalah pintu besar tercapainya zaman baru bagi bangsanya.
Beliau tidak diam. Pada bulan Juni 1903, R.A. Kartini membuka sekolah bagi anak-anak perempuan di Jepara. Saat sekolah ini dibuka, di dalam kelas hanya ada satu murid. Namun itu tidak menyurutkan langkah R.A. Kartini dan adiknya, R.A. Roekmini. Mereka terus berusaha untuk memberikan pengertian kepada masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak gadis hingga minggu kedua mendapatkan tambahan murid menjadi 5 orang, 7 orang dan bahkan menjadi 9 orang. Langkah yang sama juga dilakukan di Rembang saat telah menjadi istri Bupati Rembang, Raden Mas Adipati Joyoadiningrat. Sekolah yang didirikan oleh R.A.Kartini, pada bulan Januari 1904 dimulai dengan empat orang murid. Hingga akhir hayatnya, sekolah bagi gadis di Rembang ini memiliki murid 20 orang.
Dua sekolah yang didirikan oleh R.A.Kartini ini telah menjadi sumber inspirasi bagi dunia pendidikan di Tanah Air. Sebab setelah beliau wafat dan gagasannya diterbitkan oleh J.H. Abendanon dalam buku Door Duisternis Tot Licht yang berisi surat-surat R.A. Kartini kepada sahabat-sahabatnya, gagasan besar beliau untuk bangsanya di ketahui khalayak.
Kemudian muncullah dukungan di Belanda untuk mendirikan Sekolah Kartini. Bahkan kemudian dibentuk Komite Dana Kartini yang diketuai oleh Mr.Conrad Theodore van Deventer. Dari dana yang dikumpulkan di Belanda, pada tanggal 15 September 1913, berdiri Sekolah Kartini di Semarang yang saat dibuka telah mendapatkan 70 orang murid. Sekolah Kartini ini kemudian berkembang di Batavia, Madiun, Malang, Pekalongan, Cirebon dan Indramayu.
Semangat kebangsaan yang mulai dikobarkan oleh R.A. Kartini, baik melalui surat-suratnya yang sangat panjang, Nota Tuntutan kepada Pemerintah Belanda Berilah Orang Jawa Pendidikan, maupun tulisan di berbagai surat kabar dan majalah sejak tahun 1899 hingga akhir hayatnya, juga menjadi salah satu sumber inspirasi bagi para pemuda terdidik dan progresif untuk bangkit dan bergerak bersama meraih kemerdekaan bangsanya.
Kekuatan nalar berfikir R.A. Kartini yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya tentang perlunya kebangkitan bangsa Bumiputera, mampu menggugah rasa kebangsaan para pemuda terpelajar yang berasal dari School tot Opleiding van Inlandsche Arts (STOVIA) atau Sekolah Dokter Bumiputera. Bahkan kemudian mereka membentuk kelompok kaum muda yang diberi nama Jong Java pada tahun 1903. Kepada R.A. Kartini kalangan muda progresif ini memanggilnya sebagai Ayunda.
Pemikiran-pemikiran kristis R.A. Kartini juga menjadi salah satu pemantik para mahasiswa di STOVIA di Batavia, Sekolah Pertanian dan Peternakan Bogor, Sekolah Guru Bandung, Sekolah Pamong Praja Magelang, serta Sekolah Sore Surabaya untuk mendeklarasikan berdirinya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 dengan semboyan Hindia Maju.
Bahkan karena kekaguman dan rasa hormat Dokter Cipto Mangunkusumo kepada R.A. Kartini, ditunjukkan dengan mendirikan Kartini Club tahun 1910 di Surakarta, jauh sebelum surat-surat Kartini diterbitkan oleh J.H. Abendanon dalam buku Door Duisternis Tot Licht. Lembaga ini didirikan untuk memajukan bangsa di bidang pendidikan dan menyatukan kalangan pemuda dan pelajar agar sadar panggilan Bangsanya.
Sementara para mahasiswa dari Hindia Belanda yang tergabung dalam organisasi Indische Vereeniging di Belanda, setelah membaca buku Door Duisternis tot Licht, dalam rapat anggota pada tanggal 24 Desember 1911 menetapkan pokok-pokok pikiran dan perjuangan R.A. Kartini sebagai richtoer atau pedoman resmi perjuangan organisasi. Kemudian pada tahun 1915 inspirasi dari R.A. Kartini juga menjadi salah satu pemantik gerakan para pemuda di Jawa untuk mendeklarasikan berdirinya Tri Koro Dharmo yang dalam konggresnya di Solo tahun 1918, diubah menjadi Jong Java.
Pengaruh semangat R.A. Kartini terhadap kaum muda pergerakan diungkapkan Dr. Cipto Mangunkusumo dalam tulisannya di surat kabar De Express tanggal 24 Mei 1912, “ Tiap halaman surat Kartini tertuang keinginan, harapan, perjuangan untuk mengajak bangsanya bangun dari tidurnya yang panjang yang telah beratus-ratus tahun”.
R.A. Kartini juga memiliki perhatian besar terhadap kerajinan yang ada di Jepara dan Rembang. Beliau memiliki peran besar terhadap perkembangan seni ukir dan batik Jepara. Bahkan dapat disebut sebagai Ibu Seni Ukir dan pembuka pintu pasar ke luar negeri. Di Rembang, walaupun belum genap satu tahun juga telah berhasil menarik perhatian Oest en West untuk membeli barang-barang kerajinan dari Rembang seperti Sarung Lasem, tempat cerutu dari bulu merak dan pakaian untuk kuda. Beliau juga merencanakan mengembangkan seni ukir di Rembang dengan mendirikan sekolah pertukangan. Semua itu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan para perajin.
Kesediaan R.A. Kartini untuk menerima panggilan jaman sebagai Ibu Bangsa dengan seluruh dan raganya, tentu harus diingat dan dikenang oleh seluruh bangsa Indonesia. Namun bukan hanya mengenang sosoknya, tetapi yang lebih utama adalah menghidupkan kembali gagasan serta memelihara spiritnya agar tetap menyala menjadi lentera bagi anak bangsa untuk terus menghidupkan api kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme dalam sanubarinya.
Karena itu salah satu tujuan penulisan buku Kartini Penyulut Api Nasionalisme Indonesia ini adalah untuk merawat tumbuhnya anak-anak ideologis Kartini yang bersedia untuk menjaga semangat dan gagasannya agar tidak mati oleh derasnya arus perkembangan zaman. Sebab Kartini bukan saja pahlawan yang harus dikenang kebesaran namanya dan dirayakan kelahirannya, tetapi yang lebih utama adalah terus menjaga agar gagasannya tidak mati.
Memang sejarah mencatat, dalam usianya yang masih relatif muda, ditambah dengan keterbatasannya sebagai seorang putri bangsawan Jawa, beliau telah memercikkan api pergerakan kebangsaan dan nasionalisme di seluruh pelosok tanah air.
Sekarang api itu telah menyala di tengah-tengah bangsa ini. Akankah api itu redup dan padam ? Atau akankah api itu tetap menyala menjadi energi yang menghidupkan semangat kebangsaan dan nasionalisme bangsa ini? Jawabnya tentu ada di tangan kita, para pewaris.
Persoalannya adalah, apakah kita bersedia dengan setia mewarisi semangat dan gagasan R.A. Kartini yang dengan ikhlas memenuhi panggilan zaman, mempersembahkan seluruh hidupnya untuk bangsa dan negara yang dicintainya? Atau justru kita tidak setia dan perlahan meninggalkan dan melupakan gagasan serta semangatnya.
Semoga para pewaris bersedia dengan setia meneruskan semangat, cita-cita dan gagasan R.A. Kartini dan selalu ihklas mempersembahkan seluruh hidupnya untuk bangsa dan negaranya.
Penulis adalah Wartawan SUARABARU.ID dan penulis Buku Kartini Penyulut Api Nasionalisme Indonesia