blank
Abu Ma'mur membacakan karya Wangsinya saat peluncuran buku bertajuk Mengikat Tradisi Menguntai Puisi, Genre Baru Puisi Tegalan’.

Komunitas Satrawan Tegalan, Minggu (28/6/2020) meluncurkan buku kumpulan Wangsi (Wangsalan Puisi) berjudul ‘Mengikat Tradisi Menguntai Puisi, Genre Baru Puisi Tegalan’. Buku yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah (BBJT) ini diluncurkan di Kedai Pring Goyang, Slawi, Kabupaten Tegal pukul 09.00 Wib. Peluncuran buku tersebut semakin menegaskan bahwa dunia puisi Tegalan telah diakui oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melalui BBJT.

Secara resmi buku tersebut diluncurkan ditandai dengan penyerahan buku dari mantan Wakil mantan rektor Universitas Panca Sakti Tegal, Dr. Maufur kepada Ria Candra Dewi, guru Bahasa Indonesia SMK Bhakti Praja dan dosen Politeknik Baja Dukuhwaru, Kabupaten Tegal. Dua orang ini karyanya turut juga dalam buku tersebut. Usai penyerahan buku dan piagam dari BBJT, dilanjutkan diskusi menampilkan tiga pembicara yakni, Dr. Maufur (Wakil Walikota Tegal pertama periode 2004-2009), sejarawan Wijanato, dan guru SMA Negeri 1 Slawi yang menulis kata pengantar.

Sebelum diskusi dimulai, tampil pembacaan Wangsi berjudul “Kowen Nang Endi” karya Lanang Setiawan dibawakan penyair Bagoes Sibrong diiring gemulai tari Tegalan oleh dibawakan Wahyu Ranggati.

blankDalam diskusi tersebut, Wijanarto mengatakan, tradisi sastra lisan bisa menjadi basic untuk penguatan Wangsi. Karena di dalam karya tersebut terjadi perpaduan antara wangsalan (parikan) dan puisi. Ia mencontohkan, tembang-tembang pada musik tradisional balo-balo sarat dengan wangsalan akan menjadi penguatan karya wangsi.”

Ditambahkan, tembang-tembang yang ada pada lakon pementasan dalang gletak Ki Sueb dan Ki Bagja, merupakan sebuah bukti nyata, yang kerap ia saksikan. “Dengan membaca karya wangsi, saya jadi teringat ketika menonton pementasan dalang gletak yang dibawakan oleh kedua dalang tradisional itu,” katanya.

Menurut Dr. Maufur, penggas wangsi hendaknya terus berkiprah untuk mendorong kesinambungan eksistensi karya wangsi kepada generasi penerus. Hal ini, katanya, agar karya tersebut tidak berhenti pada komunitas sastra Tegalan saat ini.

“Para penggas Lanang Setiawan dan Dwi Ery Santoso musti memikirkan adanya regenerasi sesudah mereka,” tuturnya.

Senada dengan kedua pembicara, Muarif Esage menuturkan, karya wangsi tidak terlepas dari akar tradisi wangsalan yang sudah diwariskan oleh generasi sebelum mereka. Dan menurutnya, sebuah karya wangsi harus terus berkembang tidak bertengger di ruang hampa.

“Saya berharap wangsi bagaimana menjadi tilas ing nguri-uri untuk generasi muda pada masa yang akan datang agar bisa menjadi sesuatu.”

Lebih lanjut, ia berharap agar wangsalan yang ada dalam karya wangsi, lebih dikembangkan tidak hanya bertumpuh pada varian wangsalan yang sudah ada, melainkan memunculkan varian baru.

Sementara itu, Kepala BBJT, Dr. Tirto Suwonto, M. Hum mengatakan, dengan adanya peluncuran buku tersebut, sangat mengapresiasi kepada sastrawan Tegal yang telah berani mencoba memberikan nuansa dan warna baru dalam konstelasi perpuisian Indonesia dan daerah dengan cara menggali kekuatan lokalitas beserta sarana ungkap bahasa Tegalan.

“Kami berharap, cara-cara ekspresi semacam itu perlu dikembangkan lagi lebih dalam dengan tetap komit terhadapa berbagai persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, reliji. Lebih-lebih persoalan yang menyangkut masalah keadilan dan kemanusiaan,” ujarnya.

Ditambahkan, ia berharap sastrawan Tegalan ke depan terus berproses secara aktif, kreatif, dinamis, dialogis, dan futuris.

Acara peluncuran buku tersebut, ditutup dengan pembacaan wangsi oleh Abu Ma’mu MF, Endang Sri Witanti, Mohammad Ayyub, dan Eppy Budi Prie yang karya wangsi mereka ikut dalam buku tersebut. Peluncuran tersebut, selain dihadiri para penyair yang ada dalam buku wangsi, juga oleh para penyair tiga daerah, Slawi, Tegal, dan Brebes.

Tim SB