Biaya Pendidikan Menjadi Masalah Klasik di Indonesia
Oleh : Meilan Arsanti
MESKIPUN Pemerintah sudah menggelontorkan 20% dana APBN untuk sektor pendidikan, nyatanya belum mampu menyelesaikan semua masalah terkait dengan biaya pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan masih saja menjadi momok masyarakat Indonesia untuk mendapatkan hak pendidikannya.
Banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa menikmati pendidikan dengan layak terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Mahalnya biaya pendidikan menjadi masalah klasik di dunia pendidikan kita, padahal pendidikan merupakan faktor utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan tujuan negara kita.
Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan negara kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, maka sesungguhnya seluruh masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal tersebut berarti bahwa Pemerintah harus menyelenggarakan dan memfasilitasi seluruh rakyat Indonesia agar dapat memperoleh pendidikan yang layak.
Bagaimana mungkin bangsa akan cerdas jika masyarakyatnya saja belum mendapat akses pendidikan yang layak. Oleh karena itu, Pemerintah harus mengusahakan dengan sebaik-baiknya agar pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Pandemi yang melanda Indonesia selain berdampak pada sistem pembelajaran yang harus dilaksanakan dengan daring juga berdampak pada cukup tingginya angka putus sekolah.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebut, jumlah anak putus sekolah cukup tinggi selama pandemi Covid-19 terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin.
Hal itu disampaikan Retno berdasarkan hasil pemantauan KPAI di berbagai daerah (Kompas.com). Anak yang putus sekolah tentu menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Indonesia belum semua dapat menikmati pendidikan yang layak.
Dana BOS yang diberikan Pemerintah dari 20% APBN sejak tahun 2005 mulai dari tingkat SD sampai SMA tidak serta merta menyelesaikan masalah putus sekolah.
Dana BOS tersebut dialokasikan untuk pembiayaan dana operasional non personalia demi mendukung program wajib belajar.
Dengan kata lain, dana BOS tidak sepenuhnya dialokasikan untuk membiayai siswa yang kurang mampu karena dialokasikan juga untuk pengadaan dan pemeliharaan gedung, dan belanja kebutuhan sekolah serta untuk kegiatan sekolah.
Selain masalah cukup tingginya angka putus sekolah, banyak juga dijumpai masalah gedung sekolah yang roboh karena belum juga mendapat dana renovasi.
Gedung sekolah yang roboh di daerah perkotaan maupun pinggiran mungkin jarang terjadi, tetapi kerap terjadi di sekolah-sekolah di daerah terpencil atau 3T. Masalah selanjutnya adalah nasib guru honorer yang terlunta-lunta.
Miris sekali jika mendengar kisah guru honorer yang hanya mendapat gaji Rp 300.000,00 itu pun belum setiap bulan dibayarkan karena harus menyesuaikan dengan kondisi keuangan sekolah.
Nasib guru honorer hendaknya mendapat perhatian khusus dari Pemerintah karena guru adalah ujung tombak pelaksana pendidikan kita.
Jika guru masih disibukkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan, maka bagaimana guru tersebut akan fokus mendidik siswa-siswanya.
Adalah tantangan pendidikan di Indonesia untuk menghadapi cukup tingginya angka anak putus sekolah selama pandemi, banyaknya gedung sekolah yang roboh, dan nasib guru honorer yang terlunta-lunta.
Tantangan tersebut menjadi bukti bahwa 20% APBN untuk biaya pendidikan dari Pemerintah belum mampu menyelesaikan semua persoalan biaya pendidikan di Indonesia. Sejatinya pendidikan merupakan faktor kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan.
Dengan pendidikan, masyarakat akan cerdas sesuai dengan tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh karena itu, Pemerintah harus dapat mengalokasikan dana pendidikan secara tepat dan efektif dengan sistem transparasi agar pendidikan di Indonesia dapat dinikmati dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat.
(Penulis : Meilan Arsanti Dosen PBSI, FKIP, Unissula/Mahasiswa S-3 IPB Pascasarjana Unnes)
Suarabaru.id