Oleh: Amir Machmud NS
//batas apakah yang ditabukan dalam sepak bola?/ rasanya tak ada/ setetes darah untuk negeri/ semua berhak mengagungkan/ : saya Indonesia/ kalian Indonesia/ menyemayamkan garuda dan bineka//
(Sajak “Naturalisasi”, Maret 2024)
PERCAYALAH, bagi sepak bola Indonesia, naturalisasi pemain sejatinya adalah ikhtiar penghimpunan energi.
Barang tentu Anda berhak menilai: energi positifkah, atau negatif? Energi yang akan memancarkan cahaya alamiah, atau yang hanya sesaat membersitkan cercah?
Tunggulah 21 Maret nanti. Laga Pra-Piala Dunia melawan Vietnam di Stadion Gelora Bung Karno akan mengetengahkan penikmatan tim nasional Garuda yang “berbeda”, walaupun di Piala Asia 2023 di Qatar beberapa waktu lalu, Indonesia juga sudah menyajikan “wajah” berbeda.
“Berbeda”? Ini untuk memberi aksen “lain dari yang biasa disodorkan oleh kanvas sejarah”. Media menyebutnya sebagai “timnas berwajah Eropa”: dengan hampir semua pilar tim racikan Shin Tae-yong itu dihuni para pemain keturunan yang berdarah benua biru.
Sah-Sah Saja, tapi…
Saya — seperti Anda — yang merindukan kejayaan sepak bola nasional, tentu senang-senang saja menyambut tim yang lebih menjanjikan ketangguhan untuk bersaing.
Sah-sah pula apabila ada warga negara keturunan dan diaspora memilih kewarganegaraan dan mendapatkan paspor Indonesia. Bukankah itu adalah hak asasi mereka?
Pun, realitas kebinekaan Indonesia menyodorkan filosofi kehidupan yang membuka peluang para putra berdarah negeri ini berkiprah unjuk keindonesiaan.
Ketika “tugas negara” sepak bola memanggil, apa salahnya mekanisme naturalisasi menjadi bagian dari jawaban?
Lalu dari satu dan lain hal yang memancarkan energi positif-kontributif, apa yang kemudian menimbulkan sisi negatif?
Pada sisi lain, boleh saja kita bicara soal “kesempatan”, “semangat local pride”, produk kompetisi, atau euforia “cara”.
Menurut saya, timbangan sikap “ngono ya ngono ning aja ngono” patut dijadikan parameter dalam proyek naturalisasi pemain bola. “Naturalisasi ya naturalisasi, tapi…”
Diksi “tapi” berkonotasi agar proyek itu tidak bergerak dengan masivitas tanpa batas, tidak dengan mengabaikan produk kompetisi liga domestik, tidak menafikan talenta-talenta lokal yang punya impian mengenakan jersey tim nasional.
Jalan Pintas
Dengan pilihan naturalisasi pemain itu, apakah coach STY merasa tak punya ide yang lebih natural untuk memacu kualitas timnas Indonesia?
Hanya jalan pintas, itu pasti. Dan, inilah realitas “kesepakatan” menempuh cara antara otoritas sepak bola nasional dengan kewenangan negara.
Apakah Shin sadar talenta-talenta terbaik Liga Indonesia tak cukup representatif untuk bersaing di level internasional, termasuk di region terkecil Asia Tenggara?
Apakah dia punya visi bahwa naturalisasi hanya batu loncatan untuk memacu pengembangan talenta lokal?
Shin memang nyata terbuka menerima talenta-talenta pemain keturunan, bahkan dengan “kepanjangan mata dan telinganya” memburu mereka di sejumlah liga Eropa. Sepintas, inikah langkah pragmatis karena dia kehabisan cara meracik hanya pemain-pemain produk Liga Indonesia?
Selain nama-nama yang telah terlebih dahulu menghias ke timnas, baru saja empat wajah baru hadir, bahkan oleh PSSI sudah termasuk yang dipanggil untuk laga melawan Vietnam, 21 Maret nanti. Mereka adalah Jay Idzes (Venecia FC), Ragnar Oratmangoen (Fortuna Sittard), Nathan Tjoe-A-On (SC Heerenveen), dan Thom Haye (SC Heerenveen). Ketiga nama terakhir tetap dipanggil Shin Tae-yong meski belum resmi menjadi warga negara Indonesia (WNI).
Kewarganegaraan Oratmangoen, Nathan, dan Thom Haye yang berdarah Indonesia-Belanda diproses cepat untuk menjalani sumpah pada 12 Maret. Mereka akan melengkapi “skuad Eropa” Elkan Baggot, Jordi Amat, Justin Hubner, Sandy Walsh, Shayne Pattinama, Ivar Jerner, Rafael Struick, dan Mark Klok. Selain nama-nama yang ternaturalisasi di era pelatih STY, kita juga punya pemain aktif seperti Stefano Lilipally, Ilija Spasojevic, dan Beto Goncalvez.
Jika empat pemain natualisasi terbaru dipanggil dalam laga Pra-Piala Dunia 21 Maret, berarti akan ada lebih dari 10 pemain “Eropa”.
Laga nanti memang strategis. Apabila imbang dan apalagi kalah, peluang Garuda akan punah. Menang menjadi harga mati untuk memperpanjang napas ke fase ketiga kualifikasi di grup yang juga dihuni Irak dan Filipina.
Jawaban Kolaboratif
Tudingan pragmatisme PSSI dan STY tentu bukan tanpa alasan. Ketika jalan pintas menjadi pilihan di tengah kesulitan bersaing — termasuk di Asia Tenggara –, bagaimana kesempatan berkembang bagi pemain produk lokal jika ruang kesempatan di elite timnas menjadi makin terbatas karena didominasi oleh produk naturalisasi?
STY juga dituding lebih mempertahankan pemain-pemain yang kurang bersinar di kompetisi lokal seperti Dimas Drajat dan Dandy Sulistiawan, sementara dia mengabaikan pemain matang yang tampil meyakinkan seperti Stefano Lilipally. Pada sisi lain, bukankah nyatanya pelatih asal Korea Selatan itu memberi kesempatan luas kepada para pemain muda seperti Arkhan Kaka, Rafael Struick, Hokky Caraka, Ramadhan Sananta, Marselino Ferdinan, Yacob Sayuri, Rizky Ridho, Witan Sulaeman, dan Pratama Arhan?
Bagaimanapun, program pembinaan timnas yang bergulir tetap kita percaya sedang mencari muara yang memastikan tentang pilihan jalan, mengkolaborasikan antara nilai-nilai idealisme pembinaan dengan realitas “kebutuhan” pragmatisme.
Kita hargai dan sambut kehadiran Ragnar Oratmangoen dkk, karena bagaimanapun itu adalah hak mereka untuk memilih kewarganegaraan dan memberi sumbangsih lewat sepak bola. Pada sisi lain, PSSI tentu harus menguatkan visi: tertantang untuk memetakan dan mengurai persoalan, bagaimana meng-up grade kompetisi liga ke arah mutu yang mampu melahirkan produk-produk unggulan. Juga menjadi etalase agar talenta-talenta liga memiliki magnet untuk dilirik liga-liga yang berkualitas di atas Liga Indonesia…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —