blank
Ilustrasi. Foto: mohamed hassan/pix

Oleh: Amir Machmud NS

blankLABELISASI politik yang menciptakan pembelahan “ruang sebelah” atau “liyan” (orang/pihak lain), kreatifkah itu sebagai pilihan jalan berkompetisi dalam sebuah kontestasi?

Seolah-olah penciptaan sekat adalah “solusi” dalam berkompetisi, setelah sadar menemui hambatan bersaing dengan cara elegan.

Bukan hanya tidak kreatif, bahkan itulah sikap yang ter-setting untuk mempolarisasi “minna wa minkum”, kalian adalah bagian dari “kelompokku” atau menjadi bagian dari “mereka”.

Ketika dikotomi tajam tercipta dan membentangkan garis, pendewasaan berpolitikkah yang kita dapatkan? Bukankah justru pihak-pihak pengusung pilihan cara tersebut memberi contoh berpolitik secara tidak dewasa?

Sejauh ini, eskalasi menuju kontestasi 2024 menunjukkan, elite politik masih karib menggunakan amunisi polarisasi untuk membelah potensi suara. Praktik labelisasi menyubur, baik melalui media mainstream maupun dalam berbagai platform media sosial. Kekeruhan ruang politik menebar polusi stigmatisasi yang memperkeruh ruang digital kita.

Survei, Opini, dan Sintesis
Hasil-hasil survei tentang elektabilitas calon presiden, pengaruh pilihan capres bagi masa depan suara partai politik pengusung, serta permutasi pasangan dengan calon wakil presiden, merupakan pernak-pernik varian pengapungan opini di media massa dengan segala spekulasi, intrik, dan dinamikanya.

Dari sisi ini, sejatinya memang berlangsung pendidikan demokrasi kepada masyarakat. Nalar kritis yang dikembangkan oleh media, apabila dilakukan secara objektif, akan mengimplementasi fungsi pers sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

Dalam praktik berjurnalistik dan bermedia, opini tak jarang menjadi semacam tesis, yang lalu direspons dengan antitesis, dan kita tidak yakin apakah sintesis yang muncul adalah jalan tengah dari kesenjangan mindset politik. Bukankah bagaimanapun, “seni” politik sebagai gerakan menguasai dan jalan berbagi ala Laswell — “siapa mendapatkan apa dan kapan” — lebih beraksen pada hasil mobilisasi opini dan sumberdaya?

Tentu akan lebih elegan apabila sumberdaya kritis media mau memberikan (sebagian) ruang yang terorientasi pada intensi edukasi, selain memainkan fungsi menginformasi dan menjalankan kontrol sosial.

Ketika media lebih berasyik masyuk dengan memberikan “lahan pertikaian” yang berbingkai dan beragenda, lalu membentuk karakter sebagai representasi ruang bagi kekuatan-kekuatan tertentu, maka sulit mengharapkan media dengan segala sumberdayanya memberi jejak edukasi demokrasi.

Praktik masif buzzer sebagai penopang ofensivitas personal atau kelompok tertentu kini terasa makin permisif mengulik sekat-sekat bangsa. Bukan hanya membelah dan mendikotomi afiliasi politik, bahkan berpotensi mengeksploitasi sensitivitas dasar manusia dalam “naluri purba” suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Maka, bakal larut pulakah media ke dalam fenomena pembelahan itu dengan menceburkan kebijakan redaksionalnya ke dalam penyuburan politik aliran?

Elemen Penyubur
Dalam pikiran waras, sekat “sana” dan “sini” hanya akan melukai hakikat kebangsaan kita, yang “dari sononya” diikat oleh sunnatullah keanggunan berbineka.

Ketika media massa menjadi “pengikut” media sosial hanya dengan pertimbangan viralitas, tren sikap ini akan menyebabkan media sulit beristikamah dalam kebijakan pendidikan demokrasi. Bahkan media akan menjadi elemen penyubur politik aliran, menguatkan pilihan sikap sejumlah orang dan kelompok yang memainkan isu tersebut.

Hanya sikap jernih dalam estetika jurnalistik yang bisa memandu orientasi, apakah media akan terjebak pada pilihan sikap yang menghamba ideologi viralitas, hanya atas nama target google adsense?

Dan, dari arah sikap itu, lalu media “menyerahkan” ruang-ruang sakral edukasi dan kontrol sosialnya kepada kekuatan kepentingan yang “menaklukkan” kebijakan editorial.

Praksis jurnalistik di dunia media kita sudah cukup punya pengalaman, dari Pilpres 2014, Pilgub DKI Jakarta 2017, dan Pilpres 2019. Bukankah itu realitas pahit ketika politik pemberitaan sejumlah media menyerah kepada pasar kekuatan-kekuatan arus utama politik?

Dari referensi itu, pendidikan demokrasi seperti apa yang kemudian kita dapatkan, kecuali hanya jejak luka kemerdekaan pers ”yang terlukai”?

Dan, secara introspektif pantas diakui betapa media ikut berandil dalam politik pembelahan bangsa yang terasa menyakitkan hingga sekarang: “kami”, dan “mereka”, atau yang distigmatisasi dengan istilah-istilah menyakitkan.

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah