Oleh: Laurent
JAKARTA (SUARABARU.ID) – Kita masih berada dalam euforia Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, yang punya makna penting bagi perempuan Indonesia.
Kartini adalah simbol perjuangan, kekuatan perubahan, dan emansipasi perempuan Indonesia.
Emansipasi berarti pembebasan dari perbudakan dan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Emansipasi wanita bertujuan memberi wanita kesempatan bekerja, belajar, dan berkarya seperti halnya para lelaki.
Emansipasi berarti pula mendapatkan penghargaan yang sudah seharusnya diterima perempuan.
Peringatan hari Kartini yang secara besar-besaran dimulai pada 21 April 1947 identik dengan semangat emansipasi.
Perayaan ini dimaknai sebagai semangat pembebasan perempuan dari belenggu domestikasi dan semangat perjuangan akan kesetaraan peran (sosial dan politik) dalam sistem dan institusi sosial.
Sudah cukup lama makna emansipasi ini berada dalam status quo.
Kita banyak mendengar kasus kekerasan terhadap perempuan, rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen, dan kita juga banyak melihat sendiri berbagai dampak situasi ekonomi politik, termasuk kebijakan justru makin menyulitkan akses keterjangkauan kaum perempuan.
Lagi-lagi situasi ini membuat kaum perempuan tak punya daya tawar yang kuat dan menjadi kelompok yang paling rentan akan dampak ketidakadilan.
Tahun ini semua status quo ini menguap sekejap karena disahkannya UU Tindang Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sembilan hari sebelum peringatan momentum hari emansipasi perempuan.
Ada banyak alasan mengapa momen peringatan Hari Kartini kali ini terasa berbeda.
Saya akan merangkum beberapa di antara alasan-alasan itu dalam tiga faktor utama yang juga menjadi refleksi terhadap perjuangan panjang mencapai emansipasi.
Pertama, Faktor Puan Maharani.
Tak dipungkiri bahwa salah satu kemajuan dukungan kebijakan yang melindungi perempuan keberadaan Puan di kursi Ketua DPR-RI.
Gagasan Pembentukan UU TPKS juga dimulai dari keprihatinan Puan karena kasus pemerkosaan yang menewaskan seorang anak perempuan.
UU TPKS hampir satu dekade terombang-ambing tak menentu. Sampai di tangan Puan, tuntutan pengesahan UU TPKS ini mendapatkan jawabannya.
Kedua, faktor komitmen kelompok masyarakat sipil.
Ada lebih dari 100 kelompok masyarakat sipil yang mengawal pengesahan UU ini.
UU TPKS merupakan model kebijakan pembentukan UU yang inklusif dengan kelompok sipil masyarakat.
Ia bagai oase di tengah keringnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ketiga, faktor keadilan.
Salah satu wacana besar yang muncul dengan lahirnya UU TPKS ini adalah aspek keadilan yang hadir kembali dan menjadi angin segar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita sudah terlalu lama melihat ketimpangan dalam relasi sosial masyarakat, selain ketimpangan dalam relasi ekonomi dan politik, ketimpangan lain yang besar jurangnya adalah ketimpangan dalam perspektif gender.
Peran perempuan, tubuh perempuan, pikiran perempuan, dan kehadiran perempuan setidaknya mulai terbuka dalam diskursus di ruang publik.
Tinggal bagaimana membangun kesadaran yang berkelanjutan akan peran perempuan yang lebih setara pada masa yang akan datang.
Selamat merayakan kemeriahan Hari Kartini! Kita tentu tidak akan berhenti berjuang menuju masyarakat yang emansipatoris.
Doddy Ardjono