Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Adol, – membacanya seperti Anda mengucapkan afdol – , bahkan di banyak tempat berubah menjadi dodol(an); memiliki makna berbeda bila kita bandingkan dengan bakul(an) meskipun sangat mungkin ada keterkaitan eratnya.
Letak perbedaannya terutama pada durasi waktu; kalau adol atau dodolan itu boleh dikatakan hanya saat itu atau sesaat saja, dan karena itu bukan sebagai mata pencaharian. Sementara, bakul(an) itu dilakukan secara terus-menerus serta menjadi bagian penting dari matapencaharian seseorang.
Keterkaitan eratnya (bisa saja) terjadi manakala orang yang adol (menjual) itu dilakukan kepada bakul (pedagang); dan kalau hal itu dilakukan berulang-ulang, sangatlah mungkin keterkaitannya terjadi antara pemasok (barang) di satu pihak, dan pematok (harga) di pihak lainnya. Dan itu pasti saling menguntungkan.
Di antara orang adol atau dodol(an) itu, pasti ada yang adol barang lawas (ABL), yakni menjual barang-barang lama seraya menafaatkan waktu-waktu tertentu. Dan bicara tentang barang lawas (lama) kita dapat memilahnya: Ada barang lawas tergolong barang antik, bersejarah, bernilai budaya; namun ada juga barang sing sakjane wis ora kanggo, yaitu barang-barang yang sebetulnya sudah tidak terpakai, tidak berguna lagi, atau bisa saja disebut barang rongsok/rosok.
Barang-barang tergolong antik, bersejarah dan bernilai budaya umumnya diopeni apik-apik, yaitu betul-betul dicari-cari dan setelah ditemukan dirawat cermat; sementara barang rongsok/rosok umumnya didaur ulang dengan berbagai cara. Entah dilebur, entah dipreteli, atau pun diubah wujudnya, dan seterusnya.
Baca Juga: Tiba Mejana: Moderasi
Dalam tatanan relasi sosial, ABL sering terjadi seraya atau bahkan justru memanfaatkan momentum penting. Lihat saja contoh-contoh dalam siklus kehidupan bersama kita, misalnya sekitar bulan September pasti ada ABL entah (menuduh orang) berafiliasi PKI atau bahaya laten komunis; di awal-awal bulan Desember ada saja ABL tentang pelanggaran HAM dilakukan entah oleh si Dadap entah oleh si Waru; juga ABL tentang jangan mengucapkan selamat Natal kalau tidak merayakannya, atau ABL-ABL lainnya lagi di momen-momen lain.
Apa yang dijual itu sebenarnya sudah masuk kategori bukan masalah lagi, namun disodor-sodorkan, didaur-ulang sendiri (karena momentumnya), dengan harapan dapat menjadi barang antik yang dicari-cari orang.
Harapan lebih besarnya, si ABL semacam ini ingin menemukan bakul (pedagang, syukur pedagang besar) yang setiap hari memang “berdagang” barang-barang yang dijualnya itu. Si ABL sesekali saja (setahun sekali?) memasok isu, eh barang, dan kalau bisa bertemu dengan pedagang besar yang diimpikan, jualannya itu akan dipatok harga tinggi oleh si pedagang besar ini. Seperti itu harapannya.
Namun masyarakat kita sudah semakin cerdas serta cermat menengarai para ABL semacam itu. Oleh karena itu, dodolane ora payu, tidak laku.
Selamat Natal 2021.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)