Oleh: Amir Machmud NS
“NETIZEN salah fokus”, inikah tren menyerong jurnalisme yang dominan dalam wajah media online kita, hari-hari ini?
Itukah strategi mengeksploitasi emosi keingintahuan publik, yang sejatinya adalah jurus lazim dalam praktik jurnalistik? “Salfok” mengolah respons netizen terhadap objek tertentu.
Umumnya, tampilan pose-pose seronok selebritas menjadi objek eksploitasi ke-salfok-an. Tak jarang, konten media sosial dimigrasikan ke media mainstream. Komentar-komentar follower dari sejumlah platform media sosial dijumput untuk diolah begitu saja menjadi konten pemberitaan di media arus utama.
Tengoklah tampilan sejumlah artis, selebgram, dan sosialita. Yang boleh dibilang paling populer adalah konten-konten Tante Ernie sang “Pemersatu Bangsa”, Maria Vania, atau Wika Salim.
Background pantai, kolam renang, kamar mandi, gym, atau tempat-tempat yang instagramable akrab berkolaborasi dengan kata bikini, pakaian dalam, body goals, kulit, rambut, mata, bibir, juga tatto.
Pindah Agama
Sifat konten yang berbeda, yakni frasa “pindah agama” juga makin sering kita temui dalam penyajian berita sejumlah media. Tentu dengan nada yang mengeksplorasi sensitivitas primordi itu menjadi konten yang diviralkan.
Seperti halnya latar belakang yang terkait dengan “salfok”, kata “pindah agama” di-blow up sedemikian rupa dengan rentetan sebab, pengaruh, petunjuk, atau ungkapan-ungkapan perasaan kenyamanan.
Bedanya, fenomena “salfok” berpaut dengan eksploitasi ceruk “naluri purba” manusia terhadap “ideologi tubuh”, sedangkan “pindah agama” mengelaborasi sensitivitas keyakinan yang sebenarnya berada di wilayah privat, agar tidak dipertentangkan.
Kesamaannya, kedua “persoalan” itu bisa dilihat dari persepektif irisan dengan etika jurnalistik. Misalnya terkait dengan pornografi, kemudian Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Dan, yang kini menjadi pertanyaan adalah penyediaan kanal-kanal komentar berita, juga pengusungan konten media sosial sebagai produk berita media arus utama.
Dalam praktik jurnalistik, muara dari pemviralan fokus-fokus tersebut sejatinya adalah mengaduk-aduk perasaan pembaca dengan segala dramatikanya.
Semua berperspektif keteraksesan konten yang disajikan. Pemviralan sebuah fakta atau isu publik yang diciptakan oleh kreator konten, bermuara pada raihan google adsense atas nama pendapatan media. Eksploitasi body goals dan frasa “pindah agama” berprospek menjadi passive income subur, yang dalam perkembangannya telah menciptakan sebuah pilihan objek, “genre”, kalau kita tidak ingin menyebut sebagai “penyimpangan”.
Karena erat bersentuhan dengan Kode Etik Jurnalistik, saya menghindari untuk menyebut sebagai produk kreativitas. Ceruk pilihan konten itu lebih bersifat eksploitasi naluri dan yang mengaduk-aduk elemen primordi.
Tren “Perempuan Pemersatu”
Pilihan konten seperti itu terkesan menjadi tren. “Tante pemersatu” yang lain, juga isu-isu “pindah keyakinan” diusung oleh sejumlah media dengan judul-judul yang memicu adrenalin keingintahuan.
Atas nama kebebasan berekspresi, bagaimana menyeimbangkan pilihan konten ini dengan spirit merawat nilai-nilai jurnalistik?
Di sinilah bertarung antara ideologi viralitas dengan nilai-nilai etis jurnalistik. Atas nama kebebasan berekspresi menampilkan kreasi-kreasi seperti itu, dengan menyiasati etika bermedia.
Gaya berjurnalistik dengan judul “provokatif”, teknis penulisan lead yang “loyal” pada aksentuasi pilihan kata kunci, juga stereotipe kalimat godaan ala media sosial, menjadi warna dominan dalam segmen-segmen berita tentang eksploitasi body goals dan fakta orang pindah agama.
Saya merasakan tren ini sebagai “kampanye terbuka” yang menipiskan sensitivitas rasa para praktisi jurnalistik terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pada titik ini, kita bisa merasakan, betapa kreativitas tak jarang termaknai sebagai eksploitasi.
Coba kita simak judul-judul berita yang “intimidatif” ini:
// Gemasnya Tante Ernie Pakai Dress Belahan Dada Rendah, Netizen: Seksi Menghanyutkan// Tante Ernie Makin Seksi Pakai Dress Ketat, Bodi Melengkung Bikin Netizen Gagal Fokus// Lekuk Tubuh Maria Vania Sempurna, Bisa Bikin Dengkul Gemetar// Enam Potret Wika Salim Pamer Body Goals, Perut Rata Jadi Sorotan.
Atau, bagaimana dengan judul-judul bercita rasa “primordi” semacam ini?
// Lima Fakta Sarah Menzel Kekasih Azriel Hermansyah yang Ingin Pindah Agama// Pindah Agama, Kanaya Idol Diajak Kekasih ke Israel// 10 Artis Ini Pindah Agama dari Islam ke Kristen.
Contoh-contoh itu hanya sebagian di antara varian judul berita yang — pertanyaannya –- apakah merupakan pengabaian etika pemberitaan?
Apakah sajian ekspoitasi body goals selebriti merupakan pelanggaran terhadap Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik tentang larangan membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul?
Apakah sajian berita orang pindah agama sesuai dengan ketentuan Pasal 8 bahwa wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan seterusnya?
Penafsiran terhadap tren pemberitaan semacam itu, apabila menghadapkannya dengan Kode Etik Jurnalistik, bisa subjektif. Misalnya, apakah keseronokan foto-foto dan judul seperti dalam contoh di atas berkategori cabul? Apakah judul-judul dan konten berita tentang selebriti pindah agama itu bersentuhan dengan larangan diskriminasi SARA?
Mengukur penilaian dengan standar subjektivitas tentu tidak mudah menghasilkan “kesepakatan” sikap. Yang paling memungkinkan adalah parameter rasa pada “kepatutan”, yakni pantas atau tidak pantaskah kita menyajikan yang semacam itu?
Orang bisa berpikir berbeda-beda. Dari perspektif viralitas, “Jurnalisme Salah Fokus” dan “Jurnalisme Pindah Agama” bisa jadi akan dimaknai sebagai produk eksplorasi ceruk kreativitas.
Dari sisi mereka yang menjaga nilai-nilai jurnalistik, mungkin saja dimaknai sebagai simplifikasi sikap moral Kode Etik. Atau ada yang menganut perspektif moderat sebagai sekadar bagian dari ekspresi budaya pop, sehingga dengan enteng akan mengatakan, “Mengalir sajalah dan nikmati”. Atau “Kalau tidak suka, ya jangan baca…”
Akan tetapi, ketika yang “mengalir dan nikmati sajalah” itu bersentuhan dengan tanggung jawab sosial media sebagai substansi fungsi pers untuk memberi informasi, mengedukasi, memberi hiburan, dan menjalankan kontrol sosial, mungkin kita bisa “menggugat perasaan”, apakah semua cukup dikembalikan menjadi sekadar urusan privat, “seribu tante berpose, kafilah berlalu”, dan begitu pula sikap dalam urusan keyakinan agama?
Lalu, apakah media rela “menyerahkan diri” untuk sekadar menjadi pemandu ke-salfok-an dan pengeksploitasi?
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —