Oleh Tri Hutomo
Pertambangan Tanpa Izin atau dikenal istilah PETI sampai saat ini terus menjadi perhatian publik, tidak terkecuali kegiatan tambang Galian C yang ada di Indonesia khususnya di wilayah Lingkar Muria (Jepara, Kudus, Pati). Karena itu sangat diperlukan upaya bersama dan dukungan seluruh pihak untuk mendorong penanganan isu PETI beserta dampak yang ditimbulkan.
Untuk diketahui bersama PETI adalah kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial. Sehingga kegiatan tanpa izin tersebut dapat memicu kerusakan lingkungan, terjadinya konflik horisontal di dalam masyarakat.
Artinya kegiatan PETI mengabaikan kewajiban-kewajiban, baik terhadap Negara maupun terhadap masyarakat sekitar. Karena tidak berizin, tentu akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab penambang sebagaimana mestinya. Mereka tidak tunduk kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya.
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah (minyak bumi, gas, batu bara, nikel, emas, pasir, batu dan lain-lain yang menjadi pokok pengelolaan industri). Dasar dari pengelolaannya tercantum didalam konstitusi Negara Republik Indonesia (UUD 1945) menjelaskan bahwa seluruh sumber daya alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat dan bangsa. Namun seperti kita ketahui bersama bahwa pertambangan selalu menimbulkan dampak negatif pada lingkungan hidup dan masyarakat setempat seperti adanya kerusakan lingkungan.
Segala sesuatu yang dihasilkan dari kekayaan alam dikelola oleh Negara dalam artian sempit yaitu pemerintah untuk kemaslahatan dan kepentingan rakyat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pertambangan adalah kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan yang meliputi penyelidikan umum, eksploitasi, studi kelayakan, kontruksi penambangan, pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan.
Sehingga Pemerintah memiliki tugas dan fungsi mengatur tentang tata cara kegiatan pengelolaan sumber daya alam (pertambangan) baik tentang regulasi perizinan pertambangan, pengelolaan pertambangan sampai dengan retribusi pajak pertambangan dan reklamasi pasca penambangan. Sehingga atas dasar tersebut, pajak pertambangan Galian C bisa menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi Pendapatan Daerah, dengan catatan apabila mampu dikelola oleh pemerintah daerah dengan baik. Karena realitanya daerah di wilayah lingkar Muria (Jepara, Pati, Kudus) merupakan daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah yaitu sumber daya alam berupa hutan, sawah, pariwisata, laut dan sumber daya alam berupa non-migas dan lain-lain.
Banyaknya kegiatan penambangan yang tidak memiliki perizinan yang dinilai illegal menjadi salah satu masalah bagi Pendapatan Asli Daerah dan kelestarian lingkungan di wilayah lingkar Muria, eksploitasi yang tidak dibatasi oleh pihak pemerintah menjadi salah satu penyebab kerusakan. Sehingga penambang leluasa untuk melakukan aktifitas penambangan ilegal tanpa harus takut dengan adanya pencegahan.
Pemerintah Daerah sendiri seharusnya memiliki kewenangan dalam mengambil kebijakan baik perizinan maupaun pemungutan pajak atas kegiatan eksploitasi sumber daya alam pertambangan galian tanah, batu dan krikil atau pertambangan galian c, sehingga terdapat regulasi yang jelas terhadap perizinan, batas ketentuan waktu, rehabilitasi terhadap bekas pertambangan dan sebagai pendapatan asli daerah melalui pemungutan pajak.
Kasus pertambangan yang terjadi di wilayah lingkar Muria pada umumnya merupakan pertambangan Galian C yang masih illegal atau tidak memiliki perizinan yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi terhadap sumber daya alam berupa batu, tanah secara masif tanpa adanya pengawasan. Karena sifat dari pertambangan selalu merusak lingkungan dan harus diperbaiki. Misalnya kerusakan pada jalan masyarakat akibat dari alat transportasi penambangan ilegal yang keluar masuk setiap harinya, dan penambangan Galian C berdampak pada kerusakan lingkungan yang massif, akan tetapi kegiatan ilegal tersebut dengan leluasa beroprasi, bahkan dengan bebasnya membawa hasil penambangan galian C ilegal tersebut ke luar daerah dengan melewati jalan protokol, sampai malam hari.
Hasil dari beberapa kajian menunjukkan bahwa Ekonomi Politik Lokal bisa berkembang tergantung dari hasil kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, misalnya dalam kebijakan pajak pertambangan dan startegi perizinan yang dirancang serta sinergi pemerintah dan dunia usaha yang di bentuk oleh Pemerintah Daerah. akan tetapi pada prakteknya masih banyak terjadi penambangan yang ilegal dan tidak memiliki izin, dikarenakan kurangnya ketegasan dari Pemerintah Daerah, sehingga penambang ilegal bebas leluasa melakukan kegiatannya untuk mendapatkan untung sebanyak-banyaknya, maka berdampak juga pada para pelaku usaha yang menjalankan usahanya secara legal, taat aturan, serta membayar pajak sesuai aturan dan kewajibannya.
Pendapatan Asli Daerah merupakan indikator dari kemandirian daerah, oleh karena itu daerah juga memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengkoordinasi semua pendapatan daerah dengan menggali dan mengembangkan potensi yang ada agar mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Karena pada pada kenyataannya Pemerintah kurang memberikan ketegasan terhadap pelaku usaha penambangan Ilegal yang mengakibatkan mereka tidak membayar pajak dan lari dari tanggungjawab yang dapat merugikan semua golongan, karena tidak adanya pemasukan pajak yang dibayar, dan tak jarang terjadinya konflik di masyarakat antara yang pro dan kontra, serta kerusakan lingkungan yang di akibatkan oleh penambangan ilegal tersebut.
Memang benar kewenangan pemerintah ditingkat lokal/daerah dalam pengelolaan pertambangan, berdasarkan peraturan perundang-undangan Nomor 23 Tahun 2014, namun yang menjadi permasalahan adalah bahwa pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam hal kegiatan pertambangan tidak dapat menerbitkan perizinan kepada pelaku kegiatan pertambangan, mengakibatkan Pemerintah Kabupaten/Kota harus menunggu kebijakan dari pihak Pemerintah Provinsi. Sehingga menyebabkan banyak kegiatan pertambangan di tingkat Kabupaten/Kota menjadi illegal dan tidak memiliki izin legal.
Akan tetapi retribusi daerah atau pendapatan daerah dapat dihasilkan dari bentuk perizinan, pembayaran barang dan jasa yang diberikan oleh pelaku usaha/badan dimana daerah sebagai penerima hasil dari usaha tersebut. Retribusi dan pajak daerah merupakan unsur utama dalam pendapatan asli daerah. Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak daerah dan retribusi. Kewenangan tersebut semata-mata untuk meningkatkan jumlah pendapatan asli daerah, sehingga pelaksanaan pembangunan dan peningkatan perekonomian daerah dapat berlangsung. Pemerintah daerah juga diberi wewenang untuk membentuk peraturan daerah tentang teknis tata cara pemungutan retribusi dan pajak. Salah satu dari kajian ekonomi politik adalah bagaimana pihak pemerintah mengeluarkan regulasi terhadap kegiatan pelaku usaha yang kemudian berdampak pada pendapatan/keuangan Negara.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah menjelaskan bahwa daerah Kabupaten/Kota memiliki kekuasan hak terhadap pajak yang terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Yang termasuk dalam pajak mineral bukan logam dan batuan adalah asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata,bentonit, dolomit, garam, batu, grafit, granit, pasir dan krikil dan segala sesuatu yang termasuk kedalam bukan logam dan batuan. Pemerintah daerah tingkat II Kabupaten/Kota memiliki kewenangan terhadap distribusi dan pajak dari jenis kegiatan pertambangan yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah menjelaskan bahwa yang termasuk kedalam pendapatan asli daerah adalah Pajak daerah, Retribusi daerah, Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan pendapatan asli daerah yang sah. Berdasarkan peraturan perundang-undangan diatas menunjukkan bahwa salah satu sumber pendapatan daerah yaitu pajak daerah yang terdiri dari beberapa kegiatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan salah satunya adalah kegiatan pertambangan mineral bukan logam dan batuan yang salah satunya adalah pertambangan galian c atau pertambangan bukan logam, pasir dan krikil. Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), sumber-sumber pendapatan asli daerah yang potensial harus digali secara optimal sehinggal akan mendapatkan hasil yang diinginkan.
Pihak pelaku usaha (tambang) secara tidak langsung memang sangat berpengaruh terhadap perekonomian suatu wilayah baik itu Negara mauapaun tingkat lokal/daerah, maka dalam hal ini pemerintah dalam tingkat lokal atau pemerintah dearah memiliki kekuasaan dan wewenang untuk memberikan kemudahan investor dalam melakukan kegiatan produksi barang/jasa dengan memberikan jaminan dan kepastian hukum serta kemudahan dalam proses pelayanan perizinan. Namun bukan berarti pemerintah melakukan pembiaran atas kegiatan usaha ilegal yang berpotensi merugikan negara dan merusak sumber daya alam serta lingkungan. Sehingga patut dipertanyakan ketika ada usaha ilegal akan tetapi dengan masif beroprasi dan berdampak pada kerusakan lingkungan, mereka memberikan konstribusi atau pajak kepada siapa?.
PETI Langgar Undang-Undang
Dari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000. Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160.
Di pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.
Dampak Negatif PETI
Perhatian khusus terhadap praktik penambangan ilegal ini tidak lain disebabkan karena banyaknya dampak negatif dari pengoperasian PETI, di antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dampak sosial kegiatan PETI antara lain menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai RTRW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, menimbulkan kerusakan lingkungan, lahan hijau dan pertanian .
PETI juga berdampak bagi perekonomian negara karena berpotensi menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak. Selain itu, akan memicu kesenjangan ekonomi masyarakat, terganggunya distribusi BBM bersubsidi, dan berpotensi terjadinya kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat.
Dari sisi lingkungan, PETI akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air. Pelaksanaan PETI juga umumnya mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pendapatan asli daerah, kebijakan pemungutan pajak dan distribusi daerah merupakan salah satu kajian bidang kebijakan ekonomi politik, pemerintah melakukan kebijakan fiskla mengenai pajak dan distribusi yang mempengaruhi pendapatan asli daerah yang melibatkan dunia usaha / pertambangan sebagai penyumbang terbesar terhadap keuangan daerah. Produk Domestik Regional merupakan salah unsur yang mempengaruhi pendapatan asli daerah salah satunya adalah kegiatan penambangan Galian C.
Kebijakan seharusnya dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah berupa Peraturan Daerah mengenai pemungutan pajak pertambangan (pertambangan galian c) bertujuan sebagai jaminan hukum dan kepastian dalam memungut pajak daerah dari pelaku usaha pertambangan sehingga menjadi salah satu pendapatan asli daerah. Harus memperhatikan kegiatan eksploitasi dengan batasan-batasan dan tata kelola yang baik sehingga dapat diterima oleh seluruh kelompok kepentingan.
Terjadinya pertambangan yang illegal atau tidak memiliki perizinan menjadi sebuah masalah dalam tata kelola pertambangan. Hubungan antara pengusaha dan penguasa seharusnya menjadi hubungan yang kolektif dalam melakukan kegiatan eksploitasi dengan menjamin kepastian hukum. Dalam pelaksanaan pertambangan galian c terdapat beberapa masalah yang serius mulai dari pencemaran , kerusakan, praktek rente maka dalam hal ini jaminan izin terhadap pertambangan harus dilakukan agar tidak terjadi pertambangan illegal. Sehingga dibeberapa lokasi pertambangan di Wilayah lingkar Muria yang masih illegal dan tidak memiliki surat perizinan pertambangan karena tidak adanya pengawasan terhadap kegiatan eksploitasi yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, sungai, hutan, pertanian dan tidak terdaftarnya dalam pemungutan pajak sehingga berpengaruh terhadap pajak daerah dan pendapatan asli daerah.
Menghadapi PETI, tentu perlunya koordinasi berbagai lintas sektor, baik masyarakat, pemerintah dan Aparat Penegak Hukum, upaya ini perlu dilakukan untuk penataan wilayah pertambangan dan dukungan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan oleh Inspektur Tambang, usulan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai usulan Pemerintah Daerah, hingga sampai dilakukannya upaya penegakan hukum.
Penulis adalah Ketua Ajicakra Indonesia