Oleh : Indria Mustika, M.Pd
Saya saat ini dapat merasakan apa yang dirasakan dan digelishkan oleh seorang Hadi Priyanto. Ia dikenal waktu itu sebagai Kabag Humas Pemda Jepara, penulis buku, penulis artikel dan juga pegiat budaya.
Dalam esai pendek tak lebih 3000 karakter berjudul Ironi Payung Berlubang itu ia menuliskan kecemasannya saat bangsa ini memperingati Hari Kesaktian Pancasila sekitar 7 atau 8 tahun yang lalu. Ia menerbitkan tulisan itu di Majalah Gelora Bumi Kartini.
Hadi menggambarkan Pancasila seperti payung besar yang melindungi orang-orang yang berada dibawahnya dari sengatan teriknya matahari di jalan yang gersang. Juga derasnya air hujan yang datang mengirngi badai. Namun payung itu telah robek. Ironisnya, lubang itu justru muncul karena ditusuk sendiri oleh orang-orang yang harusnya menjaganya agar menjadi tempat nyaman untuk berlindung bersama.
Kerisauan itu pula yang disampikan Kang Doel, nama tokoh dalam tulisan Hadi Priyanto saat bertemu dengan Klepon, sahabatnya. “Payung kita telah berlubang Kang. Dibentangkan tapi tak lagi melindungi kita. Pusaka kita sepertinya tak lagi sakti, karena kita sekalipun tidak pernah merawatnya apalagi menjamasnya sebagaimana pitutur luhur leluhur kita. Sayap burung garuda kita juga semakin lemah Kang” ujar Klepon.
Kang Doel semakin tertunduk lesu. Matanya nanar menatap rumput kering yang berada disudut alun-alun Jepara. Apalagi kemudian Klepon mengungkapkan fakta, banyak pelajar yang tak hafal urutan Pancasila. Mereka sering terbalik-balik mengucapkan Pancasila. Kalau hafal saja tidak, bagaimana mereka bisa menjadikan Pancasila sebagai pegangan hidup dan mengamalkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?” ujar Klepon semakin dalam.
Namun Klepon tak sedikitpun menyalahkan para pelajar yang tak hafal dan bahkan tak mengerti Pancasila. “Coba saja amati Kang, Pancasila semakin jarang kita dengar. Apalagi substansinya. Keberadaan Pancasila seperti payung yang berlubang Kang. “Ironisnya kita sendiri yang menusuknya dengan pisau saat payung itu memayungi kita dari hujan dan badai. Juga dari sengatan terik matahari” ujar Klepon.
Mestinya sebagai pandangan hidup dan ideologi negara serta dasar negara, Pancasila harus menjadi payung besar bangsa ini. Agar proses besar reformasi tetap berjalan pada track yang benar, “reinventing and rebuilding” bangsa Ini.
Tetapi siapa peduli itu Kang? Menyedihkan, Ibu Pertiwi kita begitu kedinginan dan kepanasan. Sementara kita justru menusuk kembali payung besar itu, tidak lagi dengan pisau tetapi dengan pedang. Payung itu semakin tercabik-cabik.
Saya jadi teringat, saat masih duduk di bangku SD, SMP, SMA dan PT. Pancasila demikian sering disebut dan diajarkan. Bahkan ada cerdas cermat P-4 yang rutin ditayangkan di TVRI. Saat masuk ke Perguruan Tinggi, syarat awalnya juga penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dijabarkan menjadi 36 karakter yang harus kami hafalkan, mengerti dan lakukan butir demi butir.
Sebagai seorang guru yang masih mengalami proses pembentukan karakter Pancasila dibangku sekolah dan juga dibangku kuliah, tentu saja saya boleh berharap, atau bahkan mengantungkan mimpi, Pancasila bakal mendapatkan ruang yang cukup dalam Kurikulum – 2021, agar dapat mengembalikan kembali softskill karakter Pancasila yang memang sejak awal reformasi semakin nampak abu-abu.
Pancasila sebaiknya tidak hanya menjadi bagian core dari mata pelajaran tertentu yang memiliki ruang dan waktunya semakin sempit hingga tidak mampu mentransformasikan 3 hal penting dalam menjadikan Pancasila sebagai softskill karakter Pancasila yaitu pembelajaran tentang Pancasila, Pembelajaran berpancasila dan Pembelajaran untuk Pancasila.
Jika kita mau jujur, buah pahit kelalaian itu sebenarnya telah mulai nampak nyata. Bukan saja pada banyaknya anak yang tidak hafal Pancasila, tetapi tidak lagi mengerti nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila.
Atau hanya memahami Pancasila sebatas teks yang bisa saja dihafalkan. Bukan memahami Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, ideologi bangsa dan dasar negara. Juga sebuah cita-cita luhur bangsa yang harus terus dirawat agar tumbuh ngremboko.
Sebenarnya jika kita mau melihat pembelajaran tentang Pancasila dalam pelajaran Civic tahu 1961,PKN 1968, PMP 1975-1984, PKN tahun 1994 dan pendidikan Pancasila dalam mata pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 2013 tentu kita akan melihat seberapa jauh efektifitas kurikulum tersebut dalam membangun karakter Pancasila para peserta didik.
Kecemasan banyak orang akan desain Kurikulum 2021 yang mungkin struktur dan implementasinya kurang memberikan ruang bagi terbangunnya softskill karakter Pancasila cukup beralasan. Sebab dalam PP No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian mengundang kontroversi, bahasa Indonesia dan Pancasila sempat tidak lagi menjadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi.
Padahal dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi secara jelas disebutkan bahwa, mata kuliah wajib adalah Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Disisi lain, ketika usia negeri ini telah mencapai 76 tahun, masih saja ada yang mencoba untuk mempertentangkan dan membenturkan Pancasila dengan dengan nilai – nilai keagamaan. Atau mempertentangkan nasionalisme dengan keyakinan agama. Hingga menghormat bendera merah putih masih dinggap sebagai menyembah berhala dan menyanyikan lagu Indonesia Raya masih saja dipersoalkan.
Kini peluang terbuka lebar. Sebab kurikulum 2021 tengah diproses dibeberapa sekolah yang terpilih menjadi sekolah pusat keunggulan. Tentu belajar dari perjalanan panjang kurikulum di Indonesia, peta jalan pembangunan karakter Pancasila, titik-titik kelemahan itu sudah diketahui.
Ini sangat penting dilakukan. Sebab kita sedang memasuki dengan cepat era industri 5.0. Sementara tantangan era industri 4.0 belum benar kita selesaikan termasuk semakin menguatnya pengaruh platform-platform media digital terhadap pengembangan karakter anak-anak kita.
Sementara literasi media digital belum dilakukan secara masif dan terstruktur. Akibatnya banyak orang tua dan bahkan guru membiarkan anak-anak dan anak didiknya masuk hutan belantara media sosial, tanpa menyadari ada bayak hewan buas yang siap menerkamnya
Semoga melalui Kurikulum 2021 ini dapat menjadi pelipur lara Ibu Pertiwi hingga dapat melupakan kepedihannya. Sebab ada ikhtiar bersama yang sungguh-sungguh untuk menambal payung yang telah terlanjur berlubang diseluruh penampangnya. Meski sudah terkoyak tentu belum terlambat untuk menjadikan kembali Pancasila menjadi pelindung bangsa ini dari hujan badai dan sengatan terik matahari.
Memang tidak mudah untuk melahirkan Profil Pelajar Pancasila. Sebab kurikulum ini harus mampu menghasilkan profile lulusan yang memiliki karakter dan kompetensi untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila. Profile itu adalah pribadi seorang pelajar yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis dan kreatif.
Ibarat orang menanam buah kelapa. Perlu waktu lama dan proses yang tidak mudah untuk dapat menghasilkan buah. Mulai memilih bibit yang baik, menyemai hingga buah itu menjadi tunas kelapa, menanam, merawat hingga kelapa itu bisa tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan menghasilkan buah dan bermanfaat bagi kehidupan.
Begitu juga menanamkan karakter pelajar Pancasila. Tidak cukup hanya dalam waktu satu atau dua tahun. Namun harus berkelanjutan dari awal sejak anak dalam asuhan orang tua, saat ia belajar di semua jenjang pendidikan dan bahkan dilngkungan sosialnya. Semuanya harus membimbing anak-anak dengan nilai-nilai karakter Pancasila, bukan saja pada tataran teoritis tetapi keteladanan dalam tindakan.
Jalan panjang dan terjal nampaknya masih harus kita lalui bersama untuk kembali menaburkan benih-benih cinta tanah air dan bangsa dalam setiap setiap helaan nafas, putra dan putri Indonesia.
Salah satu jalan itu adalah melahirkan Profile Pelajar Pancasila, profile lulusan yang memiliki karakter dan kompetensi yang dijiwai dengan nlai-nilai Pancasila. Agar profile ini bisa dilahirkan, perlu dilakukan secara terencana di setiap jenjang pendidikan.
Juga peran besar dan dominan orang tua, keluarga dan lingkungan sosialnya termasuk media digital yang sering kali justru meracuni anak-anak kita dengan nilai-nilai yang kontra produktf dengan penanaman nilai-nilai Pancasila
Penulis adalah Guru SMKN 2 Jepara dan Ketua MGMP Jurusan Tata Busana SMK Provinsi Jawa Tengah