Oleh: Amir Machmud NS
SEBEGITU sering kita menangkap kemeletupan riak-riak “konflik” dalam komunikasi sehari-hari antarmanusia, baik yang terjadi dalam sifat fisik (langsung), maupun lewat aksi – reaksi unggahan di berbagai platform media sosial.
Dari dua wilayah ruang publik itu, sangat sering kita menemukan “resolusi konflik” yang antiklimaks. Proses dramaturgi aksi – reaksi itu terkadang dimulai dari wujud ofensif, menista, menghina, menghujat, dan menyimpulkan opini tertentu; bahkan tak jarang mengabaikan perasaan manusia (dengan dalih jangan “baper”-an), tetapi kemudian bergulir ke arah –seenteng itu– “meminta maaf”.
Alur perseteruan dengan model seperti itu akhirnya mudah diperkirakan. Sekencang apa pun ofensivitas dan ekspresi gesturalnya, tiba-tiba orang yang sangat ekspresif dan emosional berbla-bla-bla itu merunduk-runduk meminta maaf mengakui kesalahan. Justifikasinya? “Sedang khilaf”, “hanya menuruti kata hati”, dan “merasa terprovokasi” menjadi sederet frasa yang mudah kita gambarkan, lalu akhirnya orang itu mengaku menyesal, dan ujungnya meminta maaf.
Fenomena ini bisa kita deretkan dalam tren praktik banal bermedia sosial: betapa mudah kita mengunggah, alangkah mudah kita menghujat, sangat mudah menyesal, lalu mudah pula meminta maaf.
Meminta maaf sebagai fenomena paling ujung, tentu tidak menjadi persoalan ketika tidak terkait dengan rentetan kecerobohan dalam berkomunikasi. Bukankah meminta maaf memang dianjurkan oleh agama mana pun, dalam relasi sosial apa pun? Dan, dalam kearifan lokal digambarkan bahwa “hukuman terberat bagi seorang yang bersalah adalah mengakui kesalahan, meminta maaf, lalu berkomitmen untuk tidak mengulanginya”.
Yang Tepat dan Tidak Tepat
Sebenarnya, mudah mengunggah informasi atau pernyataan bukan merupakan sebuah masalah, andai itu menyangkut komitmen penyampaian berita-berita yang dipertimbangkan punya nilai manfaat bagi orang banyak.
Yang tidak tepat adalah, apabila klimaks permintaan maaf itu berlangsung sebagai proses rutin. Bukankah banyak terjadi, seseorang demikian “gatal” memosting ujaran yang menghujat lewat media sosial, atau tidak tepat dalam berperilaku dan mengetengahkan gestur ofensif terhadap orang lain?
Dalam kondisi demikian, kerap terkesan berlangsung simplifikasi sikap atas perilaku yang sudah telanjur disampaikan kepada pihak lain. Umumnya setelah sikap itu dipersoalkan, apalagi ketika berkembang masuk ke ranah hukum, dia tergopoh-gopoh menyesali dan buru-buru meminta maaf.
Kisah seorang perempuan penghujat Tri Rismaharini (saat itu Wali Kota Surabaya) beberapa waktu lalu, menjadi contoh nyata betapa ketidakmampuan mengendalikan diri (dan jari-jari) berujung permintaan maaf. Contoh lain, seorang anak muda di sebuah masjid mengintimidasi dengan membentak-bentak seorang bermasker yang hendak shalat, akhirnya juga meminta maaf. Pun, yang terbaru, seorang perempuan marah-marah kepada petugas penyekatan arus mudik di Serang, berakhir dengan mengaku khilaf.
Masih banyak contoh lain, yang semuanya berpangkal dari ketidakmampuan menyeleksi unggahan, mempertimbangkannya, atau mengendalikan gestur dan emosi dalam menyikapi sebuah persoalan.
Dalih khilaf seolah-olah menjadi permakluman akhir yang menggambarkan betapa tipis batas antara emosi memosting dan perilaku minus-kontrol dengan kesadaran potensi luka sosial proses hukum.
Prinsip-Prinsip Komunikasi
Di luar konteks hukum yang terkait dengan Udang-Undang Informasi dan Transaksi Elekronik, saya mencoba mengamati fenomena ini dari sisi prinsip-prinsip adab berkomunikasi. Dalam gambaran konsiderans yang sederhana, sebenarnya mudah memetakan unggahan-unggahan yang berisiko menimbulkan akibat atau reaksi, dengan postingan yang berorientasi membawa maslahat.
Mengukur pertimbangan dari diri sendiri merupakan alat uji sederhana yang mudah dipahami. Bayangkanlah, andai postingan ofensif itu mengarah ke diri kita. Konsiderans ini tentu berbeda apabila kita posisikan dalam perspektif kehendak “panjat sosial” (pansos) atau kondisi ofensif – defensif dalam intensi setting-an membentuk opini atau meraih viralitas media, yang biasa berlangsung di ranah selebriti.
Dalam atmosfer dunia digital, pemanfaatan media sosial secara eksploitatif sekarang ini sangat terasa betapa keruh dan hampa etika. Tren buzzer yang dengan berbagai argumen membela “tuan-tuan” mereka, makin mengaburkan hak-hak publik untuk mendapatkan informasi tepercaya. Kebenaran tak lagi bisa diukur berdasarkan fakta dan logika akal sehat, namun terkonstruksi oleh realita yang dibentuk oleh dominasi penguasaan ruang publik.
Di ruang aktual saat ini, istilah “otak sungsang” atau pikiran dengan logika terbalik-balik, misalnya, dalam polemik antara kalangan pengkritik pemerintah dengan staf khusus, menciptakan kondisi adu kuat opini yang melebar ke mana-mana. Dalam format verifikasi yang kemudian diambil oleh media-media mainstream, respons netizens yang mendapat ruang di media massa juga terasa brutal.
Seperti inikah arah ekspresi kemerdekaan berpendapat, apabila kita sandarkan pada nilai-nilai rasa dan hati?
Kegelisahan ini bukanlah pada soal tren meminta maaf pada banyak insiden ruang digital dan ekspresi etika komunikasi, akan tetapi lebih pada keprihatinan atas simplifikasi persoalan, tanpa membayangkan pihak-pihak yang sebelumnya telah dia lukai. Padahal sejatinya kita bisa berbicara baik, santun, terukur, jelas, manfaat, dan tidak menciptakan kerugian bagi orang lain.
Jadi, postinglah daku kau kutangkap…
– Amir Machmud NS, wartawan senior, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah, penulis buku, dan dosen Ilmu Komunikasi –