Oleh: Amir Machmud NS
// jangan kau bilang hanya sisa-sisa/ yang terbuang lalu tak dibutuhkan/ bukankah mereka menemukan cahaya// menerang di langit Milan // meraja di Seri A/ bakal membahana di Eropa/ pria-pria itu tengah unjuk perkasa/ katakan, mereka masih ada…//
(Sajak “La Beneamata”, 2021)
BISA dipahami, mengapa Antonio Conte begitu emosional saat Internazionale Milan memastikan scudetto Liga Seri A musim 2020-2021 ini. Bahkan pria ekspresif — terkadang hiper-ekspresif — itu, mengaku merasakan kebahagiaan berlipat dibandingkan dengan ketika membawa Juventus berjaya, atau saat mengantar Chelsea meraih trofi Liga Primer.
Anda tahu, Conte hadir ke San Siro untuk meracik para pemain yang sebagian besar berkategori “sisa-sisa laskar Pajang”, kondisi yang tergambarkan sebagai “para pemain yang terbaikan di klub lama mereka”.
(Istilah “Sisa-Sisa Laskar Pajang” ini saya ambil dari judul film 1972 karya sutradara Nas, CM yang diadaptasi dari novel silat SH Mintardja, Tanah Warisan).
Problem pertama, pelatih 51 tahun itu sempat menimbukan resistensi. Wajar, karena dia identik dengan Juventus, baik sebagai pemain maupun pelatih. Juve notabene adalah rival sengit Inter. Conte tak sepenuhnya diterima oleh Interisti.
Problem kedua, dia disodori stok pemain yang kurang kompetitif. Skuad Inter bukan sumberdaya yang dia butuhkan untuk meraih kembali titel yang vakum selama 11 tahun.
Namun dia tak butuh waktu lama untuk menjadi figur yang patut dicintai. Pada musim terakhir sebelum Conte, di bawah pelatih Luciano Spaletti, La Beneamata menempati posisi keempat klasemen. Setelah dia masuk, pada musim 2019-2020 Inter merangsek menjadi runner up liga dan Liga Europa.
”Saya merespons tantangan ini dengan semangat yang besar. Saya pikir kerja keras membayar semua pengorbanan itu,” tutur Conte.
Kerja keras. Ya, kerja keraslah yang menjadi kunci sukses Il Biscone. Sejarah besar? Internazionale punya. Tradisi Eropa? Inter memilikinya. Namun dalam 10 tahun terakhir, Si Hitam-Biru tenggelam di balik dominasi Juventus. Mereka menjadi penantang kuat pada tiap musim, tetapi realitas persaingan dengan AC Milan, Atalanta, dan Napoli menjadi warna yang memanaskan Seri A.
Dan, Conte-lah pendobraknya. Setidak-tidaknya dia mendekatkan masa-masa kelam klub ini dengan impian kejayaan saat meraih treble Liga Seri A, Copa Italia, dan Liga Champions bersama Jose Mourinho pada 2019-2010.
* * *
STEVEN Zhang, sang pemilik Internazionale pasti segera dihadapkan pada bargaining Antonio Conte: cukupkah hanya scudetto?
Setelah dua musim gagal berprestasi di level Eropa, musim depan visi klub tentu mengembalikan kejayaan yang pernah diraih pada era Mourinho. Inter mendominasi Seri A lima msim berurutan pada 2006-2010.
Pada 1964 dan 1965, di bawah arsitek Helenio Herrera, Inter meraih Piala Champions. Pelatih asal Argentina itu mengusung konsep taktik “catenaccio“, permainan bertahan yang ganas bak gerendel, dan belakangan menjadi karakter rata-rata klub Seri A, sebagian dikembangkan dengan metode yang kejam.
Pada musim 2019-2020 dan 2020-2021, Conte meracik “sisa-sisa laskar Pajang”-nya menjadi kekuatan dahsyat. Barisan Romelu Lukaku, Alexis Sanchez, Ashley Young, Matteo Darmian, Christian Eriksen, Arturo Vidal, dan Aleksandar Kolarov yang “terbuang” dari Manchester United, Tottenham Hotspur, Barcelona, dan AS Roma, menjadi adonan produktif dalam visi 3-5-2 Conte.
Mereka berkombinasi dengan nama-nama segar Andrea Ranocchia, Lautaro Martinez, Stefano Sensi, Roberto Gagliardini, Milan Skriniar, Danilo D’Ambrosio, Alessandro Bastoni, dan Marcelo Brozovic, dan Nicolo Barella.
Realitas Lukaku yang menjadi top scorer klub dan pemberi assist rajin sejak musim lalu, Young dengan kekuatan karakter bek sayap-serang, dan para pemain “buangan” yang punya peran khusus, menunjukkan Antonio Conte mampu menuang konsep kepelatihan dan taktiknya menjadi modal juara Inter Milan. Dia paham bagaimana menangani dan mengembalikan performa mereka.
Dan, pastilah perayaan scudetto kali ini dirasakan oleh Interisti di seluruh dunia sebagai pemulihan kebesaran. Dalam beberapa musim setelah fantastika raihan Mourinho, fans Inter boleh dibilang mengalami inferioritas lantaran sentuhan satu pelatih ke pelatih lainnya tidak memberi tanda-tanda kebangkitan.
Padahal, dari data lima tahun terakhir, jumlah fans Inter di seluruh dunia mencapai hampir 50 juta orang dari 75 negara, jauh lebih banyak dari Juventus (20 juta) dan Bayern Muenchen (24 juta), tetapi ada di bawah AC Milan (99 juta) dan Liverpool (71 juta). Sedangkan empat besar fans dikuasai Manchester United (354 juta), Barcelona (270 juta), Real Madrid (174 juta), dan Chelsea (135 juta). Angka-angka ini tentu sudah makin berkembang. Apalagi sekarang Manchester City dan Paris St Germain juga mulai merambah prestasi Eropa.
Conte dan pasukan yang semula diragukan terbukti telah memberi kebahagiaan. Sukses meracik “sisa-sisa laskar Pajang” adalah indikator Conte menjadi figur yang pas untuk karakter dan filosofi Nerazzurri.
Resapilah cahaya di Estadio Giuseppe Meazza. Pada musim-musim depan, “Derby de la Madonnina” bakal makin mengundang gengsi: siapa Milan yang sejati, siapa pula “raja Milan” sesungguhnya…