Oleh : Dr KH Muchotob Hamzah, MM
Khilafah merupakan bagian dari ibadah ghairu mahdhah. Karakternya fleksibel, dinamis dan kondisional.
Khilafah adalah kepemimpinan manusia di bumi sebagai amanah ibadah dari Allah SWT. (QS. 51: 56) yang berfungsi sebagai pengganti (khalifah) peran-Nya untuk menjalankan hukum-hukum-Nya (QS. 2:30).
Hukum Allah SWT yang kita ketahui ada dua macam. Hukum alam (law of nature) atau sunnatullah dan hukum syariat (law of syari’at).
Hukum alam (sunnatullah) misalnya hukum relatifitas, hukum grafitasi, hukum Archimedes dan berjuta-juta hukum lain baik yang sudah terkuak maupun yang belum.
Hukum alam yang berbeda-beda itu ternyata merupakan satu kesatuan (Uniformity of nature) yang saling bergantung, berjalin berkelindan. Hukum alam dapat dikuasai manusia yang dalam bentuk sains dan teknologi dapat memudahkan kehidupan manusia dan juga bangsa jin.
Hukum syariat diberlakukan kepada jin dan manusia sebagai panduan hidup bahagia dunia dan akhirat. Bagaimanapun juga penguasaan hukum alam termasuk hukum kemanusiaan tersebut dihitung sebagai ibadah ghairu mahdhah guna mencari ridha Allah SWT.
Seperti telah disebutkan, para ulama membedakan ibadah menjadi ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah, landasan idealnya dari Allah, landasan strukturalnya dari Allah dan landasan operasionalnya dari Allah pula. Contohnya salat, haji dsb. Orang tidak bisa mengkriet sendiri.
Ibadah ghairu mahdhah dibagi dua juga. Pertama: Ibadah yang landasan idealnya dari Allah, struktural dari Allah dan operasionalnya diserahkan kepada manusia sendiri. Contohnya seperti persoalan khilafah (sistem politik, negara). Khilafah sebagai bentuk amanah ibadah, landasan idealnya pasti harus li Allaahi.
Landasan strukturalnya dalam bentuk prinsip-prinsip ‘adalah, huriyah, musyawarah, sawasiyah dan mas’uliyah dijalankan sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan secara operasional seperti bentuk negara, mekanisme estafet, pembagian kekuasaan (separation of power), periodesasi, sistem baiat, dsb.diserahkan kepada perkembangan pemikiran politik dari manusia sendiri selama tetap berbasis maslahah umat.
Demokrasi Berketuhanan
Kedua: Ibadah yang landasan idealnya li Allahi. Tetapi landasan struktural dan operasional diserahkan kepada manusia. Seperti kasus penyerbukan buah oleh sahabat Nabi Muhammad SAW.
Sehingga muncul hadits: Antum a’lamu bi umuuri dunyaakum (Muslim ). Artinya: Kalian lebih paham tentang (teknologi dan seluk beluk) dunia kalian. Nabi saw. menyerahkan hal itu kepada umatnya.
Kembali soal khilafah, waktu itu Nabi Muhammad SAW tidak menunjuk keturunannya. Berarti ada nasakh dari sistem kerajaan monarchi era nabi Dawud, Nabi Sulaiman AS. dsb.
Selanjutnya, khilafah itu bukan sistem yang baku dan ajeg. Tetapi sistem yang berkembang sesuai perkembangan zaman, meskipun tetap berbasis Qur’an.
Hari ini, kaum muslimin banyak menganut bentuk demokrasi berketuhanan karena ternyata mereka bisa mengintegrasikan antara kebutuhan spiritualitasnya dengan kebutuhan eksistensi dirinya.
Dalam demokrasi tiap warganegara dapat turut berpartisipasi terhadap eksistensi negara secara nyata. Mereka memiliki hak dab kewajiban yang sama (sawasiyah).
Mereka memiliki saluran kritik yang ditampung oleh regulasi hasil kesepakatan. Berbeda dengan sistem lain yang oposisi sekenanya, sehingga sering buntu dan terjadi cheos.
Survei juga menunjukkan ada korelasi positip antara negara demokrasi dengan sebuah perang. Semakin demokrasi sebuah negara, semakin jauh dari perang. Karena pengambilan kebijakan negara dilalui secara berlapis dan mendengarkan suara rakyat, tidak semau penguasanya.
Demikian juga trias politikanya memberi peluang pengawasan berimbang secara sehingga menjauhkan kekuasaan dari sifat arogansi dan dispotis, serta nengurangi tirani minoritas ataupun dominasi mayoritas.
Meskipun pengambilan keputusan didasarkan pada mayoritas, tetapi ada kewajiban bersamà untuk mendengarkan suara minoritas sesuai agama Islam.Wallaahu a’lam bis-Shawaab!
Dr KH Muchotob Hamzah, MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo