blank
Bambang Widjanarko, Ketua Aptrindo Jateng-DIY. Foto: Dok/SB (Ning S)

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Terkait terbitnya Surat Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Direktur Jenderal Bina Marga tentang Pengaturan Lalu Lintas Jalan Serta Penyeberangan selama masa arus mudik dan arus balik angkutan lebaran tahun 2025/1446 Hijiriah tertanggal 6 Maret 2025, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) sebagai wadah para pengusaha angkutan barang di tanah air menyampaikan sikap keberatan.

Bambang Widjanarko, Ketua DPD Aptrindo Jateng & DIY menyampaikan keberatan atas pengaturan pembatasan operasional angkutan barang yang akan diberlakukan mulai hari Senin (24/3/2025) pukul 00.00 WIB hingga Selasa (8/4/2025) pukul 24.00 WIB, baik di Jalan Tol maupun Non Tol (dilarang beroperasi selama 16 hari). “Ini pelarangan truk yang terlalu lama,” tandas Bambang, Selasa (11/3/2025).

“Keputusan pembatasan operasional angkutan barang ini jelas tidak mempertimbangkan masukan kami para pelaku usaha angkutan barang, mengenai dampak lamanya pembatasan operasional angkutan barang,” ujar Bambang.

Menurutnya, bukan hanya berdampak langsung kepada pemilik kendaraan, namun juga pada para pelaku usaha yang terlibat, seperti pengemudi, tenaga buruh bongkar muat, pabrikan, pergudangan, perkapalan dan pihak yang terlibat dalam dunia logistik. “Dampaknya juga luas yakni terhadap pencapaian pertumbuhan ekonomi 8%, karena tersendat pengiriman bahan baku industri akan terganggu ekspor impor pada gilirannya, dan yang terjadi pembatalan kontrak dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan kegagalan masuk devisa kedalam negeri,” katanya.

Bambang menyebut, dengan terbitnya surat keputusan bersama terkait pengaturan lalu lintas jalan serta penyeberangan selama masa arus mudik dan arus balik angkutan lebaran tahun 2025/1446 Hijiriah tersebut mengakibatkan,

Pertama, penumpukan barang di Pelabuhan, karena kapal dari luar negeri terus datang membawa barang, sehingga kemungkinan terjadi kongesti/stagnasi di Pelabuhan, dan juga akan membebani para importir atas biaya penumpukan pelabuhan dan denda demurage container yang dicharges oleh pelayaran asing akan membengkak, dweeling time.

Kedua, kesulitan para eksportir dalam melaksanakan ekspor terhadap barang-barangnya dan dikirimkan, sehingga tidak dapat memenuhi perjanjian dagang.

Ketiga, pengemudi tidak mempunyai penghasilan selama larangan itu dilakukan, sehingga menimbulkan keresahan pada pengemudi.

Keempat, kapal-kapal yang datang dari luar negeri akan pulang dengan kosong tanpa muatan.

Kelima, akibat larangan tersebut akan memperburuk citra Indonesia di mata dunia, terutama di perdagangan internasional, sehingga investor akan beralih ke negara yang lebih mudah proses export importnya.

Keenam, peraturan yang dibuat sangat berdekatan dengan implementasi, maka banyak pihak yang tidak siap, sehingga dapat menimbulkan kepanikan serta melonjaknya biaya produksi karena potensi stop produksi, batal export dan keterlambatan pengiriman akibat penumpukan kegiatan setelah masa larangan.

“Pemerintahan Presiden Prabowo Soebianto seharusnya lebih peka dengan kondisi perekonomian dan industri ditanah air saat ini, dimana banyak sekali terjadi perusahaan gulung tikar dan pemutusan hubungan kerja. Kondisi yang terjadi bukan hanya dikarenakan efek kalah bersaing atau berkompetisi dengan negara lain, tetapi juga disebabkan oleh pembuatan regulasi-regulasi yang tidak mendukung iklim usaha untuk tumbuh dan berkembang,” terangnya.