blank
Ilustrasi. Sumber ; Instagram @Bangsamahardika

blankOleh Catur Pramudito

INDONESIA gelap menyeruak, menyelimuti bumi pertiwi dengan kumpulan awan hitam yang merengsek ke ruang-ruang publik. Awan-awan hitam itu tampak tak kuasa menahan muatan air yang membendung di langit-langit pertiwi.

Dan ketika hempasan angin lembah menerjang angkasa, hujan pun turun melebat. Menciptakan diorama anak manusia yang terjangkit jiwa patriot, mengepalkan tangan dan bersumpah atas nama manifesto.

Ungkapan itu tentu klise, juga hashtag #IndonesiaGelap yang hari-hari ini kita dengar di muka publik. Agaknya idiom tersebut terlampau melodramatis. Namun rasa-rasanya di tengah keruhnya realitas politik hari ini, suara-suara yang menggaung tanpa tendesi politis bisa menjadi rintik air yang membasuh keringnya padang moral yang gersang. Ya, padang moral para pemegang otoritas yang makin hari makin tampak semacam fatamorgana.

Tersiar berita demonstrasi mahasiswa yang bertajuk #IndonesiaGelap telah menjangkiti BEM Universitas di banyak sebaran daerah, seperti Jakarta, Bandung, Lampung, Surabaya, Malang, Samarinda, Banjarmasin, Aceh, Semarang dan Bali. Ketika isu itu mencuat, barang tentu saya membaca dengan seksama sejumlah tuntutan mahasiswa merespon 100 hari kinerja pemerintahan Prabowo.

Sebetulnya tuntutan tersebut bukanlah sekadar ekspresi kemarahan belaka, namun telah melalui proses kajian kritis yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa melalui Departemen Kajian dan Riset Strategis, sebuah departemen yang dibentuk sebagai upaya mengawal isu-isu strategis nasional.

Adanya departemen tersebut juga meneguhkan peran mahasiswa sebagai entitas tawar yang memiliki keberanian berhadapan dengan kekuasaan. Sehingga pernyataan sikap yang muncul ke permukaan bukanlah buah latah intelektual semata, namun justru produk intelektual yang kritis dan progresif.

Sementara Pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi membenarkan sejumlah persoalan yang dinilai “kurang jeli” dalam menyampaikan aspirasi, terutama soal efisiensi anggaran yang berdampak pada sekor pendidikan.

“Bahwa tidak betul, tidak ada efisiensi yang berdampak pada pendidikan. Baik KIP (kartu Indonesia Pintar), IPI (Institut Pendidikan Indonesia), LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) tetap jalan,” ujar Prasetyo dikutip dari kompas.id

Terlepas dari isu Indonesia Gelap beserta interpretasi di dalamnya, ada satu hal yang menarik sebetulnya, yakni komentar atau sikap dari para pejabat pemerintahan terkait gerakan ini.

Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir mengatakan bahwa demonstrasi merupakan bentuk kreativitas dan ciri khas mahasiswa, hal ini sah serta dilindungi konstitusi.

“Itukan cara-cara demokrasi yang baik, menyalurkan aspirasi melalui demo. Memang ciri khas mahasiswa. Sah-sah saja menyampaikan aspirasi sesuai kreativitas masing-masing,” ujar Adies kepada awak media di gedung DPR RI, Selasa (18/2/2025)

Sementara di hari yang sama, Ketua MPR Ahmad Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan mengatakan bahwa adanya Indonesia Gelap adalah reaksi kekagetan publik atas perubahan internal birokrasi.

“Yang dilakukan pak Prabowo baru tahap awal sehingga menimbulkan kekagetan, dan seringkali reaksinya kontraproduktif, tetapi sebagai sebuah reaksi. Boleh saja.” Ujar Muzani

Lain lagi tanggapan ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Panjaitan. “Kalau ada yang bilang Indonesia Gelap. Yang gelap itu kau bukan Indonesia. Janganlah  mengklaim sana sini,” ungkapnya dalam acara The Economic Insight di Jakarta, Rabu (19/2/2025)

Di tengah situasi birokrasi yang koruptif, pembentukan kementerian lembaga yang berbau politis, kekacauan komunikasi antar lembaga kementerian terkait isu efisiensi anggaran, plin-plannya kebijakan gas elpiji, polemik reforma agraria, belum lagi pernyataan “Ndhasmu” Presiden Prabowo soal kritik terhadap kabinet gemuk.

Tentu melihat bagaimana pejabat pemerintahan berkomentar di atas, tak pelak merupakan sikap skeptis sekaligus arogansi kekuasaan belaka. Mengesampingkan pokok soal serta peran mahasiswa sebagai fungsi kontrol kekuasaan. Geliat itu menunjukan gerak-gerik kekuasaan yang menampakan resistensi terhadap tuas-tuas kritik, terutama oleh mahasiswa sebagai representasi dunia akademisi yang membawa kritik bersih terhadap jalannya birokrasi.

Padahal apabila diamati secara jeli, beberapa poin tuntutan mahasiswa menyoal kebijakan-kebijakan krusial,

  1. Polemik UU Minerba yang menurut Walhi, melanggengkan perusakan lingkungan, perampasan lahan serta membuka celah bagi penyimpangan tata kelola pertambangan atas revisi subjek pembagian konsesi.
  2. 216 kasus pelanggaran HAM dalam mega Proyek Strategis Nasional (PSN) yang disoroti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berkaitan dengan aksi militerisasi upaya pembebasan lahan.
  3. UU Perlindungan masyarakat adat yang tergusur akibat deforestasi dan aktivitas pertambangan.
  4. Tuntutan kepada Pemerintah mengeluarkan PP penggnti UU Perampasan Aset.
  5. Tuntutan akan reformasi Polri secara menyeluruh, menakar bagaimana turunnya citra dan kepercayaan publik terhadap integritas kepolisian yang kerap dianggap kolusi dan tebang pilih dalam penegakan hukum.

Kendati isu-isu yang dilontarkan kepada DPR dan Istana merupakan buah kebijakan yang mengundang kontroversi serta sarat kepentingan politis. Namun bagi para pejabat pemerintahan, setiap pergerakan yang digaungkan oleh mahasiswa tak ubahnya suara subang bocah-bocah ingusan. Mahasiswa seolah dirundung oleh mental kekanak-kanakkan yang perlu dibelai agar tak kelewatan beruforia mengecap darah muda yang berkobar api perlawanan.

Para pejabat memandang sebuah demonstrasi bukan sebagai satu sinyal bahwa “Ada yang salah dari kita”, tapi mereka melihatnya sebagai tradisi mahasiswa dari masa ke masa sebagai bentuk eksistensi diri.

Luapan sukacita demokrasi yang sejati. Bahwa mahasiswa merupakan simbol perjuangan, Agent of change, maka darah itu haruslah abadi dibakar di jalan-jalan sebagai sebuah perayaan menantang kekuasaan.

Sebetulnya apabila kita menilik lebih jauh ke belakang, yakni semenjak berlakunya UU Cipta Kerja hingga lolosnya Gibran sebagai kandidat Wakil Presiden – Menerobos palang merah Mahkamah Konstitusi melalui tangan dingin Anwar Usman.

Mahasiswa hari ini adalah sebuah ekstase kejenuhan hidup sebagai manusia Indonesia. Mereka berupaya mengirimkan sinyal ke langit-langit pertiwi agar mata kekuasaan terbelalak dengan realitas rakyat Indonesia seutuhnya.

Mereka (mahasiswa) betul-betul tak dibekali kepandaian politis apa pun kecuali kemampuan sebagai cerminan tunggal rakyat. Cerminan itu memuat sisi moralitas rakyat yang sepenuhnya terwakilkan : Lugu, bersih dan berani.

Suatu kesaksian atas rusaknya moral dan integritas bangsa melalui massa yang membanjiri jalan-jalan, melempari orkestrasi politik dengan tahi sapi, bertindak anarkis dan merusak fasilitas publik. Tak lain tak bukan merupakan representasi dari hati nurani rakyat yang terhimpit dan buntu, tiada lagi curahan dan pelampiasan yang pantas selain mendobrak kekalahan demi kekalahan dengan kekerasan.

Maka memandang itu semua, sebagai simbol pemimpin bangsa, para pemangku negara seharusnya dapat berlaku sebagaimana Kesatria, mengakui bahwa sejak awal jalan tak terhormat telah ditempuh oleh pemimpin negeri mendapuk kekuasaan tertinggi. Dan dalam berjalannya kekuasaan itu, ia diwarnai keculasan demi keculasan yang serupa.

Selain itu pemimpin juga harus berlaku sebagaimana Brahma, dimana ia memiliki ke-sasmita-an untuk dapat menangkap, meresapi dan merenungi suasana kebatinan bangsa hari ini : Tersisih, mengendap dan tersembunyi di bawah gelagat zaman yang makin tak berpihak. Makin menjauhi bayangan peradabannya sendiri.
Catur Pramudito, Mahasiswa FISKOM, UKSW Salatiga