Cuma jenis imbalan tersebut berbentuk apa dan bagaimana, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Di lingkungan orang-orang yang mengolah batin, imbalan hampir selalu diidentikkan dengan daya-linuwih. Padahal, tidaklah demikian. Sebab daya linuwih itu sendiri hanyalah sebagian dari bentuk imbalan.
Kesalahkaprahan ini sebagaimana orang yang menuntut suatu amalan wirid untuk suatu hajat seperti kekebalan kulit misalnya. Padahal wujud dari kekebalan itu hanya sebagian dari bentuk keselamatan dari Allah yang diperlihatkan kepada manusia yang dikehendaki-Nya.
Tetapi kalangan ahli hikmah mengkatagorikan, daya linuwih ada dua bagian, yaitu daya linuwih sebagai upah, dan daya linuwih sebagai karunia (bonus). Yang dimaksud dengan daya linuwih sebagai upah adalah daya yang didapatkan dari hasil riyadhah (olah batin) sedangkan daya linuwih karunia (bonus) adalah daya yang diberikan Allah sebagai imbalan kuatnya beribadah atau ketakwaannya.
Dan untuk yang terakhir itu hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapai taraf ikhlas, yaitu mereka yang beribadah, zikir ataupun wirid bertujuan lbadah secara ikhlas kepada Allah. Dari keikhlasan itu Allah memberikan bonus.
Dalam hadis Thabrani: “Hamba-Ku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadahi-ibadah sunnah, sehingga Aku cinta kepadanya, maka Akulah pendengaran-Nya yang dengannya Ia mendengar, penglihatannya, yang dengan-Nya dia melihat, lidah-Nya yang dengannya dia berpikir, maka apabila Ia berdoa Aku terima, bila Ia meminta Aku beri dan bila Ia minta tolong Aku tolong. Dan ibadah yang sangat Aku senangi dilakukan hamba-Ku, dialah yang ikhlas untuk-Ku.”
Tentang keajaiban, keistimewaan, bukan monopoli mereka yang mengolah rohaninya saja, walau kita akui, mereka memiliki kemungkinan memperoleh hal itu. Pemuda Meir salah satu contohnya, hanya dengan kebajikan perilakunya, dia mendapat pertoongan. Dapat disimpulkan, keajaiban itu penyebabnya beragam. Bisa karena upah (tirakat), bisa juga karena karunia atas imbalan amal saleh, dan bisa juga faktor keterdesakan. (Habis)