JC Tukiman Tarunasayoga
MARI Sekarang kita membahas burung gagak, Carvus macrorhynsus, burung serba warna hitam sebesar elang, dengan suara kaokkkk…… kaokkkk…….. Tidak ada, di mana pun, burung gagak berwarna selain hitam.
Maka ada peribahasa “Selama gagak hitam, selama air hilir,” bermakna selama-lamanya gagak pasti berwarna hitam, air selalu menuju ke hilir. Kalau tidak seperti itu, peribahasa lainnya mengatakan: “Ketika gagak putih, bangau hitam,” menyatakan sesuatu hal yang mustahil, atau mungkin itu terjadi duluuuuuuuuu banget.
Saat sekarang ini, saya menduga, bahkan “menuduh” betapa terlalu sedikitnya warga masyarakat yang menyadari menurunnya populasi gagak. Sangat sulit saat ini mendengar barisan gagak terbang sambal bersahut-sahutan kaokkkk……kaokkkk……kaokkkkkk.
Padahal di belahan dunia nun di India atau Turki sana; wahhhh gagak ada di mana-mana. Pertanyaannya, mengapa populasi gagak di negeri kita sangat-sangat menurun drastis padahal burung ini tidak dikonsumsi oleh manusia seperti halnya belibis, bangau, ataupun merpati?
Gagak lincak
Gagak lincak (pernah saya tulis di platform ini), adalah sebuah paribasan, peribahasa, yang melukiskan kehidupan orang sing tansah ngolah-ngalih panggonan. Pasti adaaaaa saja orang di negeri mana pun yang tidak mampu bertahan lama bertempat tinggal di suatu daerah.
Baca juga Kancilen
Dua tahun di sini, berikutnya tahu-tahu sudah pindah ke tempat lain. Orang semacam itu disebutlah gagak lincak. Hal ini, berlaku juga bagi orang-orang yang ngolah-ngalih partainya. Lihatlah fenomena gagak lincak di partai-partai menjelang pemilu dan Pilkada kemarin. Setahun di partai ini, pindah ke partai lain; bahkan ada yang partainya banyak karena partai A mendaku seseorang itu kadernya, demikian juga partai B mendakunya. Saking banyaknya partai-partai mendaku, jadilah warna partai itiu berubah.
Gagak lincak kiranya juga dapat memberi gambaran generasi tertentu, sebutlah Z, yang begitu lincahnya pindah dari satu profesi ke profesi lain hanya dengan alasan “gak asyik.” Banyak anak muda yang selalu berkata: “Wahhhh gak asyikkkk kerja di situ, pindah sajalah.”
Persis seperti gagak. Dia pindah/terbang dari satu tempat ke tempat lain, hanya karena tidak bisa tinggal diam dalam tempo yang singkat sekali pun.
ngGAGAK-i
Hati-hati membaca nggagaki ini, jangan keseleo menjadi nggagahi. Adohhhhhhhh banget bedane, juga konotasinya. Ada dua makna nggagaki, kaya gagak; yaitu pertama, jupuk utawa nyolong lan mangan sajen; dan kedua, ndhudhuk bangke sing wis dipendhem.
Baca juga Semuten
Makna pertama, jupuk utawa nyolong sajen banjur dipangan ini bermakna ritual di satu sisi, namun sering diganggu gagak di sisi lainnya. Sajen, sesaji, lihat betapa model sesaji ini sampai saat ini masih dilaksanakan dengan setia oleh orang-orang Bali; adalah sebuah ritual harian untuk mempersembahkan sesuatu kepada Sang Khalik.
Wujudnya sesaji itu dapat berupa makanan atau benda/barang seperti bunga, buah, dan lain-lain. Sesaji biasanya diletakkan di suatu tempat, entah di bawah pohon besar, di dekat perempatan jalan, mungkin juga di pintu masuk kuburan, dan lainnya.
Maksud hati, begitu sesaji itu diletakkan di sana seraya doa khusuk, tidak ada seorang pun mengganggunya, mengambilnya atau pun merusaknya. Ehhhhhhh, dasar gagak, terbang sana terbang sini, ambillah dia, nyolong, lalu memakannya.
Makna kedua lebih ngeri lagi karena bukan sekedar nyolong; tetapi membongkar kuburan, ndhudhuk bangke sing wis dipendhem. Apa tujuannya? Untuk gagak ya bangkai itu mau dimakan bila berhasil menggalinya. Rakus kan, bahkan njijiki? Kalau untuk manusia, apa maksudnya? Nahhhhhh…… ini dia.
Di zaman dulu, katanya, ada saja orang yang malam-malam menggali kuburan yang sudah berisi mayat dengan maksud mengambil barang yang diikutkan dikubur, misalnya barang berharga seperti emas. Ada juga yang mengambil tali pocongnya, konon katanya barang itu bertuah bagi pemegangnya. Benarkah? Embuh, takona sing nglakoni.
Tetapi untuk zaman now, nggagaki dalam arti membongkar kuburan ini menggambarkan kondisi pasca-Pilkada serentak lalu namun eksesnya masih sampai sekarang. Contoh konkretnya, pasti ada saja pihak (bisa perseorangan, bisa kelompok, bahkan bisa juga partai) yang mempersoalkan hal-hal lama yang sebenarnya sudah masa lalu, sudah terkubur dalam-dalam. Rasa kecewa sangat memungkinan ada saja sikap semacam itu muncul, ndhudhah kuburan. Nger ikan, bahkan perangai politik semacam itu bisa juga njijiki.
Seorang Bernama Christopher pernah menulis sejenaka ini: “Suatu saat sejumlah setan berdemo di pintu gerbang surga. Semakin siang, jumlah setan pendemo semakin banyak. Mereka berteriak-teriak: Tidak adil, tidak adil. Tuhan tidak adil. Tuhan tidak adil.
Semula demo itu tidak ada yang menanggapi, dibiarkan saja. Ngapain setan diurus. Tetapi lama kelamaan kok mengganggu ketertiban surga; maka dua malaikat berinisiaitf menemui setan-setan pendemo itu;
Malaekat: Apa maksudmu, setannnnn?
Setan: Tuhan tidak adil. Banyak orang berbuat banyak kesalahan, tetapi mereka diampuni lalu boleh masuk surga. Kami para setan ini, berbuat dosa satu kali saja selalu ditolak masuk surga. Sungguh tidak adil, Tuhan pilih kasih
Malaikat: Ohhhhhh itu maksudmu. Begini setan; orang-orang itu boleh masuk surga karena mereka bertobat dan lalu diampuni. Pernahkah Anda, para setan bertobat?? Satu demi satu setan itu pergi meninggalkan pintu gerbang surga, dan melihat itu, malaikat bergumam: Dasar setan, mana mau mereka bertobat.
Mereka yang di zaman now suka nggagaki, sebaiknya bertobatlah. (Anda bukan setan lho)
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University