JEPARA (SUARABARU.ID) – Dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang dimulai 25 November hingga 10 Desember 2024 sejumlah aktivis menggelar aksi Kamisan di Jepara, Kamis (5/12-2024). Aksi yang berlangsung di depan Pendopo Kabupaten Jepara ini menyerukan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Bumi Kartini.
Kampanye ini mengangkat tema “Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan” sebagai respons atas situasi darurat kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Kampanye tersebut diharapkan dapat mendorong tersedianya layanan dukungan untuk pemenuhan hak perempuan korban kekerasan, seperti rumah aman, pendampingan hukum, dan pendampingan psikologis.
“Kami mendorong agar pemerintah lebih berfokus terhadap pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Tidak hanya menjadi orasi semata, tapi teralisasi dalam program perlindungan terhadap perempuan,” kata Koordinator Aksi, Saffinatun Nikmah yang juga dari Kolektif Jaladara.
Ia mengungkapkan, data dari DP3AP2KB Kabupaten Jepara hingga Mei 2024, sudah ada 2 kasus kekerasan yang diadukan ke DP3AP2KB. Sementara di tahun 2023, ada 15 kasus kekerasan yang ditangani DP3AP2KB. Di 2022, data DP3AP2KB mencatat 13 kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Data tersebut mungkin tidak bisa menjadi acuan atau gambaran bagaimana terjadinya kekerasan di Jepara. Tentunya, masih banyak kekerasan yang dialami perempuan yang tidak terdata dan akan menjadi gunung es. Lantas, apakah kita hanya akan berdiam saja?” kata dia.
Selain itu, kami mendorong anggaran yang ramah gender untuk perempuan korban kekerasan sehingga dapat perlindungan dan pemulihan secara menyeluruh baik secara psikologis, hukum, dan ekonomi.
Ia juga menyerukan perlunya mewujudkan perlindungan pada perempuan dan anak di lingkungan keluarga, kerja, pendidikan dan lingkungan publik.
“Kita juga harus menekan pernikahan usia anak yang saat ini masih sering terjadi. Data DP3AP2KB mencatat, hingga Mei 2024, ada 191 anak yang mengajukan dispensasi nikah. Di tahun 2023 malah lebih tinggi yakni sampai 382 permohonan. Padahal, anak belum waktunya menikah dan perlunya pendidikan bagi mereka.,”ujar Saffinatun Nikmah
“Di beberapa sekolah dan institusi perguruan tinggi juga muncul kasus kekerasan seperti perundungan, kekerasan berbasis gender online (KBGO), dan kasus kekerasan lainnya. Ini menjadi konsen kami untuk berupaya secara bersama menekan hal tersebut salah satunya melalui kampanye 16 HAKTP,” kata Fina.
Kami juga melihat Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berpihak kepada perempuan yakni RUU Perlindungan Pekerja Rumahtangga (PPRT). Dengan tegas kami mendesak agar legislatif membahas dan mengesahkan RUU PPRT yang mengatur antara PRT dan pemberi kerja. Karena saat ini masih belum ada payung hukum yang jelas untuk menanungi para PRT.
Hadepe