DALAM beberapa dekade terakhir, tempat ziarah umat Katolik, khususnya Gua Maria, tumbuh subur di berbagai daerah Indonesia. Fenomena ini saya sebut sebagai “inflasi Gua Maria,” istilah yang menggambarkan peningkatan jumlah tempat ziarah tetapi dengan risiko memudarnya makna sakralitasnya.
Menurut data dari berbagai sumber, terdapat lebih dari 25 Gua Maria yang tersebar di Jawa Tengah dan DIY. Beberapa di antaranya seperti Gua Maria Sendangsono di Kulonprogo, Yogyakarta dan Guma Maria Kerep Ambarawa di Kabupaten Semarang, Jateng telah lama menjadi pusat devosi—bentuk pengabdian atau ibadah yang mendalam kepada Tuhan atau figur suci untuk memperkuat iman—umat Katolik.
Sementara itu, tempat-tempat baru seperti Rosa Mystica di Tuntang mencoba menawarkan pengalaman yang berbeda. Namun, di tengah kemudahan akses, muncul pertanyaan penting: apakah pengalaman ziarah masih menyentuh batin ataukah hanya menjadi rutinitas biasa yang disebut sebagai wisata religi?
Untuk memahami fenomena ini lebih dekat, saya melakukan perjalanan ke dua Gua Maria di Jawa Tengah yang terletak di sekitar kota Salatiga: Gua Maria Rosa Mystica di Tuntang dan Gua Maria Kerep Ambarawa. Kedua tempat ini tidak hanya menawarkan pengalaman yang sangat berbeda, tetapi juga menggambarkan sisi kontras dari inflasi Gua Maria.
Kesunyian di Gua Maria Rosa Mystica
Gua Maria Rosa Mystica, diresmikan pada 27 Agustus 2011 oleh Mgr. Johannes Pujasumarta, terletak di desa yang tenang, sekitar 12 kilometer dari Ambarawa. Saat tiba, saya langsung disambut suasana sunyi yang mendalam.
Tidak ada pedagang, tidak ada pengunjung yang ramai. Patung Bunda Maria berdiri megah di atas tebing, memperlihatkan pemandangan kota Salatiga di kejauhan.
Saat sedang berdoa, saya bertemu seorang ibu. Ia berasal dari Jakarta dan ingin menemui keluarganya di Salatiga. “Tempat ini memberi saya kedamaian yang tidak saya temukan di tempat lain,” katan ibu ini.