Pembangunan negara ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia dimanapun dia tinggal, tak terkecuali. Sehingga dimanapun rakyat berada berhak menikmati dan mendapat sentuhan kebijakan dan hasil pembangunan oleh siapapun yang memimpin wilayah tersebut. Sehingga bagi penduduk yang pindah domisili berhak atas hidupnya dan lebih bergantung pada hasil pembangunan dimana dia tinggal. Makan dari beras yang harus tersedia di mana dia tinggal. Menikmati jalan dimana dia tinggal. Demikian juga dengan fasilitas pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Sehingga sudah sepantasnya berhak menentukan pemimpin dimana yang bersangkutan tinggal.
Maka dengan mengalihkan syarat penentuan seseorang memilih dimana saat pilkada dari syarat administrasi ke syarat domisili atau tinggal akan meminimalisir hilangnya hak pilih seseorang sekaligus meningkatkan partisipasi pemilih. Juga akan meningkatkan poin legalitas pemimpin terpilih, dan harapannya terperhatikan keberadaannya oleh pemimpin terpilih yang tidak mendikotomi berKTP setempat atau tidak.
Pengakuan akan keberadaan seseorang karena domisili juga bisa menjadi dasar kebijakan pemerintah daerah yang lebih tepat. Seluruh indikator pembangunan yang berbasis penduduk yang telah dan akan dicapai oleh pemimpin selama masa baktinya semuanya menggunakan jumlah penduduk yang tinggal atau berdomisili. Bukan jumlah penduduk wilayah berdasar KTP. Berapa dan fasilitas atau barang apa saja yang harus tersedia berdasar data jumlah penduduk yang tinggal. Tidak akan tepat ketika fasilitas atau barang justru disediakan untuk penduduk yang tinggal berdomisili di wilayah lain.
Dengan begitu hak pilih seseorang tidak akan hilang oleh alasan terbitnya putusan Nomor 137/PUU-XXII/2024 yaitu moda pemilihan yang belum memungkinkan dan pertanggungjawaban pemimpin terpilih terhadap wilayah pemilihan. Dan pastinya partisipasi pemilih akan lebih tinggi.
Tri Karjono, ASN Ahli Madya Povinsi Jawa Tengah