blank
Ilustrasi peningkatan partisipasi pemilih Pilkada Jawa Tengah. Foto: Dok/Pemprov Jateng

Sisi lain

Konsekuensi hasil keputusan MK yang didukung oleh pertimbangan kondisi riil perpindahan domisili diatas, tentu secara signifikan memberi peluang terjadi hilangnya hak pilih seseorang dalam pilkada. Tidak bisa kita nafikan bahwa tentu masih ada sebagain masyarakat yang merasa bahwa satu suaranya belum tentu ngefek. Tidak yakin mampu menentukan pemenang serta merubah atau mempengaruhi terhadap perbaikan tidaknya wilayah lima tahun kedepan.

Apalagi bagi penduduk yang pindah domisili tersebut untuk memberikan haknya yang hanya 5 menit harus mengorbankan waktu, tenaga, biaya yang tidak sedikit hingga melepas kemungkinan pendapatan yang seharusnya diperoleh dari pekerjaannya.
Disisi lain data menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih pilkada masih sangat rendah dibanding dengan jumlah pemilih yang terdaftar.

Sebagai contoh pada pilkada gubernur di Jawa Tengah di tiga pilgub terakhir. Pilgub tahun 2008 partisipasi pemilih hanya sebesar 58,46 persen. Pilgub selanjutnya yaitu tahun 2013 justru sedikit menurun dan hanya mencapai 57,75 persen. Sedangkan pilgub terakhir sebelum berlangsungnya pilgub minggu depan yaitu tahun 2008 terjadi kenaikan 10,14 persen.

Dari ketiga pilgub tersebut jika kita meminjam istilah kuorum atau keterpenuhan peserta pada setiap kali kita atau lembaga melakukan rapat atau musyawarah atau voting dalam pengambilan keputusan yang harus dihadiri minimal tiga perempat dari jumlah anggota, maka persentase partisipasi tersebut jelas tidak kuorum. Artinya tidak memenuhi syarat formal untuk dilakukan pengambilan keputusan. Artinya pula lebih ekstrim dapat dikatakan keputusan yang diambil tidak sah.

Belum lagi jika syarat berikutnya harus memenuhi persetujuan separo lebih yang hadir. Artinya harus disetujui atau dipilih oleh minimal 37,5 persen plus dari total anggota. Sementara pada ketiga piigub Jawa Tengah yang lalu jika meminjam proses pengambilan keputusan diatas maka hanya pilgub tahun 2018 saja yang memenuhi syarat itu. Itupun jika syarat pertama dianggap kuorum. Karena pada tahun tersebut partisipasi pemilih kurang dari 75 persen dan pemenang mendapatkan suara 38,26 persen dari total pemilih terdaftar. Sementara pada dua pilgub sebelumnya lebih parah karena syarat pertama jelas tidak terpenuhi dan pemenang hanya memperoleh suara 23,53 persen dari total pemilih pada tahun 2008 dan 26,35 persen pada tahun 2013.

Kredibilitas dan legalitas

Kredibilitas hasil pemilihan umum termasuk dalam hal ini pilkada disamping ditentukan oleh kepastian demokrasi yang berjalan dengan baik yaitu jujur, adil, bebas, rahasia adalah partisipasi pemilih yang tinggi dengan membuka seluas-luasnya aksesibilitas pemilih. Semakin tinggi partisipasi pemilih akan semakin besar kredibilitas pilkada berikut legalitas hasilnya.

Oleh karenanya dengan putusan MK Nomor 137/PUU-XXII/2024 diatas akan berpeluang menjadi jalan terjal bagi peningkatan tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada tahun 2024 ini. Lepas dari obyektivnya alasan yang dikemukakan MK. Alhasil pemimpin yang terpilih hanya dipilih oleh sebagian kecil pemilih terdaftar sehingga mengakibatkan kurangnya legalitasnya sebagai pemimpin terpilih dan ekstrimnya dapat menjadi alasan pemimpin untuk hanya bertanggungjawab kepada yang ber KTP dan sebagian kecil pemilih di wilayahnya saja.

Alternatif solusi

Yang penulis ketahui bahwa salah satu syarat pemilih terdaftar pada suatu wilayah pemilihan adalah terdaftarnya status administrasi yang bersangkutan pada wilayah tersebut. Dalam arti memegang KTP pada wilayah tersebut. Sehingga ketika yang bersangkutan pindah domisili dan dan tidak merubah KTP nya, maka dengan alasan di atas bahkan telah difasilitasi hari liburpun, sangat dimungkinkan tidak memanfaatkan hak pilihnya.

Jelas ini akan mengurangi partisipasi pemilih pada pilkada wilayah tersebut. Jika pun yang bersangkutan pulang dan memilih, yang bersangkutan sangat mungkin tidak menikmati janji-janji pemimpin yang dipilihnya lima tahun kedepan.

Oleh karenanya mengantisipasi berkurangnya partisipasi pemilih dan peluang hilangnya hak pemilih karena pindah domisili dan memastikan ikut menikmati hasil pembangunan dari pemimpin wilayah yang ditinggali maka konsep domisili (penduduk bukan warga) dapat menjadi alternatif dasar penentuan daftar pemilih. Sehingga siapapun yang berdomisili pada wilayah tersebutlah yang mempunyai hak pilih pada wilayah tersebut. Bukan warga wilayah tersebut (ber KTP) yang menjadi pemilih, yang pada kenyataannya tidak bisa memilih karena domisili di tempat lain.