“Terjadi tukar-menukar tanah bengkok dan Perhutani (yang ditempati warga korban longsor). Kalau aturan dulu, tukar gulingnya 1:1, satu hektar tanah. Tukar-menukar ini sudah mendapoat persetujuan dari Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian LHK,” jelas Eko Pazkiyanto.
Permasalahan muncul karena tanah yang dipakai mengganti milik Perhutani adalah tanah bengkok yang merupakan aset desa. Warga korban longsor pun secara swadaya membeli tanah pengganti bengkok seluas 0,5 hektar.
“Yang jadi permasalahan, tanah ini harus dikembalikan ke desa atau tidak, akan kami mohonkan ke Gubernur Jateng melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kependudukan dan Catatan Sipil (Dinpermadesdukcapil) Provinsi Jateng. Nanti hasilnya bagaimana, akan kita laksanakan agar tanah yang ditempati oleh warga segera bisa disertifikatkan. Sudah 21 tahun permasalahan ini belum selesai,” kata Eko.
Eko menuturkan, permasalahan tersebut bukan hanya masalah desa, tapi masalah kabupaten. Setelah 21 tahun, akhirnya Eko Paskiyanto berhasil menyelesaikan permasalahan tersebut, hanya tinggal pengganti tanah kas desa (bengkok) yang masih menjadi kendala.
Karena dari 1,035 hektar baru 0,5 hektar yang terganti. Itu pun 50 KK terdampak membeli secara patungan.
Telah Keluar Uang
Sementara itu, salah satu warga terdampak, Mulyanto, menuturkan bahwa, masing-masing warga telah mengeluarkan uang Rp6 juta untuk membeli tanah pengganti kas desa.
“Pertama kami membayar ke Kades Rp100 juta, dibagi 50, kami urunan Rp2 juta. Tapi di perjalanan tidak tahu uangnya ke mana, sehingga kami hafus membeli lagi total Rp112 juta. Nah tidak tahu siapa yang mengabarkan, katanya tanah pengganti masih kurag, kami harus membeli lagi Rp90 juta. Total kami sudah membeli tanah Rp300 juta lebih. Tapi sampai sekarang kami belum bisa memperoleh sertifikat tanah yang kami tempati,” pungkas Mulyanto.
Tamie