Oleh Marjono
KITA menyaksikan, Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, kini menjadi perbincangan dan diskusi hangat di berbagai elemen yang disinyalir menjadi jalan afirmasi praktik bebas seksual bagi kaum muda.
Beragam opini, kritik bahkan maupun kontroversi begitu deras mengalir menyoroti terkait dengan pasal 103 ayat 4 atas regulasi itu begitu deras mengalir, secara detail seperti berikut: a. deteksi dini penyakit atau skrining; b. pengobatan; c. rehabilitasi; d. konseling; dan e. penyediaan alat kontrasepsi. Poin huruf (e) tersebut menuai multitafsir, terutama soal penyediaan alat kontrasepsi bagi kelompok usia sekolah dan remaja.
Penulis optimis, 100 persen mustahil pemerintah punya nawaitu buruk. Bukankah pemerintah tak henti menggencarkan program pencegahan seks pranikah, menekan pernikahan anak-anak, memerangi praktik prostitusi pangakalan maupun online, sosialisasi dan edukasi kesehatan reproduksi remaja, bimbingan sebelum menikah atau pun terbitnya aturan perkawinan pria dan perempuan harus sudah mencapai usia 19 tahun terlebih dahulu.
Dan masih banyak aksi lain yang lebih mendorong dan menggerakkan kesadaran remaja dalam merawat masa depannya tanpa tertawan dengan perilaku ekonomi underground lainnya.
Mungkin kita tak perlu reaktif berlebihan menyikapi regulasi pemerintah tersebut, karena sebetulnya aturan turunan secara konkret teknis di lapangan akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Kesehatan dan regulasi turunan lain di bawahnya.
Kalau hanya ingin biar kelihatan beda, sah-sah saja asal tak berkepentingan pada upaya pelemahan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Di sana-sini seolah pemerintah berimpresi kurang baik, padahal justru kita sendiri yang hanya terlampau bersemangat pada sekadar teriak bahkan seakan Don Kisot sudah di depan mata, yang menyerang kincir angin yang dikira raksasa.
Iklim seperti ini mengingatkan penulis pada istilah debat kusir, tanpa pangkal dan ujung. Mestinya ada ujung dan mengendap di akhir. Jika kita merawat budaya demikian hanya akan memproduksi rumah debat yang tak sudah. Bukan menjadi kawan diskusi yang bak, lawan berpikir yang hebat, tapi lebih pada asal bersuara, lebih apriori atau pun underestimate.
Tidaklah baik jika kita jago menggelindingkan bola salju belaka. Sudah saatnya kita diskusi, berpendapat atau bertukar pengalaman yang berbasis cinta dan kasih sayang sekaligus berspirit pencerahan yang secara riang. Mari kita wakafkan ide-ide segar kita, termasuk semua respon masyarakat yang akan menjadi nutrisi pemerintah untuk penyempurnaan di masa mendatang.
Penting menjadi perhatian kita untuk meningkatkan kualitas budaya literasi, dalam relasi ini khususnya literasi kesehatan, reproduksi, produktivitas remaja, pencegahan seks bebas, termasuk introdusir ragam kontrasepsi maupun edukasi seks bagi kalangan remaja yang ngepop dan terbuka.
Pemahaman atas informasi, pengetahuan dan isu harus diraih secara utuh, komprehensif tidak parsial, sehingga jalan pikiran, jiwa dan keputusannya tidak kusut. Dengan begitu ada reasoning dan pertanggung jawabannya. Kala ada problema, mari kita duduk bersama dan rasanya kurang elegant ketika masih dalam satu rumah besar Indonesia kita mempertontonkan orchestra saur manuk dalam aspek luas.
Sekali lagi, kesehatan reproduksi remaja, diartikan sebagai kondisi sehat pada sistem, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki remaja, dari fisik, mental, dan sosial kultural. Sebagai generasi penerus bangsa di masa depan, remaja kita harapkan mengetahui dan memiliki informasi terkait bagaimana pentingnya kesehatan serta proses reproduksi yang benar.
Hal ini bertujuan agar remaja dapat menerapkan pola perilaku sehat, yaitu terhidar dari pernikahan dini, seks pra-nikah atau seks bebas, serta terhindar dari penyalahgunaan NAPZA.
Remaja punya peran sentral dalam kemajuan suatu bangsa. Di tangan mereka tonggak kemajuan suatu bangsa dipertaruhkan. Baik buruknya bangsa akan bergantung pada kualitas generasi muda yang saat ini dimiliki negara. Nyatanya, sumbangsih mereka inilah yang sangat dibutuhkan oleh bangsa saat ini dan masa mendatang.
Disabilitas
Kita ingin ke depan yang akan kita hadapi adalah menuju Indonesia emas 2045. Momentum ini harus didukung dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul, berupa remaja (termasuk kawan-kawan disabilitas) yang produktif, berkualitas dan berkapasitas serta berbalut sepenuh tetumpukan spirit damai, produktif, gotong royong, toleran juga persatuan bagi anak-anak, remaja.
Kita pun maih perlu memikirkan mengenai kesehatan mental untuk anak-anak muda sangatlah penting karena akan bergantung pada produktivitas yang akan menuntun pada kesejahteraan suatu bangsa. Generasi yang sehat secara mental dan fisik merupakan aset negara karena kerusakan dan kehancuran bangsa sangat bergantung pada kualitas generasi mudanya.
Meminjam pernyataan Nyi Mangoensarkoro pada Tahun 1946, “kami jakin kekoeatan dan keloehoeran bangsa, negara, bahkan keloehoeran doenia itoe pada pertama kalinja tergantoeng kepada keloehoeran djiwa wanita sebagai iboe, sebagai pendidik bangsa, negara dan doenia”, menegaskan bahwa perempuan menjadi bagian dari spiritual bangsa.
Itulah mengapa, pemerintah, akademisi, pengasuh, dan orangtua, harus bisa memberikan fasilitas kesehatan mental yang mumpuni bagi para remaja Indonesia, termasuk pelajar dan remaja berkebuthan khusus (disabilitas), agar tercipta generasi penerus yang tangguh mentalnya. Kita sadari, usia muda merupakan usia yang kritis, karena seringkali pada usia ini dihadapkan pada tuntutan-tuntutan lingkungan sekitar.
Beragam tuntutan ini menjadi suatu tekanan yang apabila individu tersebut tidak dapat menanganinya, akan menjadi pemicu awal gangguan psikologis yang bisa berakibat fatal, apalagi hingga depresi bahkan bunuh diri. Harapannya, kita bisa menyikapi ini dengan bijak.
Hati-hati dalam bertindak, dihitung untung dan ruginya, jangan pernah lelah belajar, penting untuk terus dan selalu memperhatikan kesehatan dan mental. Mari kita mengerjakan cita-cita bersama.
Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah