Ilustrasi. Foto: Dok SB.ID

Oleh Antonius Benny Susetyo

INDONESIA kembali menghadapi ujian berat dalam demokrasi seiring dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2025.

Penolakan ini telah memicu demonstrasi besar-besaran di berbagai wilayah di Indonesia, mencerminkan kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses politik yang seharusnya menjadi penegak keadilan dan demokrasi.

Di tengah gejolak ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berada pada posisi krusial. KPU, sebagai lembaga independen yang seharusnya berdiri di atas semua kepentingan politik, diharapkan mampu menunjukkan integritas dan gravitas dalam mengambil keputusan yang mempengaruhi nasib demokrasi di negeri ini.

Setiap proses politik tidak dapat dipisahkan dari relasi kuasa. Kekuasaan adalah esensi dari politik; ia bukan milik segelintir orang, melainkan sebuah strategi yang melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan masing-masing. Relasi kuasa ini mencakup individu, kelompok, dan lembaga, dan selalu mengalami pergeseran tergantung pada dinamika yang terjadi.

Dalam konteks ini, KPU sebagai lembaga yang memiliki kuasa dalam mengatur jalannya demokrasi harus memahami bahwa kekuasaan yang dimilikinya bukanlah untuk diintervensi oleh pihak-pihak dengan kepentingan tertentu, melainkan untuk digunakan dalam memperkuat dan memperbaiki demokrasi.

KPU harus menyadari bahwa Penolakan DPR terhadap keputusan MK  yang final dan mengikat adalah bentuk nyata dari relasi kuasa yang timpang. DPR, dengan kekuasaannya, berusaha mempengaruhi keputusan yang seharusnya independen, dan KPU harus menunjukkan bahwa mereka memiliki kuasa untuk menolak intervensi semacam itu.

Dengan mematuhi keputusan MK sebagai hukum tertinggi yang harus ditaati, KPU dapat mengembalikan kepercayaan publik yang selama ini tercoreng oleh berbagai bentuk intervensi politik.

Michel Foucault, seorang filsuf dan sejarawan Prancis, memberikan pandangan yang mendalam mengenai relasi kekuasaan dan bagaimana kekuasaan bekerja dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam proses politik. Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, melainkan sebuah strategi atau praktik yang tersebar di seluruh jaringan sosial. Kekuasaan hadir di mana-mana dan bekerja melalui berbagai mekanisme.

Relasi Kuasa Tak Stagnan

Dalam konteks politik, relasi kuasa mendasari setiap proses politik, baik di tingkat individu maupun kelompok, dan kekuasaan ini senantiasa bergerak dan berubah sesuai dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Relasi kuasa ini tidak pernah tetap atau stagnan, ia selalu bergerak dan bertransformasi.

Foucault menggambarkan kekuasaan sebagai sebuah jaringan yang kompleks, di mana tiap posisi dalam jaringan tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Tidak ada satu entitas pun yang secara mutlak memegang kekuasaan, melainkan kekuasaan tersebar di berbagai titik dalam jaringan sosial tersebut.

Misalnya, dalam proses pemilu, kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu dapat menentukan narasi apa yang dominan dan bagaimana aturan-aturan tertentu diinterpretasikan dan diterapkan.

Oleh karena itu, KPU sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan dalam proses politik harus menyadari bahwa mereka tidak hanya berperan dalam mengatur teknis pemilu, tetapi juga dalam membentuk cara masyarakat memahami dan menghayati demokrasi.

Dalam kerangka Foucault, relasi kuasa ini adalah esensi dari berpolitik. Berpolitik tidak hanya tentang siapa yang memegang kekuasaan, tetapi bagaimana kekuasaan itu dioperasikan, disebarkan, dan dipertahankan dalam jaringan sosial. Kekuasaan dalam politik adalah tentang strategi, bagaimana berbagai aktor dalam sistem politik saling berinteraksi, bernegosiasi, dan berkompetisi untuk mencapai tujuan mereka.

Oleh karena itu, pemimpin KPU harus memahami bahwa posisi mereka dalam jaringan kekuasaan ini bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi juga sebagai agen yang memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan dan keadilan dalam proses demokrasi.

Kewibawaan KPU

Keberanian KPU dalam mengambil keputusan yang tegas dan jelas adalah kunci dalam mengembalikan kewibawaan lembaga ini di mata publik. Selama ini, KPU seringkali dipandang sebagai lembaga yang mudah diintervensi oleh kekuasaan, baik oleh partai politik maupun parlemen.

Hal ini tidak hanya merusak citra KPU sebagai lembaga independen, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri.

Mengembalikan kewibawaan KPU tidak hanya membutuhkan keputusan yang adil dan sesuai dengan aturan, tetapi juga keberanian untuk melawan intervensi dari pihak-pihak yang ingin menggunakan kekuasaan mereka untuk memanipulasi demokrasi.

Dalam konteks ini, KPU harus menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Mereka harus menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki harapan melalui tindakan yang tegas dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik.

Walter Benjamin, seorang filsuf dan kritikus budaya Jerman, memberikan perspektif yang berbeda mengenai bagaimana kita harus memahami politik dalam konteks yang lebih luas. Benjamin, yang hidup dalam era fasisme Jerman, menyadari bahwa politik tidak dapat dipahami hanya dalam kerangka duniawi, tetapi juga harus melibatkan dimensi yang lebih tinggi, yakni dimensi ilahi.

Dalam pandangan Benjamin, politik yang hanya berfokus pada kekuasaan duniawi cenderung jatuh ke dalam praktik yang hanya mengejar kekuasaan dan kenikmatan semata. Politik semacam ini berbahaya karena mengabaikan aspek-aspek moral, etika, dan spiritual yang seharusnya menjadi landasan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Dalam konteks kepemimpinan di KPU, pemikiran Benjamin ini mengajarkan bahwa para pemimpin KPU harus memiliki kesadaran yang lebih tinggi dalam menjalankan tugas mereka. Mereka harus menyadari bahwa keputusan yang mereka buat memiliki implikasi yang luas terhadap masa depan demokrasi Indonesia.

Oleh karena itu, mereka harus mampu mengedepankan nurani dan etika dalam setiap keputusan yang mereka ambil, memastikan bahwa keputusan tersebut tidak hanya berpihak pada kepentingan kelompok tertentu, tetapi juga pada kepentingan masyarakat luas.Benjamin juga menekankan pentingnya kesadaran kritis dalam berpolitik.

Dalam menghadapi berbagai tekanan dan tantangan, pemimpin KPU harus memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang benar, meskipun mungkin tidak populer atau bertentangan dengan kepentingan elite politik.

Mereka harus berani mengembalikan roh demokrasi di atas kepentingan kekuasaan, menjadikan demokrasi sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan kebaikan bersama, bukan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan atau keuntungan pribadi.

Demonstrasi besar-besaran yang terjadi akibat penolakan DPR terhadap keputusan MK adalah cermin ketidakpuasan masyarakat terhadap cara-cara yang tidak demokratis dalam proses politik. Masyarakat menuntut KPU untuk mengambil sikap yang jelas dan berpihak pada keadilan dan demokrasi.

Demonstrasi ini seharusnya menjadi pengingat bagi KPU bahwa mereka memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga integritas demokrasi Indonesia. Tantangan bagi KPU adalah bagaimana mereka dapat mempertahankan independensi mereka di tengah tekanan politik yang sangat kuat.

KPU harus mampu berdiri teguh di tengah gejolak politik dan menunjukkan bahwa mereka adalah lembaga yang memiliki integritas dan komitmen terhadap demokrasi yang sehat. Hanya dengan cara inilah KPU dapat mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan bahwa proses demokrasi berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila.