blank
ilustrasi. Reka: wied

blank

ORANG yang mendapatkan pelajaran tentang keilmuan langsung mantap dan tidak banyak menganalisa. Sedangkan orang zaman sekarang, karena kemajuan menerima informasi, jadinya lebih kritis dan setiap hal yang baru datang, dicermati, dan disaring dulu.

Tentu saja, yang seperti ini ada baiknya, namun ketika menganalisanya terlalu njlimet terlebih lagi disertai prasangka buruk, bisa menyebabkan orang itu selalu curiga dengan siapapun. Banyak pemburu ilmu mengutarakan hal ini. Karena sering bertemu dengan yang palsu, mereka kemudian tidak mudah percaya pada siapa pun.

Misalnya, ketika saya sedang menyelesaikan naskah buku, ada rekan yang ahli main debus datang ke kediaman saya. Dia berniat mewariskan ilmunya kepada saya. Rekan itu kemudian menulis amalan (mantra) untuk atraksi patirasa atau menghilangkan rasa sakit.

Dan siapa yang sudah menguasai ilmu itu, maka dia tidak merasakan sakit walau kawat itu menembus kulit, selain itu juga tidak menimbulkan rasa sakit dan kucuran darah. Padahal, ketika saya perhatikan manteranya, saya tertawa, karena  pada bait terakhir ada kalimat yang memancing tawa, yaitu entah itu bahasa apa.

Baca juga Tentang Ilmu dan Keyakinan

Dan itu mengingatkan saya dengan almarhum tetangga saya yang idiot,  yang sering berbicara dengan bahasa “asing” yang tidak bermakna. Logisnya, bagaimana seseorang mendapatkan manfaat dari sesuatu yang dicurigai dan dianggap  lucu.

Dan yang demikian ini yang menyebabkan orang-orang zaman sekarang, kurang atau bahkan tidak lagi menyakralkan ilmu, bahkan cenderung menganekdotkannya. Selain itu, kemudahan seseorang mendapatkan informasi tentang keilmuan juga mengurangi kesakralannya.

Perjuangan Berat

Berbeda dengan zaman dulu, untuk mendapatkan informasi keilmuan, terkadang dilalui dengan proses perjuangan berat. Orang zaman dulu berani berjuang demi ilmu yang diburunya. Mereka rela menghambakan diri di kediaman gurunya, terkadang sampai hitungan tahun dan selama itu dia mengerjakan pekerjaan abdi atau pembantu, menggembala ternak, kerja di sawah, kebun, dsb.

Maka, ketulusan dan kerendah-hatian kepada guru itu yang mengundang keberkahan. Maka, satu kalimat mantra pun bisa mengundang keberkah atau karomah (kemuliaan). Berbeda dengan orang zaman sekarang. Segala sesuatu ukurannya dengan uang.

Belajar dengan guru asal sudah membayar dan selesai belajarnya, selesai pula silaturahminya. Kisah tentang kerendahhatian murid terhadap guru, atau keikhlasan guru terhadap murid. Antara guru dan murid, terkadang terjadi perang dingin. Apalagi jika murid itu sudah membuka padepokan sendiri.

Tren ini sudah membudaya, dan yang namanya “rebutan lahan” antar guru dengan murid, pada zaman sekarang itu bukan hal  aneh. Ini karena orientasi mengajarkan ilmu itu semata-mata mengejar duniawi, sehingga melunturkan keberkahan ilmu. Maka, doa-doa yang diucapkan jarang memiliki kekuatan sabda, dan torehan pena penulis azimat pun hanya menghasilkan tulisan tanpa ruh.

Berkaitan sikap ikhlas yang mengundang berkah, ada kisah unik.Suatu hari, ada santri diberi penjelasan kiainya tentang makna azimat. “Azimat itu tempat untuk mewujudkan niat hati. Kamu bisa membuatnya dengan tulisan yang kamu bisa, yang penting kamu berdoa sebelum menulis dan ketika menulis, hati dan pikiran  bermohon kepada Tuhan.

Wejangan itu lalu dimasukkan dalam ingatannya. Ketika santri itu sudah selesai menuntut ilmu lalu kembali ke kampung halamannya. Karena setiap santri itu oleh warga diyakini memiliki ilmu hikmah, dia didatangi warga yang mengadukan berbagai persoalan.

Dengan keyakinan dan ketulusan, dia membuat azimat sebagai sarana bermohon kepada Allah. Anda ingin mengetahui huruf apa yang tertulis dalam setiap azimat itu? Ternyata yang ditulis itu hanya satu huruf saja, yaitu huruf “Lam Alif” (saja).

Huruf “lam alif” itu jika ditulis tunggal, bisa diartikan “tidak” atau “jangan.” Ketika suatu saat santri itu kedatangan tamu yang keluarganya sakit, dia lalu masuk kamar dan berdoa bagi kesembuhan yang sakit, setelah itu dia menulis azimat terdiri dari tiga huruf yang sama, yaitu tiga huruf “lam alif.”

Saat dia menulis, niat batinnya mengharap agar yang sakit itu tidak sakit lagi. Ketika menulis huruf “lam alif” mulut  dan hatinya berkata,”jangan” diulang tiga kali, sesuai jumlah huruf yang ditulis. Begitu juga ketika ada tamu ingin agar  istrinya yang menuntut cerai, dia juga menulis tiga huruf “lam alif” sambil berkata, “jangan, jangan, jangan,” disertai harapan istrinya tidak minta cerai.

Terbukti hanya dengan satu hingga tiga jenis huruf saja, santri itu berhasil mendoakan banyak orang. Sehingga saya lebih percaya, keampuhan ilmu seseorang itu tidak ditentukan dari huruf apa yang digunakan atau yang ditulis, melainkan siapa yang menulis huruf itu.

Ada kisah unik lain berkaitan dengan “rajah” atau tulisan bertuah. Suatu saat ada warga Jakarta mengidap penyakit aneh. Disebut aneh itu karena secara medis tidak ditemukan penyakitnya, dan sebagai orang berduit, dia sudah berobat ke Singapura.

Penyakit aneh yang diderita itu, dia (yang sakit) merasa malu ketika berhadapan dengan orang lain. Mukanya selalu ditutup atau sengaja dipalingkan. Selain itu,  dari mulutnya terdengar suara, ngiiik, ngiiik  yang tidak pernah berhenti. Suara itu seperti tape recorder sedang gangguan.

Anehnya, suara itu tidak berhenti walau yang sakit dalam keadaan tidur. Berbagai cara penyembuhan dilakukan, hasilnya nihil. Hingga akhirnya ada yang memberi petunjuk agar dipertemukan dengan tokoh nyentrik di Jepara.

Yang dimaksud tokoh nyentrik itu mantan bupati yang memilih hidup layaknya rakyat jelata, misalnya belanja ke pasar, memasak, mencuci pakaian itu dilakukan sendiri.

Bahkan untuk tempat tinggal pun dia meminjam milik salah satu perusahaan. Apa yang dikatakan mantan Bupati ketika dimintai tolong mengobati penyakit aneh itu? “Jangan kabarkan kepada siapa-siapa, nanti saya dianggap orang pintar,” katanya.

Setelah itu mantan dia mengambil pena lalu menulis beberapa huruf Jawa dan ada bentuk gambar seperti gada (alat pukul) dalam kisah pewayangan Jawa. “Ini kertas nanti dibakar, agar asapnya tercium yang sakit,” kata mantan Bupati itu.Sampai di rumah, azimat itu dibakar. Dari pengobatan pertama, bunyi “ngiiik” hilang, dan  malu berhadapan dengan orang, belum hilang.

Setelah pengobatan yang kedua, sakit aneh itu sudah hilang. Padahal, sebelumnya, orang yang sakit itu sudah menghubungi beberapa orang pintar, bahkan dia lebih sering dimintai syarat ini-itu yang (katanya) untuk membeli minyak dari India, Arab, Dsb. Dan akhirnya dia sembuh oleh orang yang ikhlas menolongnya.

Menurut mantan Bupati yang mengobati, penyebab sakitnya tekanan batin. Ibu yang tinggal di Jakarta ini, terlalu berpikir karena belum memiliki keturunan pada tahun keenam pernikahannya. Gangguan batin bisa mengundang penyakit aneh. Dan biasanya berhasil jika ditangani orang yang memiliki keikhlasan.

Kesembuhan bisa terjadi karena kekuatan batin pihak penyembuh yang diaktualisasikan dengan “tulisan” yang dibuatnya. Dari sisi agama, kesembuhan itu terjadi karena ditangani oleh orang yang tulus. Karena orang yang memiliki sifat itu termasuk orang yang dicintai Allah, sehingga dia diberi kuasa untuk berdoa dengan Mulut-Nya, berpikir dengan Hati-Nya.

Tamat