ADA kesan, azimat produk zaman sekarang ini kalah ampuh dibanding azimat diproduk ratusan tahun silam. Benarkah demikian? Beberapa narasumber yang saya hubungi, mengatakan sependapat. “Orang zaman sekarang lebih memburu kuantitas, dan bukan kualitas”.
Memburu kuantitas disebabkan azimat produk sekarang sudah ada sentuhan manajemen modern. Azimat pun diiklankan terbuka di berbagai media, dan peminatnya lumayan banyak, sehingga, azimat versi tradisional, yang menulis dengan tangan dianggap sudah tidak zamannya lagi.
Proses membuat azimat secara tidak langsung memengaruhi kualitas azimatnya. Dalam pengamatan saya, sebagian pembuat azimat yang tidak lagi memperhatikan kaidah pembuatan azimat yang benar. Dan ketika ditanya, jawabnya “Saya menjual keyakinan.”
“Apakah azimat itu dibuat secara benar? Dengan enteng dijawab, “Saya menyalurkan tenaga batin berdasarkan kaidah ilmu yang saya miliki. Soal isian itu bermanfaat atau tidak, tidak saya pikirkan.”
Seenteng itukah cara berpikir seseorang terhadap mutu dagangannya, sehingga dia tidak perlu berpikir berat, bukankah kekuatan itu hak Allah yang memberikan,” jawabnya. Mungkin karena azimat itu dibuat dengan setengah hati, keampuhannya pun jadi setengah matang.
Istilah menjual azimat itu menjual sugesti itu pernah dikatakan seorang pembuat azimat. “Yang penting orang yang mau memahari itu harus yakin, kalau sudah yakin terserah Tuhan mengatur seberapa karunia yang akan diberikan kepada hamba-Nya,” katanya.
Pembuat azimat ada yang mengutip tulisan-tulisan saya dalam buku saya. Diantaranya, kisah seorang menantu yang tidak berani menghadap kiai kemudian dia membuat rajah palsu. Ternyata, rajah palsu itu berhasil “menyembuhkan” mertuanya yang sakit.
Ada juga kisah resep seorang dokter yang putra kiai ahli hikmah, yang oleh tamu resep itu dianggap sebagai rajah. Setelah dibakar dan diminum mampu menyembuhkan sakit perutnya.
Sementara itu, ada ustad berpendapat, keampuhan orang-orang zaman dulu itu bukan disebabkan ketinggian ilmunya, melainkan ketinggian keyakinan dan ketulusan hatinya yang mendorong ilmu atau azimat yang dimiliki menjadi menjadi “berkah”.
Masalah ketulusan dan keyakinan ini jika dikupas itu ada benarnya, dan ini berkaitan dengan fenomena orang-orang zaman dulu itu terkesan ampuh dibanding orang zaman sekarang.
Saya pernah bertanya kepada salah satu guru, tentang, kenapa zaman sekarang ini jarang ucapan atau doa seseorang dikabulkan Tuhan. Padahal, jika kita menengok masa lalu, orang-orang terdahulu itu ucapannya sering makbul atau terjadi, dan setiap ucapannya memiliki kekuatan sabda.
Saya mengamati sulit zaman sekarang ini mencari orang jujur dalam berbicara. Tetanagga saya dikenal ahli dibidang perjimatan. Dan setiap kali ada tamu yang peminat azimat, dia mengatakan untuk menulis azimat itu menggunakan minyak dari luar negeri.
Katanya, ada minyak ahzab yang didatangkan dari Arab Saudi, minyak Salma divinia dari India, dsb. Benarkah dia mendatangkan minyak merk-merk itu dari luar negeri? “Minyaknya saja dia juga tidak pernah lihat, bisa jadi dia minyaknya mengarang sendiri,” jawabnya saat saya tanya.
Lalu mengapa musti bohong? “Wah, kalau saya bicara jujur apa adanya, tidak enak. Kalau saya bicaranya besar, tamunya lebih mantap, harga azimat pun pantas dibuat mahal.” Di sekitar desa saya juga ada yang dikenal sebagai “orang pintar” yang hidup dari menjual azimat.
Ada yang membuat azimat dengan tangan sendiri, dan dia mengaku membeli dari luar Jawa, dan yang benar-benar kulak malah mengaku membuat sendiri azimatnya. Dua cara ini punya tujuan berbeda. Mereka yang mengaku azimatnya dapat beli dari orang lain bertujuan agar dia tidak segan menentukan tarif, yang kulakan tetapi mengaku membuat sendiri, tujuannya biar dianggap sudah ahli membuat azimat.
Ketika saya mempunyai rencana menulis naskah buku tentang azimat dan benda magis lain, saya sempat menghubungi beberapa kalangan yang paham tentang seluk-beluk azimat. Ketika saya mengutarakan keinginan untuk mewawancarai seseorang yang mengiklankan diri pada media, oleh rekan itu saya dicegah.
“Jangan mas, dia itu pembohong. Biar dia mengatakan menyediakan azimat anti
cukur, gores dan bacok, janganlah percaya. Saya sudah pernah menyelidiki dia,” katanya. Pembicaraan via telepon berkembang pada hal-hal yang rawan dan tidak layak dituangkan dalam buku. Intinya, azimat itu ditawarkan puluhan juta.
Karena azimat sudah diposisikan sebagai produk jual, hukum-hukum bisnis pun terlibat di dalamnya. Prinsip ekonomi adalah mengeluarkan sekecil-kecilnya dan mendapatkan hasil sebesar-besarnya.
Ini yang secara tidak langsung menarik orang-orang untuk tidak jujur dalam bisnisnya. Padahal, dilihat dari ilmu hikmah, lidah atau mulut yang sering digunakan untuk berbohong itu akan hilang keberkahnya.
Jika orang zaman dahulu berbohong, mungkin yang menjadi korbannya hanya tetangga dekatnya atau murid-murid yang setiap saat berkomunikasi. Tetapi, bohongnya orang yang memanfaatkan media itu korbannya bukan hanya tetangga dekatnya, melainkan orang-orang jauh.
Al Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan, hilangnya ilmu hikmah itu karena tercampurnya urusan dunia. Jika kita berpedoman pendapat, penulisan azimat dengan aktivitas berdoa kepada Allah, sebaiknya bentuk-bentuk kebohongan itu perlu dihindari. Lalu, bagaimana berkah dari Tuhan.
Untuk saling mengingatkan, kita simak hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim : Tetaplah kamu kepada kejujuran, sebab kejujuran itu menunjukkan pada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada sorga.
Seorang lelaki yang selalu jujur dan selalu meneliti kejujuran, hingga pada akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan takutlah kamu kepada perbuatan bohong, karena bohong itu menunjukkan kepada keburukan dan keburukan itu menunjukkan pada neraka.
Karena berbuat jujur walau itu menyulitkan pada saat ini. Karena jujur itu bermanfaat bagimu dikemudian hari. Jangan berbohong walau itu bermanfaat bagimu saat itu, sebab kebohongan itu akan menyulitkanmu di kemudian hari.