Dibutuhkan kesadaran di setiap jengkal perjalanan keseimbangan. Lengah karena telengas bisa menggelincirkan diri penguasa pada kehinaan. Terpuruk jatuh pada kedalaman yang tidak terbayangkan, bahkan jauh lebih dasar dibandingkan kemuliaan yang telah diperolihnya. Kejatuhan itu bisa terjadi kapan saja, bahkan semakin dekat saat semua lawan menyembahnya karena tak kuasa memberikan perlawanan.

Saat senja tiba, perjalanan menurun harus dilalui. Penguasa siapapun, dan setinggi apapun harus siap untuk meninggalkan kursi (kekuasaan). Itu artinya jalan licin untuk mencapai dasar sebagai orang biasa muncul kembali. Seperti apapun sulitnya harus ditempuh, karena kodrat perputaran roda kehidupannya terus bergerak.

Hal terutama yang harus dimiliki oleh penguasa adalah bahwa diri mereka harus rela mengakhiri dan menyerahkan kekuasaan. Tak selamanya mereka berada di puncak, karena tubuh biologis mereka tidak disiapkan untuk selalu meniti tali tipis yang licin. Penguasa bisa jadi memiliki daya tahan lebih, namun pasti bukan tercipta untuk selalu berkuasa. Pada titik tertentu tubuh mereka tidak akan kuasa menahan serangan angin yang mendesir dan tusukan hawa dingin yang membuat ngilu tulangya.

Lelah di waktu senja pasti terjadi. Saat itu seorang pemimpin bisa kehilangan pandangan disergap kabut perebutan kekuasaan. Mereka yang sebelumnya bersekutu dan berkawan, bisa jadi akan menikam dari belakang. Mereka bisa melancarkan serangan lebih mematikan tidak terduga. Patron meraih kekuasaan bisa menjadi pelaku karma penghancuran terhadap dirinya. Peragaan perilaku sebagaimana yang mereka bersama lakukan saat meraih kekuasaan bisa jadi akan berbalik arah menyerang diri mereka.

Jalan Menurun

Mengakhiri essay, penulis kembali mengingatkan kita siapapun, terutama mereka yang sedang berkuasa, berburu, atau bahkan sedang mempertahankan kekuasaan. Layak kita merenungkan nasehat Sri Sultan Hamengkubuwono I yang berbunyi, “Aja rumangsa wani, nanging wanio rumangsa (Jangan merasa berani, namun beranilah merasa). Terjemahan bebas dari kalimat tersebut adalah bahwa kita tidak boleh menganggap diri sendiri paling hebat atas orang lain. Tatkala merasa senang roda cakra (kekuasaannya) bergerak,menggelinding naik ke atas, maka itu artinya harus pula memerima tatkala waktu membuatnya turun ke bawah.

Dipastikan roda cakra akan terus berputar. Kondisi dimana penguasa harus mengakhiri kekuasaan dan menyerahkan pada penerus tidak bisa dicegah. Oleh karena itu, satu-satunya kekuasaan yang mereka masih kuasa atasnya adalah mempersiapkan jalan menurun yang landai dan tidak menggelincirkan.

Harus disadari, tatkala lawan tertunduk lunglai dan pandangan publik gelap buta arah, maka saat itu Tuhan yang akan campur tangan. Jeritan pencari keadilan, doa tengah malam dari para guru besar serta mahasiswanya akan disempurnakan oleh Nya dengan takdir membalikkan keadaan. Semoga menjadi pelajaran.

Hartono Sri Danan Djoyo, Pegiat Gerakan Jalan Lurus