Cokro Manggilingan
Saat ini publik, termasuk penulis, dibuat kamitenggengen (terheran-heran) dengan semangat lebih para politisi merebut kekuasaan. Begitu semangatnya, hingga berbagai cara mereka lakukan, bahkan dengan perilaku yang jauh memerosotkan kemartabatannya sebagai manusia.
Metafora perilaku buruk yang anak sekolah dasar (SD) pelajari di mata pelajaran Bahasa Indonesia terang-terangan mereka peragakan. Bak aktor teatrikal, mereka melancarkan jurus muslihat, Menyebut beberapa diantaranya: serigala berburu domba, ular berbisa, cacing tanah, hingga rubah licik. Jurus metaforik terakhir yang penulis sebut menggambar perilaku (politisi) yang sanggup melakukan apapun, demi kemenangan yang ingin didapatkan. Dengan kecerdikan (dan kuasanya), tipu muslihat dilakukan, hingga lawan terpedaya dan hancur terkalahkan.
Publik tentu tidak menghendaki perilaku buruk politisi akan semakin merajalela mengangkangi bangsa. Teriakan para guru besar di kampus dan jeritan mahasiswa merupakan artikulasi kekecewaan kualitas kepemimpinan elit. Satu tujuan yang ingin mereka idamkan yakni terhindarnya kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu melalui tulisan ini harus dimaknai (murni) sebagai upaya mengembalikan kesadaran akan hakiki kekuasaan: apa, bagaimana meraih, dan keharusan mengakhirinya.
Kekuasaan Dalam Metafora
Saat berkampanye, sebagian besar politisi tanah air pasti meng claim bahwa diri mereka memiliki kemampuan untuk merubah keaadaan. Merubah keadaan (buruk) kondisi masyarakat menjadi lebih baik. Untuk eksploitasi kondisi (terpuruk) masyarakat, petahana maupun penantangnya demonstratif mempertontonkan empati dramatis seperti menyapa, merangkul, dan bahkan memberi (berbungkus pamrih).
Sampai dititik dimana mereka menilai kondisi masyarakat buruk dan janji memperbaiki keadaan saat memenangkan kontestasi tidak ada masalah. Persoalan muncul ketika mereka sanggup memperagakan kampanya metaforik (jahat) pencarian kekuasaan sebagaimana diuraikan di atas.
Kita perlu mengingatkan, bahwa kekuasaan laksana pendakian gunung yang sarat dengan hambatan dan marabahaya. Untuk mencapai puncak seorang calon pemimpin tidak boleh menggunakan niat dan strategi jahat. Dibutuhkan kerja keras dan pengalaman untuk mencapainya. Kesabaran meniti tahapan dan keseriusan menjalani peran merupakan kearifan yang harus disemai dan dijunjung tinggi, membersamai waktu pendakian. Tatkala puncak (kekuasaan) telah ditakhlukkan, semangat untuk menjaga kesucian (kekuasaan) harus menjadi pendorong semangat menjalankan kepemimpinan. Berkuasa laksana meniti tali tipis