Menurut narasumber, ijazah itu untuk memantapkan hati. Tentang adanya  halaman buku hasil fotokopi yang tidak diakui berijazah, itu hanya teknik bisnis semata, agar oplah penjualan buku tidak terganggu.

Tidak Mutlak

Menurut saya, ijazah itu penting walaupun tidak mutlak. Sebab, tradisi ijazah itu memiliki banyak tujuan. Di antaranya, agar ilmu itu tidak liar (jelas asal usulnya), sekaligus untuk lebih memantapkan hati murid, karena saat ijazah itu guru  memberikan petunjuk yang benar mengenai ilmu itu.

Jadi, bukan sekedar masalah nilai magisnya saja, melainkan tajwid dari amalan yang dibaca pun perlu dibenarkan jika amalan itu bersumber dari ayat suci Alquran.

Dan yang lebih penting, adanya tradisi ijazah itu seorang guru bisa menyeleksi kualitas siswanya. Yaitu, apakah murid itu sudah patut atau belum jika menerima jenis ilmu tertentu. Semua ada aturan mainnya. Misalnya ilmu sirep jangan diajarkan kepada orang miskin yang panjang tangan, karena dikhawatirkan untuk menidurkan orang yang akan dimalingi.

Tentu saja berbeda suatu ilmu yang diijazahkan dengan yang tidak diijazahkan dari segi keampuhannya. Ilmu yang didapatkan sambil lalu, biasanya kurang dihargai atau kurang disakralkan. Berbeda jika proses belajarnya itu didapatkan dari sosok guru, yang proses mendapatkannya melalui perjuangan.

Proses itu menjadi bagian dari ampuhnya ilmu. Buktinya, zaman puluhan atau ratusan tahun silam, untuk mendapatkan satu ijazah atau wajangan, ilmu yang didapatkan dari dari guru,  harus ditebus dengan perjuangan berat.

Misalnya, menggembala ternak milik sang guru, membantu pekerjaan dapur atau ngenger atau menghamba di rumah guru. Setelah berlangsung sekian bulan bahkan tahun, murid baru dipanggil guru. Diajak ke tempat sepi, ke tengah hutan, atau di atas lautan (perahu) lalu diberi ijazah atau pengesahan  ilmu.

Ilmu yang diberikan  melalui metode yang sakral, hampir pasti menjadi manjur dan berkah karena proses mendapatkannya yang sungguh-sungguh. Dan proses itu bukannya proses untuk mempersulit orang lain dan menguntungkan pihak gurunya.

Dalam hal ini, perlu kita berbaik sangka saja. Orang zaman dulu memiliki rasa ikhlas yang tinggi. Berbeda dengan orang zaman sekarang, segala sesuatu diukur dari materi, untung dan rugi. Metode mempersulit calon murid itu hingga sekarang pun masih ada.

Misalnya, orang yang akan berguru diminta syarat minyak jenis ini jenis itu yang sulit didapatkannya. Ketika murid kesulitan, guru menawarkan jasa mencarikan. Murid lalu titip uang. Yang seperti ini mudah dibaca.  Jika dilakukan secara ikhlas  metode “mempersulit” memberikan ilmu pada murid itu sebagai ujian, sejauh mana kesungguhan calon murid itu dalam mencari ilmu.

Orang zaman dulu dalam menciptakan metode, calon murid diberi ijazah tidak boleh menyentuh daratan, karena wejangan atau baiatnya harus diberikan di atas lautan. Ini bagian dari upaya untuk menyakralkan ilmu. Sehingga ilmu menjadi mujur karena proses mendapatkannya tidak dengan cengengesan.

Sebagian praktisi metafisik, terkadang kelewat berani, bersikap seolah ilmu itu milik dia. Padahal, belum tentu dia menguasai ilmu yang akan diberikan atau diajarkan kepada calon muridnya. Saya pernah berkunjung ke guru padepokan.

Dia memberikan beberapa lembaran fotokopy ijazah berbagai ilmu. Saya lalu berkata, “Lho, Anda kan tidak bisa baca huruf Arab. Siapa yang Anda suruh menulis amalan ilmu itu?”

Doa Diijazahkan

Ada pertanyaan, di mana batasan ilmu yang harus pakai ijazah dan yang tidak perlu ijazah? Teman saya suatu hari datang ke Kiai sepuh. Dia minta agar beliau  memberikan ijazah doa. Apa jawabannya? Doa itu kan sudah diijazahkan oleh Nabi Muhammad.”

Melalui apa Nabi mengijazahkan doa? Tentu melalui hadis yang disabdakannya. Misalnya, Surat Alfatihah untuk obat fisik dan hati, ayat kursi untuk mencegah gangguan manusia, jin dan setan. Ilmu yang mutlak membutuhkan ijazah langsung dari guru itu ilmu yang sifatnya khusus.

Jenis ilmu ini tidak berbahas dalam hadis karena ditemukan oleh para ahli hikmah. Misalnya, ilmu kontak, pengobatan (tabib) karena penguasaan ilmunya lebih tertumpu pada praktik langsung. Maka, seseorang harus mendapatkan informasi yang cukup, agar dalam menjalankan ilmu, hati benar-benar mantap.

Terkadang ada yang mengamalkan suatu wirid atau amalan tertentu yang didapatkan dari buku, bahkan dari nguping orang berbicara, radio, apakah ini diperbolehkan? Sepanjang hati yakin dan tahu benar makna  apa yang dibaca itu, tidak masalah. Ilmu itu kan bagaimana mantapnya hati.

Tentang baiat atau ijazah itu melalui mimpi? Ada sahabat di Jambi suatu malam menghubungi saya. Dia mimpi ditemui sosok kiai di Jawa. Dalam mimpi itu sesepuh memberikan ijazah “Ya Ilahi robbal ‘alamin.” Setelah itu dia mimpi akan  dicekik orang yang tidak dikenal.

Dia lalu membaca kalimat itu. Dan yang akan mencekik itu mundur. Dia bertanya, bolehkah ijazah lewat mimpi itu diamalkan sebagai wirid? Saya jawab tidak masalah. Sepanjang makna yang tersurat dari ijazah itu memuji Tuhan dan tidak menyekutukan-Nya.