Ilustrasi. Foto: wied

SEORANG peserta dialog membawa buku rangkuman ilmu hikmah terbitan Pekalongan, Jawa Tengah. Dia mempermasalahkan tentang lembaran “ijazah” yang dinilai kurang pada tempatnya.

Terutama kalimat yang kurang lebih berbunyi: Mereka yang membaca buku ini dari fotokopi, dianggap tidak berijazah pada penulisnya.

Masalah ijazah oleh sebagian peserta dialog dianggap hal yang mengurangi nilai universal sebuah ilmu, dimana kita bisa langsung berkomunikasi dengan Sang Khalik. Dengan memberlakukan sistem ijazah, maka nilai universal itu dipangkas.

Lalu, bagaimana jawaban narasumber dalam hal itu? Dalam buku-buku ilmu hikmah, hampir selalu ada lembaran halaman “ijazah” Dan pernah saya temui ada  penulis buku yang menyantumkan kalimat : “Yang membaca buku hasil dari fotokopi, dianggap tidak berijazah”.

Sebenarnya, posisi ijazah itu bagaimana? Dan benarkah belajar ilmu tanpa ijazah dengan guru ilmunya tidak manjur? “Masalah ini pernah saya dialogkan dengan sosok kiai yang juga ahli hikmah. Dalam buku berjudul “Dialog dengan Sembilan  Ilmu Hikmah dan Pendekar Tenaga Dalam.”