Ilustrasi. Reka: SB.ID

JC Tukiman Tarunasayoga

 BERMULA dari ruang kuliah, akhirnya ditemukanlah padanan paling tepat  gimmick dalam bahasa daerah, Jawa. Topik bahasan perkuliahan waktu itu tentang Struktur Karakteristik Sosial, yakni meliputi struktur (i) komunikasi, (ii) kekuasaan, (iii) sosio-metrik, serta (iv) lokomosi; dan mahasiswa memertanyakan: “Termasuk  struktur karakteristik sosial  manakah   ketika kita menjumpai  semakin banyaknya pemimpin (lokal)  yang penuh gimmick?”

Diskusi di ruang kuliah  saat itu baru berhasil  menyepakati perbedaan hakiki antara gesture dan gimmick berikut padanannya dalam bahasa daerah. Gesture sangat terkait dengan ekspresi ragawi seseorang untuk menyatakan sikap atau pendapatnya; entah ekspresinya itu dinyatakan lewat  menggerak-gerakkan tangan, kaki, kepala, mata  dan lainnya. Itulah solah bawa (Jawa), solah tenaga atau pun solah tingkah; menunjukkan gerakan-gerakan tubuh yang umumnya tidak disertai kata-kata.

Sementara itu, perihal gimmick  padanan kata yang disepakati saat itu ialah lamis, ucapan atau pun kata-kata manis untuk memberi harapan atau pun dorongan meski besar kemungkinannya  apa yang terucap itu hanyalah  omong kosong belaka.

Ternyata bukan Lamis

Tatap muka seminggu kemudian, -ketika mahasiswa presentasi tentang indikator dominan  atas keempat struktur karakteristik sosial itu- , seorang mahasiswi, dosen sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah,  menampilkan tiga pokok analisisnya. Satu, struktur karakteristik sosial paling dominan dalam masyarakat  kita, ialah struktur kekuasaan.

Baca juga Cawe-cawe Agawe Cawuh

Indikatornya sangat jelas, yakni pola dan relasi sosial kemasyarakatan kita  ditumpukan  semata-mata kepada  siapa yang (sedang) berkuasa. “Di kampus tidak berbeda jauh pola dan relasi  struktur kekuasaannya dibandingkan dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat,” kilahnya.

Dua, pola dan relasi sosial dalam struktur komunikasi, sosio-metrik, dan lokomosi dimanfaatkan sedemikian sistemik untuk mendukung bahkan menyuburkan struktur kekuasaan tadi.

“Maka  tidaklah mengherankan, siapa pun yang  sedang berkuasa ingin terus mengembangkan sayap kekuasaannya, dan biasanya diberi banyak kemudahan karena dukungan struktur komunikasi, sosio-metrik, dan lokomosi yang sudah dimanfaatkan secara sistemik tadi.”

Tiga, ada kecenderungan umum, semakin berkuasa seseorang, dalam kepemimpinannya hampir pasti selalu muncul janji dan janji, rencana dan rencana, serta gesture dan gimmick. “Terkait dengan gimmick, Pak; saya temukan di Baoesastra Djawa padanan paling tepatnya, yaitu santolan, bukan sekedar lamis.”

Santolan

Lamis, bermanis bibir, merupakan kudapan kata-kata manis yang sangat sering kita dengar dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dengan sangat entengnya seseorang (setiap orang??)  mengatakan kepada si sakit: “Sabar ya. Saya bantu doa agar kau cepat sembuh.” Namun apa yang senyatanya terjadi: benarkah orang itu  seorang penyabar manakala ia  sakit?  Benarkah ia mendoakan si sakit itu?  Itulah lamis, dan contoh dapat diperpanjang seraya dikaitkan dengan ungkapan-ungkapan lamis yang sangat mungkin meluncur dari orang yang sedang berkuasa.

Santolan gradasinya lebih ngeri-ngeri sedap dari lamis, karena di dalam ucapannya bukan sekedar pemanis bibir belaka, melainkan ada niatan atau terkandung dalam hati jan-jane  mung ethok-ethok, apus-apusan, berpura-pura saja. Itulah santolan, sebuah pawadan,  serba banyak kata namun tidak terbukti kebenarannya.

Di dalam berkata-kata itu, orang secara sadar sengaja berlaku berpura-pura; contohnya: “Jangan bertanya kepada saya, memangnya itu urusanku?” Padahal senyatanya hal yang ditanyakan itu benar-benar urusan dia.

Dalam ungkapan lain, santolan sering dipersangat dengan kata. Kakehan pertingsing, banyak tingkah, dan kata-kata. Dan inilah padanan paling pas gimmick. Lebih dari sekedar solah bawa (gesture), gimmick mengandung unsur “penipuan halus” lewat ungkapan-ungkapan yang sangat mungkin berlebih, bahkan  cenderung membodohi orang yang diajak bicara. Santolan.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University